Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila
Cuaca mendung yang cenderung pekat hari itu mengisyaratkan akan turun hujan lebat. Sambil memandang keluar dari celah jendela kantor yang cenderung sepi, sayup sayup terdengar pintu diketuk. Ternyata ada tamu sosok anak muda ingin meminta waktu berdiskusi tentang berbagai hal. Tentu saja hal seperti ini tidak disia-siakan; karena yang bersangkutan seorang doktor serta memiliki semangat untuk maju.
Diskusi pertama berkaitan dengan tema perilaku manusia yang cenderung “mendekat saat susah – menjauh saat sukses”. Ternyata yang bersangkutan mencurahkan kekesalan hatinya yang memiliki teman semula sangat akrab, bahkan makan tidur bersama. Seiring perjalanan waktu yang bersangkutan menduduki jabatan penting di suatu instansi; anehnya semenjak dialntik menjadi pejabat, yang bersangkutan berubah total, yang semula akrab dan sangat hangat bila berjumpa, sekarang semua itu musnah bagai ditelan bumi.
Ternyata setelah berdiskusi ditemukan persoalan sebenarnya bukan pada teman yang berubah, ternyata sang anak muda ini yang mengubah diri.
Ketidakberterimaan diri akan kesuksesan orang lain, menjadikan yang bersangkutan merasa orang lain yang berubah. Kalau menggunakan bahasa kiasan lama “tidak pandai menarik, lantai yang licin menjadi alasan”. Setelah diberi pemaknaan tentang hukum hukum perubahan di dunia ini menurut ilmu pengetahuan, yang bersangkutan mau memahami.
Berbeda lagi peristiwa lain, saat pagi hari datang ke kantor; sambil menunggu waktu untuk masuk kelas, masih sempat berbincang dengan beberapa rekan.
Perbincangan dimulai dari yang ringan sampai yang berat yaitu berkenaan dengan karakter kebanyakan peserta ajar bermental semua ingin instan. Tentu hal ini disebabkan proses pendidikan sebelumnya atau pendidikan informal yang mereka peroleh selama ini.
Akibatnya bisa dibayangkan betapa beratnya tugas untuk mengubah mental yang seperti ini; seperti pepatah lama “berburu kepadang datar, mendapat rusa belang kaki. Berguru kepalangajar bagai bunga kembang tak jadi”. Akibatnya proses pembelajaran yang digelar bukan berat pada materi, akan tetapi lebih berat pada pembentukan akhlak mulia.
Tampaknya perlu redefinisi kembali tentang kedewasaan, karena kedua contoh di atas ternyata menunjukkan bagaimana konsep kedewasaan yang selama ini dimaknai sebagai “kemandirian”, sudah harus ditambah dengan kemampuan mengenal diri. Kesesatan berfikir yang terjadi selama ini, baik secara personal maupun komunal, bersumber dari ketidak mampuan mengenal diri secara benar dan baik. Baik dalam ukuran moral, sementara benar ukurannya adalah perundangan negara maupun agama.
Baru-baru ini misalnya, ada kajadian seorang anak petinggi suatu instansi bergengsi di negeri ini dengan ugal-ugalan disebabkan persoalan sepele sampai menganiaya sesama anak ingusan sampai koma. Akibatnya, jabatan orangtuanya dicopot langsung oleh menterinya. Menggunakan istilah Jawa yang di pakai oleh pimpinan redaksi media ini, peristiwa itu diberi labael “Anak polah bopo kepradah”. Tejemahan bebasnya: anak bertingkah orang tua yang harus menanggung akibatnya.
Konsep diri yang keliru ini bisa jadi terbentuk oleh sikap orang tua yang telalu protektif terhadap anaknya; akibat dari orang tua yang berpendapat “biarkan orang tua yang susah, asal-anak bahagia”.
Sikap seperti ini karena orang tua berpandangan selama ini mereka hidup kurang beruntung secara ekonomi, jadi “kemiskinan” jangan lagi diturunkan pada anak. Sementara konsep kemiskinan sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang sempit, yaitu kepemilikan kebendaan. Justru yang terjadi karena anak tidak pernah mendapatkan tantangan diri dalam bentuk kesulitan hidup, maka konsep mengenal dirinya tidak terbentuk. Akibatnya, begitu beranjak dewasa muda, yang bersangkutan memiliki kepribadian ingin selalu berlindung pada “ketiak” orang tua.
Sikap orang tua yang terlalu protektif terhadap anak-anaknya sebenarnya secara tidak sadar keluarga itu melakukan pembunuhan generasi dengan tanpa disadari. Akibat sikap ini muncul sering sudah terlambat untuk disadari karena tidak jarang membuat orang tua menjadi terperangah karena semuanya sudah terlambat.
Mari kita siapkan generasi depan. Bukan untuk menjadi anak mami, tetapi anak yang mampu mengubah dunia dengan karya gemilangnya. Bukan terkenal karena “kebodohannya”, tetapi terkenal dalam keunggulan dalam bidangnya.
Selamat ngopi pagi.