Oleh Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila
Membaca dan menyimak tulisan Dr.Syarif Makhya pada beberapa waktu lalu di media masa yang kita cintai ini (Terorisme dan Moderasi Beragama); secara jujur saya prihatin, bahkan menangis batin. Karena dunia pendidikan yang sudah lebih empat puluh tahun saya geluti; di penghujung pengabdian saya, dikejutkan dengan peristiwa ditangkapnya oleh aparat yang berwenang, pendidik yang terposisikan sebagai teroris.
Saya sedih, kecewa, dan entah apalagi perasaan yang berkecamuk membaca berita itu; karena syarat menjadi pendidik menurut undang undang adalah sarjana. Asumsinya, jika dia sarjana berarti memiliki wawasan akademik yang lumayan. Terlepas yang bersangkutan “cetakan” dari perguruan tinggi manal, tetapi standard nasional sudah ditetapkan sebelumnya. Apalagi salah satu di antara mereka konon adalah pendidik di tingkat Sekolah Menengah Atas. Ini sangat membahayakan sekali bagi negeri ini; karena “racun” ideologi disemaikan pada lahan yang memang subur karena masih bersih, dan muda, dan labil secara emosi.
Pendidik yang profesinya sangat dituntut memiliki jiwa nasionalisme yang tebal, tanguh, tatag dan tanggon; di samping untuk dirinya sendiri, juga harus menyemaikan jiwa nasionalisme itu kepada anak didiknya, terlepas pada jenjang manapun pendidik itu berada, dengan metodologi yang dedaktis dan metodis yang beliau belia kuasai. Jiwa nasionalisme itu yang kemudian mendasari sikap hidupnya yang meliputi: mematuhi aturan yang berlaku, mematuhi hukum negara, melestarikan budaya Indonesia, menciptakan dan mencintai produk dalam negeri, bersedia melakukan aksi nyata membela, mempertahankan, dan memajukan negara. Berarti hukumnya “wajib” bagi pendidik untuk menjaga keutuhan negara dan bangsanya. Serta menjaga, merawat, menumbuhkembangkan generasi didknya sesuai dengan falsafah negara yaitu Pancasila..
Pendidik yang profesinya memiliki ranah tiga dimensi menurut Ki Hajar Dewantara itu; masa kini, masa lalu, dan masa depan; dengan diimplementasikan dalam: Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, benar benar dihancurkan oleh perilaku segelintir pendidik yang sudah menghianati bangsanya, jika itu kemudian nanti terbukti dalam persidangan. Sekalipun itu dilakukan oleh “hanya” segelintir orang; tetapi “nila setitik telah merusak susu sebelanga”.
Perlu disadarkan kepada para pendidik semua bahwa saat ini sebenarnya sedang berlangsung “perang global (Global War)” yang cirinya: siapa kawan, siapa lawan tidak jelas lagi. Suatu saat jadi kawan, saat yang lain menjadi lawan; atau malah secara bersamaan saat itu menjadi kawan dan juga sekaligus lawan. Juga harus dilakukan upaya bersama bagaimana menyadarkan mereka bahwa semangat untuk mempertahankan negaranya dari gempuran musuh dari internal maupun eksternal.
Musuh eksternal kita adalah: Pertama, perang/penjajahan teknologi. Teknik yang dilakukan adalah: merusak, menghancurkan, dan meracuni. Kedua, perang/penjajahan ideologi. Teknik yang dilakukan adalah: merusak, menanamkan, dan meracuni.
Adapun musuh internal kita adalah: Pertama, penyebaran ideologi ekstrem kanan maupun kiri; penyusupan dilakukan melalui keluarga, kegiatan keagamaan yang tidak lazim, kegiatan kemasyarakatan/ormas, kegiatan melalui “orang kuci” yang sudah dicuci otaknya. Kita khawatirkan justru pendidik termasuk kategori yang terakhir ini sebagai target sasaran.
Kedua, melalui adu domba antarsiapapun yang menjadi target sasaran dengan cara langsung maupun taklangsung melalui media sosial menggunakan nama samaran. Semua berlindung dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat dan hak hak asasi maanusia (HAM) yang dibelokkan tafsirnya.
Pengaruh situasi yang semakin massif adalah dengan adanya kemudahan mengakses internet oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Akhirnya belajar apapun bisa melalui media ini, kebetulan belajar yang positif hal ini tentu tidak membuat masalah; namun jika mempelajari sesuatu dengan niat untuk sesuatu yang tidak baik, maka hancurlah jadinya. Apalagi pembelajaran yang seharusnya melalui “guru ahli” nya sebagai penuntun, tetapi dengan mudah diakses dan ditafsirkan sendiri; maka makin suburlah persemaian ideology menyimpang dari kehidupan bernegara yang sesungguhnya sesuai dengan cita cita para pendiri bangsa.
Bermodalkan asa yang tersisa; melalui media ini secara pribadi saya mohon maaf kepada masyarakat; jika ada teman pendidik yang melakukan perbuatan tidak sesuai dengan falsafah negara, bahkan ingin melakukan makar, atau apapun namanya, yang ingin mengubah dasar negara dan falsafah negara ini; percayalah itu dilakukan oleh oknum secara personal. Kami para pendidik masih tetap dalam barisan pembela NKRI.
Kami tetap berkomitmen menjadi garda terdepan di Republik ini dalam bidang pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang dahulu kita rebut dari penjajah. Kami tidak ingin sekali pun mengubah dasar atau falsafah negara ini. Bahkan kami ingin merawat, menjaga, dan memeliharanya sampai akhir hayat kami. Adapun teman sebagai oknum yang melakukan pelanggaran terhadap negara, sepenuhnya hak aparat untuk menegakkan hukum yang adil dan berlaku atasnya.***