Mengunjungi Surga Pelukis Kulit Kayu di Kampung Asei

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Aprilia Wayar

Lukisan kulit kayu (JUBI/Aprilia Wayar)

JAYAPURA-Dalam rangkaian Pameran Besar Seni Rupa 2014, 54 perupa dari 28 provinsi di Indonesia berkesempatan mengunjungi Kampung Asei Besar, Kabupaten Jayapura, Papua yang selama ini terkenal sebagai surga bagi pelukis kulit kayu.

Corry Ohee (54), salah satu pelukis tradisional di kampung ini, mengatakan tradisi melukis di atas kulit kayu telah dimulai sejak tahun 1600-an. Menurut Corry, tradisi ini sempat punah dengan perkembangan jaman. Hal ini dapat dilihat dari berbagai busana dalam bahasa setempat yang disebut malo beralih ke bahan dasar kain dan tekstil lainnya.

“Pada 1975, antropolog asli Papua, Arnold Clemens Ap dan Danielo Constantino Ayamiseb,  menggerakkan kembali tradisi mengukir atau melukis di atas kulit kayu. Ini adalah ukiran asli Suku Asei. Hingga saat ini tradisi tersebut terus dilanjutkan dan diperkenalkan ke mancanegara, antara laun  ke negara-negara di Eropa,” ungkap Corry kepada tabloidjubi.com di Pulau Asei Besar, Kamis (11/9)

Corry menggatakan, kampung yang berpenduduk sekitar 75 kepala keluarga ini memiliki tradisi melukis di atas kulit kayu, tidak terkecuali kaum muda dan anak kecil.

“Saat ini, sejumlah lukisan asli kulit kayu miliki Suku Asei masih tersimpan rapi di sejumlah museum besar di daratan Eropa. Salah satu budayawan berkebangsaan Eropa, Profesor Jac Hoogerbruge, berhasil mengumpulkan foto-foto lukisan tersebut di sejumlah negara Eropa dan membukukan lukisan kulit kayu itu,” kata Corry lagi.

Menurut Corry, motif-motif kulit kayu yang biasanya diukir atau dilukis oleh warga setempat adalah motif yang bernuansa kekayaan alam, kearifan loka,l dan keadaan di sekitar warga. Artinya, setiap lukisan yang dihasilkan di setiap lembar kult kayu pasti memiliki makna bagi keberlangsungan kehidupan warga setempat.

“Dalam bahasa kami, motif-motif ini disebut dengan Yoniki yang melambangkan kebesaran dan keagungan seorang raja atau ondofolo,” ungkap Corry.

Motif itu terdapat juga di gelang batu, perangkat lunak laki-laki, jari-jari dan daun palem. “Motif Yoniki adalah motif  tertinggi untuk seluruh Ondofolo di Sentani. Motif lainnya adalah Fow yang melambangkan ikatan kebersamaan dalam kekeluargaan yang biasanya berbentuk bulat. Ada juga ada motif Aye Mehele, Iuwga, Kino dan beberapa motif lainnya,” kata dia.

Menurut Corry, warna dasar atau dominan yang terdapat dalam lukisan kulit kayu itu adalah  hitam. Warna itu  berasal dari jelaga atau arang periuk. Untuk warna putih, dihasilkan dari pinang sirih. Sedangkan warna merah berasal dari batu kapur merah,” ungkap Corry lagi.

Di tempat yang sama, Christoforus, salah satu perupa Indonesia yang hadir dalam kegiatan pameran ini mengakui kesulitannya saat harus melukis di atas kulit kayu.

“Tempat melukis tidak selicin kanvas. Saat melukis, serat-serat kayu mempengaruhi arah lukisan dan saya membutuhkan sedikit waktu untuk bisa menyesuaikan lukisan dengan bahan dasar melukis,” kata Christoforus, perupa asal Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (11/9).

Sumber: tabloidjubi.com