Moh Shobirienur Rasyid
Sebelum marak minyak-goreng berbahan kelapa sawit, minyak-goreng itu merupakan industri skala rumahan. Setiap rumah bisa memproduksi sendiri minyak-goreng, karena caranya sangat sederhana. Beli buah kelapa, yakni kelapa yang sudah tua, lalu parut dan peras hingga keluar santan. Sesudah itu, masak santan hingga mendidih dan mengeluarkan minyaknya. Ambil minyak yang menggumpal di bagian atas didihan santan itu, lalu jadilah sudah “minyak kelapa dengan kualitas baik” dihasilkan.
Untuk masa sekarang, ketika pasar-pasar tradisional menyediakan jasa parut kelapa dan bahkan jasa pembuatan santan; langkah membuat minyak goreng rumahan ini makin singkat. Pergi ke pasar tradisional membeli kelapa dan minta sekalian diolah jadi kelapa-parut atau jadi santan kelapa. Bahkan, bila malas pergi ke pasar tradisional, bisa membeli kelapa parut pada tukang sayur keliling. Pun, bila malas melangkah untuk pergi ke tukang sayur keliling, kirim saja pesan WA ke WA tukang sayur keliling. Ia akan dengan sukarela mengirim pesanan tanpa tambahan biaya ongkos kirim.
Namun, buat orang umum, yang namanya minyak goreng adalah minyak sayur kemasan atau minyak sayur curah buatan pabrik itu. Maka, lebih baik antri berlama-lama, berdesak-desakan, berpanas-panas, demi mendapatkan sekilo-dua kilo minyak goreng itu.
***
Apakah pemilik perkebunan kelapa sawit diuntungkan ketika minyak goreng langka di pasaran? Ternyata tidak. Ternyata harga kelapa sawit di perkebunan tidak mengalami kenaikan. Begitu yang diakui seorang pemilik perkebunan kelapa sawit, ketika tanpa diminta ia bersedia memaparkan harga kelapa sawit di tengah kesulitan konsumen berburu minyak goreng. (Tapi yang bercerita itu pemilik perkebunan dengan lahan kecil, bukan pemilik perkebunan tingkat menengah atau tingkat tinggi).
Bila pemilik perkebunan kelapa sawit tidak diuntungkan, lalu mengapa terjadi kelangkaan produk minyak goreng di pasaran? Bukankah tidak ada berita terbakarnya perkebunan kelapa sawit atau pabrik minyak goreng, gudang minyak goreng, atau kecelakaan mobil pengangkut minyak goreng? Pada tahun-tahun lalu, ketika banyak perkebunan kelapa sawit mengalami musibah kebakaran, nyatanya ketersediaan minyak goreng tetap ada dan tidak menyebabkan antri mengular seperti yang dialami calon pembeli saat ini.
Pada tahun-tahun lalu, konon perekebunan kelapa sawit itu bukan terbakar, tetapi sengaja dibakar. Pada satu titik petugas pemadam kebakaran sedang berupaya memadamkan api yang membakar hutan dan perkebunan; tetapi pada titik yang lain, seseorang sedang menjalankan perintah untuk membakar lahan. Itu cerita teman saya dulu. Dia mengaku sebagai salah seorang pelaku pembakaran hutan. Dia mengaku mulanya sebagai pekerja di perkebunan kelapa sawit, tetapi kemudian dia mendapat perintah untuk melakukan pembakaran.
Entah teman saya itu di mana sekarang. Entah masih hidup atau sudah meninggal. Kalau sudah meninggal, entah di mana dia bermukim sekarang. Apakah ia akan menjauhi tepian hutan yang rawan terbakar dan dibakar; atau ia justru berada di dalam hutan menjadi orang yang berusaha menanami lahan-lahan kosong dengan tanaman. Entah.
***
Isu minyak goreng selalu saja digoreng. Antrenya orang membeli, harga yang membubung naik, kelangkaan produksi dan pasokan, janji pemerintah untuk tetap menjaga kestabilan produksi dan distribusi, dan lain-lain; semuanya bisa digoreng menjadi sajian gurih setiap pagi hari. Seperti bakwan hangat yang dinikmati bersama secangkir kopi.***
*Moh Shobirienur Rasyid adalah seorang pendidik