Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Guru P3K adalah pegawai yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu sebagai guru. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme guru yang belum menjadi PNS. Tugas dan Tanggung Jawab Guru P3K: Merencanakan pembelajaran bimbingan, melaksanakan pembelajaran bimbingan yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran bimbingan, serta melaksanakan pembelajaran perbaikan dan pengayaan.
BKN menjelaskan, masa hubungan perjanjian kerja bagi P3K paling singkat 1 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja. Artinya, walaupun tidak sebangun dengan honorer, tetapi yang menggaji pemerintah, dengan dibebankan kepada APBN. Evaluasi akan dilakukan yang berakibat dapat diperpanjang atau diputus dengan kalimat “sesuai kebutuhan”. Klosul kalimat ini menunjukkan tingkat subjektivitas yang sangat tinggi bagi pemangku kekuasaan.
Dapat saja karena ketidaksukaan dengan alasan tertentu, maka jurus “sesuai kebutuhan” akan digunakan. Ini menunjukkan betapa rentannya nasib guru; yang seharusnya profesi ini dan tenaga kesehatan tidak dapat disamaratakan dengan profesi lain. Tidak salah jika ada teman dari Forum Guru Indipenden memelesetkan guru P3K adalah guru Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, karena hanya dipakai untuk “menambal” kekurangan guru.
Para guru P3K akan terjebak pada “taman sesat”, tidak bisa memenuhi target, tidak sesuai kebutuhan, tidak bisa menyenangkan pimpinan; adalah hal-hal yang sangat ditakutkan. Dan, pada waktunya mereka tidak akan mau mengambil resiko dengan termasuk tidak mau masuk keorganisasi profesi; apalagi organisasi itu yang terindikasi berseberangan dengan pemerintah.
Bisa dibayangkan pada hari yang sama tanggal yang sama pemerintah daerah yang berbeda memberikan perlakuan yang berbeda kepada guru P3K. Saat Forum Guru P3K Bogor mengadakan pertemuan, Salah Satu Dirjen di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hadir dan memberikan semangat untuk terus mengabdi kepada para guru P3K. Sementara di Sumatera Selatan Sekda mengeluarkan peraturan bahwa guru P3K dilarang menggunakan lencana Korpri, padahal mereka tiap bulan dipotong gaji nya untuk bayar iyuran Korpri. Tampak sekali kegamangan pemerintah dan tidaksatunya langkah dalam membina guru P3K. Dan, jika ini dikonfirmasi akan dijawab dengan satu kata “meskomunikasi”; persoalan dianggap selesai, dan kita yang bertanya tinggal bengong sendiri.
Beda lagi di Lampung. Ada dua kabupaten yang mendapat jatah dari pemerintah pusat untuk guru P3K, entah alasan apa sampai tulisan ini dibuat formasi itu tidak dibuka oleh daerah. Ini sekali lagi menunjukkan koordinasi antarpemerintah daerah dan pusat tidak sejalan, dan menunjukkan bagaimana pemerintah pusat tidak punya “gigi” untuk menegakkan marwah dirinya.
Guru P3K sudah ”dirobotkan” sebelum bekerja oleh sistem yang ada. Posisi yang rentan ini membuat mereka akan tumbuh dalam kecemasan saat menghadapi masa depannya. Routinitas keseharian semua diorientasikan kepada penyelamatan perpanjangan kontrak; jika ada pekerjaan yang ditawarkan tidak memiiki kontribusi, baik langsung maupun tidak langsung, kepada perpanjangan kontrak; maka pekerjaan itu akan ditolak. Termasuk diantaranya menjadi anggota apalagi pengurus organisasi profesi tentunya.
Perlu dipahami bahwa sepuluh tahun terakhir pemerintah tidak mengangkat guru untuk menjadi pegawai negeri. Akibatnya banyak sekolah-sekolah negeri yang separo lebih gurunya adalah honorer yang pendapatannya jauh dibawah UMR. Nanti di sekolah akan ada tiga klasifikasi guru yaitu ASN, P3K, dan honorer, dengan perlakuan dan pendapatan yang berbeda. Apakah ini bukan berarti pemerintah ikut mengkontribusi ketidakadilan; tentu jawabannya akan dibuat dalil agar berjawab “tidak”; sekalipun itu bertentangan dengan kenyataan di lapangan.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Perguruan Tinggi, sehingga komponen penggajian Dosen Kontrak membuat biaya kuliah makin mahal, dan ini adalah salah satu bentuk lepasnya tanggungjawab pemerintah kepada institusi pendidikan. dengan kata lain tidak ada beda lagi soal mahalnya biaya pendidikan antara lembaga swasta dan negeri. Sekolah Negeri bayaran Swasta, sekolah Swasta bayaran negeri. Tampaknya adagium kapitalis yang mengatakan “mau baik ya mahal”, menjadi sempurna adanya. Pemerintah hadir hanya sebagai administrator, bukan regulator; akhirnya kebijakan saling lempar tanggungjawab adalah jurus “mabuk” yang paling mudah untuk diambil.
Tampaknya kita harus memberdayakan lebih efektif lagi organisasi-organisasi kependidikan, termasuk didalamnya PGRI untuk lebih gigih lagi memperjuangan pendidikan di negeri ini, khususnya guru; agar tetap bermartabat. Sudah seharusnya organisasi profesi tidak berperang dalam selimut saling tikam teman sendiri.
Kepada guru, mari kita tetap terus berjuang, ada atau tidak perhatian pemerintah. Mari tetap harus berkreasi dalam situasi apapun, dan jangan lupa tugas utama kita adalah menyiapkan generasi negeri ini kedepan agar lebih baik lagi, apapun situasinya. Sabar dan ihlas adalah kuncinya, sekalipun itu tidak bisa kita belikan beras dan gas; namun yakinlah bahwa Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik dan berkah.
SELAMAT HARI GURU NASIONAL DAN ULANG TAHUN PGRI ke 78!