Menjelajah Negeri Entah

Bagikan/Suka/Tweet:

Fathoni
Dosen Mata Kuliah Logika Fakultas Hukum Unila

Bayangan Kegelapan

Bayangkan, suatu malam yang gelap kita berjalan di suatu tempat yang baru kali pertama kaki kita menjejak disana. Tentu naluri akan mengatakan bahwa kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu ada apa gerangan satu meter di depan kita. Bisa jadi ada batu besar sehingga kita menabraknya, atau lubang dalam yang kita bisa terjerumus di dalamnya, atau ada semacam lumpur hidup yang bisa menelan tubuh kita. Lagipula, itu bukan perjalanan pariwisata yang diikuti banyak orang dengan perasaan suka cita. Itu adalah perjalanan sepi dalam keterpaksaan, perjalanan yang tidak dapat kita hindari. Keniscayaan yang mesti dihadapi.

Ilustrasi di atas sengaja penulis kemukakan untuk mengaduk perasaan pembaca. Kegelapan adalah lambang keburukan yang kita diajarkan meminta perlindungan Tuhan dari padanya. Secara logika, kegelapan adalah situasi ketiadaan cahaya. Atau ada cahaya, tapi sensor indra penglihatan tak mampu menangkapnya. Apa buktinya? Kita tidak dapat menambah gelap menjadi lebih gelap, yang kita dapat lakukan adalah mengurangi intensitas cahayanya.

Di dalam kegelapan, segala keburukan mungkin terjadi. Seorang sahabat dapat menabrak sahabatnya, seorang anak bisa salah menginjak kaki ayahnya. Seorang guru tidak bisa memastikan bahwa yang ia tulis di papan tulis adalah kebenaran ilmu, atau sekadar pemenuhan tuntutan keilmuan. Bahkan, si murid tidak dapat memahami, karena ia tak dapat melihat tulisan di papan. Semuanya tertutup bayangan kegelapan.

Negeri Entah

Di dalam sejarah dan peradaban, kita dapat menyebut tempat yang kini gelap itu, dulu bernama Lemuria, Atlantis, Kutai, Pasai, Sriwijaya, Majapahit, Demak, atau Mataram. Kala itu, negeri ini adalah taburan cahaya yang menakjubkan (wonderland), bukan negeri antah berantah (neverland). Negeri Garuda yang sayap dan cakarnya perkasa, bukan emprit, apalagi sekadar capung.

Negara ini sebentar lagi akan suksesi kepemimpinan nasional, peristiwa rutin tiap 5 tahun sekali. Peristiwa rutin dan biasa bagi negeri yang mendaulat dirinya negeri demokrasi. Bila kita jeli memandang, hampir tidak ada kisruh politik di dalamnya. Bahkan, bila kita menyelami lebih dalam, tidak ada peristiwa politik, apalagi politik pencerdasan dalam peristiwa limatahunan itu. Politik adalah segala upaya meraih kesejahteraan rakyat. Bila ada peristiwa yang bukan itu, maka bukan peristiwa politik namanya. Pengamat menyebutnya “politik transaksional”, padahal istilah itu kontradiksional secara logika, rancu secara semantik, dan telah lari dari kepastian ilmu. Istilah itu sebangun dengan istilah “Ibu durhaka”. Tidak ada ibu yang durhaka, kalau ia durhaka, ia bukan ibu namanya. Kalau politik tidak berorientasi kesejahteraan rakyat, bukan politik seharusnya ia dinamakan. Di dalam logika dilambangkan, “Jika A = B, B ≠ C, maka A ≠ C”.

Menuju Cahaya

Banyak harapan yang disematkan pada setiap pemerintahan yang baru, dalam setiap tingkatannya. Pemerintahan yang secara prosedural didukung banyak orang, tentu tidak secara substantif didukung oleh semua orang. Di dalam logika, sebagian tidak dapat merepresentasikan keseluruhan. Dari logika inilah lahir konsep demokrasi, bahwa suara sebagian orang “dianggap” mewakili semua orang, bahkan ada adagium “Vox Populi, Vox Dei”, suara rakyat adalah suara tuhan. Ilmu politik dan tata negara menyebutnya “suara mayoritas”. Penulis menyebutnya, “Demokrasi Voting”. Demokrasi benar-benar luar biasa, tidak ada keraguan di dalamnya (laa roiba fiihi). Di dalam demokrasi, kejahatan anggaran dimungkinkan dengan dalih “suara terbanyak”. Pencabutan subsidi bisa terjadi, bahkan manipulasi bisa disulap menjadi transparansi. Ini yang disebut WTP (Wajar Tanpa Perasaan).

Sesekali, coba kita renungkan: bencana alam, kebingungan arah kepemimpinan, kemandegan logika, ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpinnya, melengkapi keyakinan bahwa kita sedang berjalan tanpa arah. Menyusuri jalan setapak, di kiri ada jurang, di kanan bukit terjal. Tetapi, hari sudah pagi, ada cahaya di depan yang bisa kita ikuti. Harapan itu masih ada. Bahwa di negeri entah ini, pasti masih tersisa orang-orang baik yang bisa kita dengar dan kita ikuti. Orang-orang baik yang di hatinya masih ada Indonesia.

Menyusuri Jalan Sunyi

Setelah pagi, kita harus bersiap menghadapi senja. Saat cahaya mulai temaram, sebentar lagi gelap. Tapi, kita sudah melalui pagi, kita telah mengenal kanan kiri. Kita dapat menyusuri negeri ini dengan waspada. Bahkan kita ditemani orang-orang baik yang menyusuri jalan sunyi. Mereka ada di sebelah kita, menemani. Di depan kita, menauladani. Di belakang kita, menyemangati. Mereka memang tak nampak, karena sensor mata kita hanya peka terhadap cahaya dan keramaian. Sedangkan mereka, mampu menyusuri jalan sunyi, jalan yang tidak dilalui orang-orang kebanyakan. Mereka adalah pejalan sunyi, yang di hatinya ada Tuhan, Sang Maha Cahaya. Ternyata, mereka yang menuntun kita dalam gelapnya negeri entah, sehingga kita masih bisa bertahan. Tidak terperosok ke dalam lubang demokrasi, tidak menabrak batu globalisasi, tidak digigit ular di semak-semak zaman.

Tabik.