Menggapai Bintang, Menggali Sumur

Guru Besar FKIP Unila, Prof. Dr. Sudjarwo
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh:Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila

Kehidupan manusia itu memang unik. Keunikan itu sudah ditabalkan dari saat diciptakannya manusia. Jin dan malaikat pernah mengajukan pertanyaan, bahkan sebagian riwayat mengatakan keberatan, kepada Sang Maha Pencipta: “Mengapa harus diciptakan manusia di muka bumi, karena toh pada akhirnya mereka akan saling bermusuhan, saling memusnakan satu sama lainnya dan akan membuat kerusakan. Bahkan perbuatannya banyak yang merugikan dirinya dan makhluk lain.

Jawaban kunci difirmankan: “Hanya Aku yang maha mengetahui segala ciptaan-Ku”. Hukum dasar yang menghunjam itu membungkam semua makhluk-Nya, kecuali Iblis yang tetap tidak berterima akan adanya manusia. Maka terusirlah iblis dari surga,  sekalipun masih diberi catatan untuk diberi izin bisa mengganggu bahkan memperpanjang barisannya dengan memasukkan manusia yang dapat ditipudaya olehnya.

Manusia yang oleh Sang Pemilik Hidup dibekali akal budi sebagai pembeda dari mahluk lain, dan diberikan pedoman bernama agama melalui utusan-Nya yang diberi status Nabi dan Rasul. Manusiapun diberi status khalifah di muka bumi ini. Namun, kesadaran akan itu sering tertutupi oleh ketamakan akan dunia; sehingga mencari pahala mau, berbuat dosa pun ayo.

Ternyata manusia sudah menunjukkan tanda tanda dalam pengertian banyak pekerjaan kebaikan dan keburukan dilakukan secara bersama sama. Akibatnya,  ada teman yang termasuk kategori “santri mbeling” mengatakan, kasihan malaikat penulis amal dan penulis dosa secara bersamaan membukukan pada neraca debit dan kredit sekaligus di buku rekaman perbuatan seseorang. Guyonan sufi ini menggambarkan bagaimana manusia bisa melakonkan dua tokoh antagonis pada satu fragmen kehidupan yang sama. Semula hanya seniman hebat sekelas Didi Nini Thowok yang bisa memerankan diatas panggung adegan adegan seperti itu.

Ternyata sekarang panggungnya sudah meluas dan menjadi nyata, kemudian pemerannya pun tidak hanya Didi Nini Thowok, tetapi justru pemeran betulan dalam fragmen kehidupan. Bisa dibayangkan pada suatu saat cita-cita tinggi digantungkan untuk menggapai bintang gemintang, namun secara bersamaan menggali sumur sedalam dalamnya untuk menyembunyikan hasil rampokan  negerinya sendiri. Atau dengan pongah menunjukkan prestasi kinerja, namun secara bersamaan melakukan penipuan publi dengan data yang dibalik. Lebih parah lagi semua pekerjaan dikerjakan kecuali pekerjaan utama; sehingga saat ditanya atau melaporkan semua pekerjaan selesai kecuali pekerjaan utama yang tidak selesai.

Muka hadapan yang satu menampilkan kesalehan, sebagai wajah maharesi yang berkata suci untuk selalu menampilkan prestasi. Muka hadapan lainnya begitu bengis, sadis dan garang untuk membabat mereka yang dinilai tidak satu garis kepadanya. Sehingga, rayuan rindu puja seolah buaian yang memejamkan mata; sementara kritik pengingat dilabelkan sebagai kepinding yang mengganggu nikmatnya mimpi.

Kalaulah kita mau menelisik ajaran lama, dan ini pernah dijlentrehkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, pujangga Tanah Jawa yang terkenal di negeri ini; mengabarkan ada sejumlah petuah yang dapat kita jadikan kompas dalam berjalan. Kalau itu dibentang akan terbaca sebagai ini adanya: Pertama, “majulah tanpa menyingkirkan”. Maksudnya,  untuk mencapai kemajuan bukan dengan menggunakan cara-cara licik, justru secara bersama meraih kemajuan, sedangkan seleksi akan terjadi dalam proses yang alami dan manusiawi. Dengan demikian, kemajuan yang diperoleh tidak dengan cara melukai orang lain, atau membuat luka orang lain.

Kedua, “naiklah tinggi tanpa menjatuhkan”. Maksudnya, jika kita meniti karier dalam bidang apa pun berjuang mencapai puncak, namun dengan tidak perlu menjatuhkan orang lain. Menambah pendapatanpun dengan tidak mengurangi pendapatan orang lain; justru penambahan pendapatan yang kita miliki, ikut meningkatkan pendapatan orang lain; tentunya secara halal dan benar menurut syariat.

Ketiga, ”jadilah baik tanpa menjelekan orang lain” . Maksudnya, menjadi orang baik itu adalah keharusan dalam hidup, menjadi tidak baik manakala kita merasa baik dengan cara mentidakbaikkan arang lain; atau kebaikkan diri kita itu akibat dari hasil kita menjelekkan orang lain. Tentu hal serupa ini sama saja kita menggali sumur untuk mengubur diri kita sendiri.

Keempat, “benar dengan tanpa menyalahkan”. Hal ini paling sulit dari ketiga hal di atas, karena memerlukan kedewasaan diri yang matang. Sebab kelemahan manusia yang melekat sangat erat adalah ingin tampil beda, akibatnya untuk menampilkan keperbedaan itu secara tidak sadar kita memposisikan orang lain pada posisi salah, atau paling tidak berhadapan. Padahal, secara hakekat benar itu yang tidak salah, oleh karena itu tidak perlu menyalahkanpun, yang benar itu akan pasti benar adanya.

Saling ingat mengingatkan untuk ke jalan yang benar, adalah tugas sosial sesama manusia, dan itu salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Persoalannya adalah siapa yang memulai duluan, dan yang lebih penting maukah diingatkan? Karena persoalan yang terakhir tadi lebih menyentuh “harga diri” dalam pengertian yang sempit, bahkan lebih kepada egoisme pribadi.

Akibatnya, rasa diri “merasa” mengakibatkan tidak memerlukan orang lain karena “merasa” apa yang sudah dilakukan benar adanya, bahkan tidak jarang memutlakkan dirinya seolah Tuhan. Kita sering lupa bahwa “setiap orang punya waktu, setiap waktu ada orangnya”. Semoga dalam menggapai asa kita selalu diberi petunjuk oleh-Nya agar tidak menggali kubur untuk kita sendiri.***