Menolak Sekte Sastra*

Bagikan/Suka/Tweet:
 Oyos Saroso H.N.

Seperti Ahasveros yang ditolak di setiap pintu, kritik sastra Indonesia berjalan tertatih-tatih mengejar luncuran bola salju yang memenuhi jagad kesusastraan kita. Krtik sastra indonesia selalu dicap gagal menafsirkan setiap gerak perkembangan karya sastra. Jagat sastra Indonesia kemudian justru dengan sejumlah politisasi sastra yang menjurus kepada ’penghinaan terhadap kreativitas’.

Persepsi demikian, saya tarik dari sejumlah perdebatan tentang legimitasi hadiah sastra, perdebatan sastra internet (siber),perdebatan novel Supernova karya Dewi Lestari, sehingga perdebatan tentang antologi Dari Fansuri ke Handayani, yang berbuntut perdebatan panjang itu. Semua perdebatan hanya melingkar-lingkar ke persoalan lama: stagnasi kritik sastra.

Pertanyaan kemudian: masih relevankah kita menyoal miskinnya kritik di tengah meruyaknya karya? Siapakah kritikus sastra Indonesia yang hingga saat ini konsisten mengawal nilai karya sastra Indonesia? Haruskah kita akan terus menyerahkan ‘tugas mengawal’ karya sastra Indonesia hanya kepada para pemimpin sekte sastra Indonesia?

Sebelumnya, berilah maaf jika saya menggunakan istilah sekte sastra. Itu hanyalah bahasa yang saya petik dari udara untuk memberikan identifikasi bagi kerja sastra yang tidak memerlukan ukuran, tanpa profesionalisme, dan hanya berdasarkan feeling yang sudah tentu sangat subjektif.Setelah muncul penolakan terhadap sentralitas dengan Taman Ismail Marzuki sebagai simbol tempat dan ‘para penguasa sastra’ sebagai objek yang harus dilawan, saya kira perbincangan tentang sekte-sekte sastra menjadi penting. Alasannya sederhana: setelah sekitar lima tahun berlalu, gerakan penolakan terhadap pusat ternyata mandul lantaran kurang amunisi. Selain itu, para penolak puast itu juga ternyata sedang membangun imperium baru sastra. Itulah salah satu bentuk sekte sastra. Sebagai sekte, tentu saja yang ada adalah penilaian mutlak-mutlakan, pengabdian total, sembari menegasikan pemikiran dan estetika lain. Perkembangan sekte sastra Indonesia berjalan seiring dengan perjalanan macetnya kritik sastra Indonesia.

Setelah H.B. Jassin wafat, saya kira, tidak memiliki kritikus sastra yang siap menjaga nilai-nilai sastra Indonesia. Bukan saja kritikus yang berwibawa. Selebihnya, karya sastra terus lahir tanpa dikawal kritikus. Begitulah, ekologi sastra Indonesia tumbuh dan berkembang dalam kelimpahruahan karya, dengan nol kritik. Dari ekologi sastra yang tak sehat itulah muncul kritik ’kata pengantar antologi’ model tulisannya Budi Darma dan Faruk di kumpulan cerpen terbaik Kompas.

Di tengah kemelimpahruahan karya itu muncul pulapara legitimator. Masuk dalam kelas ini adalah Tommy F Awuy, saat mengklaim Supernova sebagai tantangan baru bagi kritik satra Indonesia (Kompas, 11 Maret 2001). Sialnya, legitimasi acap tidak fair dan objektif. Legitimasi sastra acap tidak menyentuh ’darah-daging’ karya, tetapi lebih pada persentuhan permukaan. Semua itu terjadi karena ukuran sastra seolah hanya masuk ke keranjang sampah. Yang penting kemudian adalah feeling dan feeling. Dari arus itulah munculah apa yang saya sebut sebagai sekte sastra’.

Sastra Indonesia kemudian dipenuhi barisan sekte.Kategorisasi karya sastra kemudian tidak di dasarkan pada analis ’baku mutu’,tetapi lebih pada feeling para pemimpin sekte. Bayangkan jika seorang penyair besar macam Sutardji Calzoum Bachri melakukan kerja kepenyairan, sekaligus kerja kritik hanya berdasarkan feeling! Bayangkan pula jika seorang redaktur sastra media massa tidak memiliki kapasitas yang baik di bidang sastra dan menyeleksi yang masuk berdasarkan cita rasanya sendiri.

Karena hanya mengandalkan kehebatan pemimpin sekte, jangan heran jika setiap pengiriman sastrawan untuk belajar di Iowa ukurannya hanyalah seberapa dekat si satrawan dengan pemimpin sekte. Begitu juga untuk urusan workshop sastra, baik di dalam maupun di luar negeri. Sepintas ini memang persoalan remeh-temeh. Namun, bagi perkembangan sastra Indonesia pada masa depan, fenomena ini jelas membahayakan.

‘Kebanggaan’ adanya pengakuan dari para pemimpin sekte, saya kira berbeda dengan ‘kebanggaan’ karena mendapat pengakuan dari kritikus sekelas Jassin. Soalnya jelas: meskipun sering dituduh tanpa ukuran, yang dilakukan Jassin adalah murni demi kemajuan sastra Indonesia. Jassin sangat bertanggung jawab terhadap penilaian yang diberikannya. Ukuran-ukuran sastra Jassin pun jelas, sementara legimitasi yang diberikan oleh pemimpin sekte acap tidak jelas ukurannya.

