Opini  

Mengkritik Pemerintah, Apakah Harus Santun?

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Kasus viralnya video Bima Yudho mengeritik jalan rusak di Lampung, kendati berhasil memperoleh banjir dukungan dan apresiasi dari nitizen serta mempengaruhi opini publik terhadap citra kinerja Gubernur Lampung dalam memperbaiki jalan rusak parah, tapi tidak sedikit yang merespon vidieo itu tidak elok karena ada kata-kata yang tidak sepantasnya disampaikan dihadapan khalayak seperti kata “dajal” atau sebutan kata “janda”.

Pilihan kata yang kasar yang menyinggung adab sopan santun kultur masyarakat di Indonesia, dinilai banyak pihak sebagai sisi lain dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang tidak terkontrol, dianggap tidak sopan dan mengabaikan etika dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pertanyaannya, apakah benar menyampaikan kritik kepada pemerintah itu harus santun?

Mengkritik dalam konteks ini diartikan mengkritik kebijakan, bukan mengkritik pribadi pejabat. Kritik adalah hak asasi yang dilindungi dalam menyampaikan kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk menkritisi kebijakan pemerintah atau kelalaian pemerintah dalam penyediaan dan kebutuhan barang-barang publik yang dianggap merugikan atau tidak sesuai dengan kepentingan publik.

Dalam sistem demokrasi kritik adalah bagian dari fungsi kontrol yang harus disampaikan kepada si pembuat kebijakan sejauh kebijakan itu dinilai gagal, menyimpang atau tidak memberi kepuasan pada masyarakat.
Jadi, esensi melakukan kritik dalam sistem demokrasi sangat mendasar dan menjadi prinsip dalam mengelola kekuasaan. Masalahnya kritik yang seperti apa? Kalau kritik itu tidak ada dasar argumen atau asbun, atau membantah tanpa ada didukung data atau konteksnya karena sentimen personal, tidak sesuai dengan sistem nilai yang dianut masyarakat tentu saja tidak bisa diterima karena kategorinya melanggar etika kebijakan.

Oleh karena itu, dalam mengkritik kebijakan pemerintah harus didukung fakta, sejalan dengan aturan hukum, tidak bersifat pribadi, dan ditujukan untuk menilai subtansi kebijakan serta mempu menawarkan alternatif kebijakan. Dalam perspektif ini “kritik tidak perlu dipagari tata krama. Menyampaikan kritik kepada pejabat publik yang dibalut dengan sopan santun maupun tata krama hanya akan menghilangkan makna. Serta dapat menimbulkan manipulasi pesan yang ingin disampaikan” (Rocky Gerung, 2021).

Menyampaikan kritik bisa disampaikan dalam beragam media, bisa dilakukan dengan membuat tulisan di media, membuat karikatur, menyampaikan pikiran di media sosial, twwiter, vidieo, forum diskusi, podcast, bahkan aksi unjuk rasa juga dibolehkan.

Siapa yang berhak mengkritk? Prinsipnya semua warga negara secara konstitutional dijamin untuk menyampaikan pendapat. Tetapi, secara kelembagaan idealnya lembaga legistatif yang harus berada di depan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kebijakan, karena lembaga ini yang diberikan peran untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah.

Bima Yudho mungkin tidak akan mengekpresikan kritiknya melalui TikTokers andaikan anggota dewan yang terhormat melakukan fungsi pengawasannya dan menawarkan alternatif kebijakan bisa mempengaruhi perubahan subtansi kebijakan. Tapi, anggota Dewan sepertinya sudah kehilangan daya paksanya, mereka melakukan dengar pendapat, melakukan reses, menerima aspirasi rakyat, dsb, namun kekuatan daya paksanya sangat lemah sehingga tidak bisa merubah subtansi kebijakan atau memberbaiki kualitas kebijakan.

Merespon Kritik

Kritik dari masyarakat terhadap pemerintah seharusnya direspon positif oleh pemerintah. Kritik harus dijadikan umpan balik terhadap kebijakan dilakukan pemerintah, kategorinya bisa dalam bentuk pembatalan kebijakan, merubah subtansi kebijakan, mervisi, menyempurnakan, menunda atau membatalkan kebijakan.
Misalnya kalau ada kritik dari masyarakat mengeluhkan masalah jalan rusak, ya pemerintah harus memperbaikinya, sepanjang faktanya benar. Kalau masyarakat mengkritik di desanya tidak ada puskesmas, ya tinggal dibangun. Demikian halnya kritik-kritik yang lain, tidak perlu dibantah secara berlebihan atau direspons dengan dengan tidak memberikan harapan.

Masyarakat juga perlu paham dan tahu tentang posisi kapasitas kewenangan pemerintah yang dibatasi dalam wilayah yuridiksi admnistrasi. Misalnya, ada jalan yang menjadi kewengan wilayah desa, kabupaten, provinsi dan kewenangan jalan nasional. Jadi jangan asal bunyi atau asal jeplak saja menyampaikan kritik tanpa ada informasi dan pengetahuan yang cukup, sehingga sasaran kebijakan yang menjadi objek yang dikritik tidak salah.

Fenomena lain, dengan kehadiran media sosial, semua orang bebas berekpresi menyampaikan pendapat dan kritik tanpa ada editing, tidak ada sensor, dan tidak ada etika publiknya. Hadirnya buzzer yaitu orang yang memiliki pengaruh tertentu untuk menyatakan suatu kepentingan, menyuarakan sesuatu, atau ada agenda yang disetting, sering kita lihat di twitter ada perdebatan pro-konta seputar dukungan politik atau kebijakan tertentu yang disampaikan dengan bahasa yang kasar hanya sekedar untuk menjatuhkan lawan politiknya atau membangun pencitraan politik.

Pesan dengan bahasa kasar dapat dianggap tidak profesional dan bisa diinterpretasikan memiliki arti yang berbeda. Penggunaan bahasa kasar bisa mengarah penghinaan, ujaran kebencian, atau penghasutan yang dapat menimbulkan umpan-balik yang bisa menghilangkan subtansi yang dikritik; Istilah sebutan dajal terhadap kerusakan jalan seperti disampaikan Bimo jelas tidak ada hubungannya. Jadi, kearifan kultural harus menjadi etik dalam penyampaian kritik terhadap pemerintah.

Simpulannya, meskipun rakyat mempunyai hak mengkritik pemerintah yang dilindungi, tetapi diperlukan pertimbangan dan tanggung jawab agar kritik dapat membawa perubahan terhadap subtansi kebijakan sehingga menjadi lebih baik dan bisa diterima masyarakat.

*) Pengajar FISIP Universitas Lampung