Koran tanpa rubrik budaya akan gersang. Kampus tanpa teater akan meranggas. Kata-kata ini saya petik dari udara setelah lama mencermati kehidupan pers Indonesia dan beberapa kampus di Tanah Air. Banyak media besar, tetapi tidak punya ruang sastra-budaya. Pembaca dibombardir berita keras tentang darah dan air mata.
Banyak pula kampus mentereng dengan biaya kuliah yang mencekik leher para orangtua siswa, tetapi tidak memberi ruang pertumbungan dan perkembangan teater di kampus. Bahkan, kampus tua di Rawamangun tempat saya dulu belajar, kabarnya kini tidak punya gedung teater justru ketika kampus punya beberapa gedung belasan tingkat. Kampus menuju modern, tetapi memerosokka diri ke dalam kolam tunabudaya.
Di Lampung, teater kampus IAIN Raden Intan akhir-akhir ini menjadi perhatian justru tengah dilanda kemelut dengan induknya. Itu setelah teater kampus IAIN dihentikan aktivitasnya menyusul penyegelan Unit Kegiatan Mahasiswa-Seni Budaya Islam (UKM-SBI) IAIN Raden Intan Lampung oleh pihak rektorat. Kenapa teater kampus harus “dimatikan”? Mengapa rektor “sekejam” itu?
Saya tak hendak masuk wilayah konflik lebih dalam terkait pembekuan aktivitas teater kampus IAIN Raden Intan. Banyak informasi berseliweran dari dua sumber: aktivis seni kampus dan rektorat. Masing-masing punya alasan. Rektor beralasan pembekuan terkait masalah moral, tanpa penjelasan lebih jauh moral apa yang dilanggar. Sementara aktivis seni kampus berkukuh pihak rektorat tidak berhak membekukan dan membungkan aktivitas mereka karena mereka melakukan perannya sebagai mahasiswa: berekpresi dan menuntut transparansi pengelolaan dana pembangunan masjid kampus.
Dari beberapa berita yang saya baca di media massa, setidaknya hingga Minggu (15/5/2016) belum ada upaya menyelesaikan masalah itu dengan dialog. Para akivis seni kampus IAIN Raden Intan menggalang dukungan dari luar agar advokasi penyelesaian kasus berjalan lancar. Meski begitu, saya belum menemukan formula macam apa untuk penyelesaian masalah yang tampaknya makin meruncing itu.
Sejauh pengamatan saya, yang saya dasarkan dari tuntutan para aktivis UKM SBI IAIN Raden Intan, mahasiswa, dan beberapa karyawan, konflik itu bisa sederhana tetapi juga bisa rumit. Sederhana jika hanya menyangkut masalah pembekuan UKM SBI.Menjadi rumit jika ternyata dalam kasus itu juga terdapat kelindan masalah yang melibatkan pihak rektorat dan UKM SBI di luar urusan aktivitas berkesenian. Misalnya soal hukum saat penangkapan mahasiswa, tudingan korupsi, moral, dll. Meski begitu, masalah rumit itu akan menjadi bisa terurai dan bisa diselesaikan jika kedua belah pihak mau menyelesaikan masalah dengan cara berdialog.