Opini  

Mengoptimalkan Pendapatan Devisa dari Sektor Pariwisata

Ketua Yayasan Alfian Husin, Dr. Andi Desfiandi, M.A.
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Andi Desfiandi*

Indonesia harus lebih serius lagi dalam meingkatkan pendapatan devisa dari sektor pariwisata. Walaupun telah terjadi peningkatan cukup signifikan kunjungan wisatawan baik dalam dan luar negeri dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Namun target kunjungan wisman meleset dalam 2 tahun terakhir dari target yang telah ditetapkan walaupun pertumbuhannya masih tetap salah satu yang tertinggi di dunia.

Indonesia perlu belajar dari negara lain seperti Korea ataupun China, di mana negara-negara tersebut begitu serius membantu sektor pariwisata mereka dalam mengeruk pendapatan devisa negara mereka. Pemerintah Indonesia harus mampu mengkoordinir institusi-institusi yang berkaitan baik lembaga pemerintah maupun dunia usaha dalam penanganannya. Triple Helix antara pemerintah, dunia usaha (swasta dan BUMN) serta masyarakat (termasuk media) harus benar-benar dioptimalkan  dalam rangka pencapaian tujuan tersebut.

Sektor pariwisata adalah sektor yg paling potensial dalam meningkatkan pendapatan devisa negara, saat ini menempati peringkat kedua negara dan sangat mungkin menjadi nomor 1 pada tahun depan. Namun, peningkatan wisman tidak diikuti dengan pendapatan devisa yg signifikan dan masalah tersebut harus segera ditangani oleh pemangku kepentingan (stakeholder) dengan serius.

Pemerintah perlu membuat Badan khusus atau bisa juga melalui kementerian pariwisata sebagai leading sectornya dengan menerbitkan Kepres dengan anggotanya Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Pemda, asosiasi perhotelan dan perjalanan wisata, serta Kementerian Industri dan Perdagangan.
Pemerintah harus berani melakukan terobosan seperti relaksasi pajak, dan menyubsidi pariwisata di dalam negeri, dll.

Sehingga pemerintah mampu menawarkan paket-paket murah (penerbangan, hotel, transportasi inbound) dan memaksa biro travel untuk mengunjungi toko/industri dalam negeri disetiap kunjungan wisata. Dan untuk menghindari pengunjung wisata luar negeri yang over stay bahkan tidak kembali ke negara asal, maka perlu jaminan dari  biro travel dan juga pengetatan visa dari negara-negara tertentu umtuk bisa berwisata ke Indonesia.

Konsep tersebut juga telah dilakukan negara lain seperti Korea, Thailand, China, dan lain-lain. Dengan konsep tersebut mereka berhasil meningkatkan wisman dan juga pendapatan devisa mereka dengan signifikan. Selain paket-paket murah bisa juga menawarkan paket city tour bagi wisatawan yang hanya transit di Indonesia beberapa jam (di atas 8 jam) dengan harga terjangkau.

Negara Korea Selatan misalnya menawarkan paket wisata sangat terjangkau ke Korsel selama 5 hari (3 malam) hanya sekitar Rp10 juta (harga tersebut termasuk pesawat PP, hotel, makan dan airport tax di luar visa, dan tip), sedangkan biaya belanja wisatawan di Korea melebihi 10 juta rupiah begitu pula dengan paket yang ditawarkan ke China (karena wisatawan diwajibkan mengunjungi toko/industri dalam negeri mereka).

Indonesia memang berhasil meningkatkan pariwisatanya sebesar rata-rata 26 persen dan termasuk tertinggi pertumbuhannya di dunia. Sayangnya, hal itu tidak diikuti dengan pertumbuhan pendapatan yang signifikan atau minimal sama dengan pertumbuhan wisman.

Sebagai contoh pertumbuhan wisman tahun 2017 sebesar 14 juta atau naik sekitar 2.5 juta (22%) dari tahun 2016, namun pendapatan devisa hanya naik 1.4 miliar dollar AS (10.3%) menjadi 15 miliar dollar AS di tahun 2017 bandingkan denga Thailand yang mengeruk devisa 81 miliar dollar AS dari pariwisata.

Diharapkan di pemerintahan selanjutnya mampu mengoptimalkan sektor pariwisata sebagai penyumbang pendapatan devisa terbesar bagi negara, karena belum optimalnya pendayagunaan potensi pariwisata Indonesia yang berlimpah.

Selain itu tentu saja Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing pariwisatanya agar semakin menarik para wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia. Selain itu trickle down effect dari sektor pariwisata merupakan keunggulan dari basis ekonomi lokal melalui penyerapan tenaga kerja lokal dan pemanfaatan sumber daya lokal yang mendukung pula perwujudan ekonomi inklusif di Indonesia.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat semakin memanasnya perseteruan dagang Amerika dan China, pariwisata merupakan salah satu sektor yang terbilang kebal dari perseteruan dagang tersebut.****

*Dr. Andi Desfiandi, M.A. adalah pengamat ekonomo-bisnis, Ketua Yayasan Alfian Husin, tinggal di Bandarlampung