Fenomena sekte-sekte sastra dalam jagat kesusastraan Indonesia hanya meneguhkan asumsi bahwa sastra Indonesia tidak pernah lepas dari mitos dan kontramitos. Siapa pun yang bisa menghancurkan mitos, apalagi bisa menundukkan pusat-pusat kekuasaan sastra dan pemimpin sekte sastra, maka dia akan serta menjulang sampai ke ’langit ke tujuh’. Mitos dan kontramitos seolah menjadi paduan seiring bagi terjadinya perubahan atau revolusi estetika.

Amir Hamzah adalah mitos yang kemudian diluruhkan oleh Chairil Anwar. Setelah Chairil menjadi mitos, peluruhan dilakukan secara beramai-ramai oleh generasi sesudahnya: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Goenawan Mohammad, dll. Pada dekade awal 80-an, mitos itu pun dibongkar lagi oleh generasi yang lebih muda seperti Afrizal Malna.

Persoalaannya kemudian, penghancuran mitos-mitos kepenyairan saat ini tidak dilakukan dengan dengan senjata kekuatan estetika, tetapi lebih dengan kekuatan lobi. Kritik sastra yang memiliki ‘panglima sastra’ tidak segera muncul, kecuali saat peluncuran buku antologi puisi dan cerpen. Kemiskinan kritik sastra objektif ini melahirkan sejumlah perdebatan yang mungkin tidak perlu karena di luar koridor dan ukuran-ukuran sastra. Sepanjang dekade itu 1980-an dan 1990-an, kritik sastra nyaris hanya bagai temperasan hujan. Ada beberapa nama yang masih ‘disegani’. Misalnya Budi Darma, SapardiDjoko Damono, Korrie Layun Rampan, Faruk,dan Nirwan Dewanto.

Namun, sayangnya, dekade itu tidak melahirkan kritikus yang sekelas Jassin. Para kritikus umumnya juga ’berprofesi’ sebagai satrawan, sehingga totalitasnya sebagai kritik masih kurang. Bahkan, kalau Angkatan 45, Angkatan 66, dan Angkatan 70-an memiliki juru bicara, sastra  Angkatan 1980-an hingga 1990-an nyaris yatim piatu. Dekade itu sastra berjalan tanpa juru bicara, sampai ’lahirlah angkatan satra baru’ yang oleh Korrie Layun Rampan disebut ’Angkatan Sastra 2000’. Nilai-nilai sastra seolah berjalan’tanpa pengawalan’, kecuali oleh para pemimpin sekte sastra, para penguasa pusat-pusat kekuasaan sastra, termasuk para penjaga gawang rubrik sastra-budaya media massa.

Bersama ’meledaknya’ sastra koran berapa sastrawan juga menghiasi ruang kritik sastra. Mereka antara lain Afrizal Malna, Radar Panca Dahana, Triyanto Triwikromo, Eko Tunas, Adi Wicaksono, Gus Tf Sakai, Ahmad Nurullah, Jamal D Rahman, Agus R Sardjono, Cecep Syamsul Hari, Beni R Budiman, Eddy A Effendi, Ahmad Syubhanuddin Alwy, Nurzain Hae, Iwan Gunadi, dan lain-lain.

Dari kampus ada Melani Budianta, Maman S.Mahayana, Nyoman Tusti Eddy, Sunaryono Basuki Ks, dan lain-lain. Fenomena sastra koran inilah yang juga berpengaruh (atau bergandengan tangan) dengan kritik model ’temperasan air hujan’ alias kritik yang benar-benar tidak tuntas. Kenapa? Mungkin, karena sebagian dari kritikus atau pengulas sastra kita, meminjam istilah Budi Darma, memang hanya memaknai dunia sastra sebagai ’dunia sepintas lalu’. Mereka tak benar-benar selesai pada saat berbicara tentang sastra dan kritik sastra.

Soalnya kemudian, baik mereka yang mengeluh maupun mereka yang rileks saja mencermati kritik sastra, sama-sama tidak memberikan formula penyelesaian persoalan. Kritik sastra tetap menjadi ladangtandus, sementara karya sastra tetap bermunculan. Kritikus sastra mati dan gagal mengawal karya sastra. Posisinya kemudian direbut pemimpin sekte sastra, para legitimator, dan penjaga gawang rubrik sastra media massa.

Ekologi sastra Indonesia akhirnya menjadi tidak sehat. Di tengah-tengah meruyaknya penolakan terhadap pusat-pusat kekuasaan kesusastraan, misalnya, justru terjadi pembangunan imperium sastra baru, baik itu yang lewat justifikasi komunitas sastra maupun komunitas budaya. Mereka sama-sama menerapkan ukuran ambigu: menolak pusat (dewan kesenian, pusat kesenian, lembaga kesenan pemerintah), sementara dirinya sendiri membangun kekuasaan yang tidak mengakomodasi keberagaman.

Karya sastra akan terus bermunculan, kritik sastra akan terus terbirit-birit, dan kita pun akan terus terkejut oleh’fenomena baru’ dalam bersastra. Kita akan lebih mudah terkejut. Seperti orang terkejut lantaran nun di Bandung sana ternyata ada penyair muda sangat berbakat dan masih duduk di bangku SMA. Atau kita terkejut ketika menyaksikan bagaimana ngerumpi sastra lebih digemari ketimbang membicarakan persoalan sastra secara serius.

Kita agaknya harus berani menolak sekte-sekte sastra sembari membangun kemungkinan lahirnya kritik sastra yang memcerdaskan. Memang kritik sastra belum tentu didengar oleh para sastrawan. Namun, kehadirannya jauh lebih menyehatkan dunia sastra ketimbang kita harus terus-menerus menyerahkan kepada para pemimpin sekte.

*Esai ini pernah dimuat di harian Media Indonesia, Minggu, 28April 2002. Tulisan ini dimuat dengan pertimbangan adanya sejumlah substansi dalam tulisan ini dengan perkembangan isu sastra Indonesia mutakhir.