Opini  

Menggugat Moral Akademik

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Saat perkuliahan pertemuan ke tujuh dilaksanakan, ada mahasiswa pascasarjana yang mempertanyakan bagaimana kedudukan filsafat dalam menghadapi gemburan teknologi di dunia akademik berupa penggunaan artificial intelligence (AI) ditandai dengan begitu mudahnya sekarang mendapatkan apapun informasi, termasuk informasi ilmiah di dunia maya. Serta kemudahan mendapatkan referensi pada perpustakaan digital yang berserak juga di dunia maya.

Tentu pertanyaan ini memerlukan perenungan mendalam dan penelusuran literatur baik fisik maupun digital. Filosofi dari menggugat moral akademik berpijak pada pemikiran kritis terhadap peran dan tanggung jawab dunia akademik dalam membentuk manusia dan masyarakat yang beradab. Jika kta renungkan secara mendalam, persoalan ini melibatkan beberapa landasan filosofis utama:

Pertama: Etika sebagai Landasan Ilmu.
Dunia akademik idealnya bukan hanya tempat pencarian ilmu, tapi juga ruang pembentukan karakter dan nilai.

Menggugat moral akademik berarti mengingatkan bahwa ilmu tanpa etika bisa menyesatkan. Ini selaras dengan pandangan para filsuf seperti Immanuel Kant, yang menekankan pentingnya moralitas dalam semua bentuk tindakan rasional. Pembentukan moral, termasuk moral akademik, tidak dapat dilakukan secara mekanistik, akan tetapi memerlukan proses pengendapan berfikir dan penanaman nilai. Oleh sebab itu banyak kalangan meragukan kemampuan AI menjangkau ini. Oleh sebab itu diperlukan tools yang kredibel guna menjaga maruwah akademik.

Kedua: Tanggung Jawab Sosial Ilmu Pengetahuan. Pada posisi ini ilmu tidak netral; ia selalu berada dalam konteks sosial. Menggugat moral akademik berarti menuntut ilmu agar berpihak pada kebenaran dan kemaslahatan umat, bukan sekadar menjadi alat kekuasaan atau pasar. Ini dekat dengan gagasan Paulo Freire, yang menolak pendidikan sebagai proses penjinakan, dan mendorong pendidikan yang membebaskan. Hanya seperti apa dan bagaimana mengejawantahkan atau membumikan pemikiran ini dalam bentuk aturan akademik; tentu ini sesuatu yang mendesak untuk dibicarakan oleh kalangan perguruan tinggi.

Ketiga, Kritik sebagai hakikat akademik.
Pada tradisi filsafat kritis, terutama dari Foucault atau Habermas, kekuasaan dan pengetahuan selalu saling terkait. Moral akademik yang bobrok seringkali berakar dari sistem kekuasaan yang menindas. Maka, menggugat moral akademik adalah upaya memulihkan fungsi kampus sebagai ruang dialog dan emansipasi. Di sini peran para Guru Besar harus mampu membangun ruang-ruang dialog dengan para warga kampus guna menemukenali persoalan yang disebabkan oleh munculnya AI; sehingga dapat termanfaatkan dengan baik dan benar yang tetap berada dalam koridor kaidah moral dan etika akademik.

Keempat, Keaslian dan Kejujuran Intelektual. Filsafat eksistensial, seperti yang diajarkan oleh Søren Kierkegaard atau Jean-Paul Sartre, menekankan otentisitas. Dalam konteks akademik, ini berarti menuntut setiap individu untuk jujur dalam pencarian ilmu, menghindari kepalsuan seperti plagiarisme, gelar palsu, atau manipulasi akademik demi status.

Dengan menyalahgunakan pruduk AI; maka penyimpangan itu menjadi sempurna seolah mendapatkan jalan legalitas, sekalipun itu sebenarnya semu.

Kelima. Pendidikan Hakikatnya sebagai Proses Humanisasi. Pendidikan yang sejati bukan sekadar transmisi pengetahuan saja, melainkan transformasi manusia. Ini adalah gagasan Ki Hadjar Dewantara, yang memandang pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia.

Menggugat moral akademik agar tetap menjaga maruahnya menjadi upaya menjaga agar proses pendidikan tetap mengarah pada cita-cita ini. Pembelajaran sebagai proses internalisasi nilai seharusnya memposisikan AI hanya sebagai tools, bukan sebagai tujuan. Oleh sebab itu diperlukan rambu-rambu penggunaan tools itu agar tepat guna dan berhasil guna.

Menggugat moral akademik adalah panggilan untuk menjaga marwah ilmu dan pendidikan sebagai jalan pencerahan, bukan alat kekuasaan atau komoditas. Dan, itu adalah salah satu bentuk perlawanan filosofis terhadap degradasi nilai-nilai dasar akademika, dan usaha untuk menegakkan integritas, keadilan, serta keberpihakan pada kebenaran yang berkemanusiaan.

Perlu di sadari bahwa dua tahun kedepan perguruan tinggi akan kedatangan generasi baru yang disebut Generasi Alfa; yaitu generasi produk pendidikan digital, sebagai akibat covid yang lalu. Mereka sudah sangat terbiasa dengan penggunaan media digital, dan jika lembaga perguruan tinggi tidak mempersiapkan sistem, serta tenaga pengajar yang ramah digital, termasuk didalamnya AI; maka tidak menutup kemungkinan akan ada benturan budaya, termasuk budaya akademik. Dan, jika tenaga pengajarnya sudah siap berketerampilan digital, pertanyaan lanjut apakah sistem yang mengaturnya sudah dipersiapkan.

Pada sisi lain semua penyelenggara pendidikan, termasuk perguruan tinggi, memiliki tugas diantaranya memperkuat nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan, serta nilai luhur lainnya.

Pertanyaan tersisa adalah adakah cukup waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong datangnya “generasi baru” itu ?. oleh karena itu tidak berlebihan jika kita sekarang melakukan upaya-upaya strategis agar tiba waktunya nanti bisa memberikan pelayanan kepada mereka dengan baik. Adapun cara atau metode yang akan ditempuh tentu berpulang kepada kita semua, baik secara personal maupun kelembagaan.