Opini  

Menuju Bandar Lampung Bebas Banjir 2026: Saatnya Duduk Bersama

Dr. Eng. IB Ilham Malik
Dr. Eng. IB Ilham Malik
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Dr (Eng) IB Ilham Malik
Dosen Prodi PWK ITERA dan Peneliti di Malcon Institute, Senior Advisor pada Kantor Staf Presiden (KSP) bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah

Banjir kembali menjadi “tamu rutin” di Bandar Lampung. Setiap musim hujan, ruas jalan utama berubah menjadi sungai, rumah-rumah warga tergenang, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Warga bertanya-tanya: sampai kapan kota ini harus terus menjadi korban perencanaan yang terfragmentasi?

Dalam mengatasi banjir, ada dua aspek krusial yang harus diharmoniskan: teknis dan non-teknis. Aspek teknis meliputi pembangunan infrastruktur seperti perbaikan drainase, normalisasi sungai, dan pembangunan kolam retensi. Sementara aspek non-teknis meliputi penegakan regulasi tata ruang, edukasi masyarakat, serta sistem peringatan dini berbasis data.

Namun faktanya, selama ini penanganan banjir di Bandar Lampung cenderung berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi lintas sektor yang kuat. Pemda Kota bergerak di jalurnya, DPRD menganggarkan dengan orientasi tahunan, perguruan tinggi melakukan kajian ilmiah, dan asosiasi profesi bekerja di ranahnya masing-masing. Fragmentasi ini membuat solusi banjir tidak pernah sistemik, berkelanjutan, dan tepat sasaran.

Pentingnya Koordinasi Lintas Lembaga

Sudah saatnya, Pemda Kota Bandar Lampung, DPRD Kota, perguruan tinggi seperti ITERA dan kampus lainnya, asosiasi profesional seperti PTALI (Perhimpunan Tenaga Ahli Lingkungan Indonesia) Lampung dan MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) Lampung, serta lembaga riset independen seperti Malcon Institute, duduk bersama dalam satu meja koordinasi permanen.

Bukan hanya forum diskusi, melainkan membentuk Tim Akselerasi Penanganan Banjir berbasis kolaborasi ilmiah, teknis, regulatif, dan sosial. Targetnya jelas: pada tahun 2026, Bandar Lampung harus bebas dari banjir besar yang melumpuhkan kota.

Dalam kerangka ini, Pemda dan DPRD berperan sebagai pengambil keputusan dan penyedia anggaran. Perguruan tinggi dan lembaga riset memberikan kajian ilmiah berbasis data lapangan. PTALI dan MTI memberikan supervisi teknis sesuai keahlian bidang lingkungan dan transportasi. Sementara Malcon Institute membantu memformulasikan proyek-proyek penanganan banjir agar bankable (layak dibiayai oleh berbagai sumber pembiayaan) dan memiliki tingkat deliverabilitytinggi (jaminan proyek selesai tepat mutu, waktu, dan biaya).

Belajar dari Jepang: Strategi Adaptasi Modern

Jika butuh contoh keberhasilan, kita bisa belajar dari Jepang. Kota seperti Tokyo tidak mengandalkan satu solusi tunggal, melainkan membangun multi-layered flood protection system. Salah satu proyek terkenalnya adalah G-Cans Project — sebuah sistem terowongan raksasa di bawah tanah yang mengalihkan luapan air ke penampungan bawah tanah saat curah hujan ekstrem.

Meskipun skala G-Cans terlalu besar untuk Bandar Lampung, konsep dasarnya bisa diadaptasi: 1) Membangun kolam retensi di titik-titik rawan genangan, 2) Membuat terowongan air kecil (micro-tunnel) di bawah jalan-jalan utama, 3) Menata ulang sistem drainase perkotaan berbasis prediksi iklim, serta 4) Menegakkan zona resapan air dalam penataan ruang kota. Pendekatan ini mengutamakan kolaborasi antardisiplin — teknik sipil, hidrologi, perencanaan kota, sosial ekonomi — dan melibatkan publik dalam edukasi kesiapsiagaan.

Formulasi Anggaran yang Cerdas

Persoalan klasik penanganan banjir adalah keterbatasan anggaran. Inilah mengapa melibatkan lembaga riset sejak awal menjadi vital. Dengan formulasi yang tepat, proyek-proyek penanganan banjir bisa masuk dalam skema pembiayaan inovatif, seperti Public Private Partnership (PPP), Green Financing, atau pendanaan infrastruktur dari lembaga keuangan nasional dan internasional.

Tanpa formulasi yang tepat, proyek penanganan banjir hanya akan bergantung pada APBD tahunan — yang rentan berubah mengikuti politik anggaran — dan akan terus terhambat.

Arah ke Depan

Jika Menuju Bandar Lampung Bebas Banjir 2026: Saatnya Duduk Bersama
Oleh: Dr (Eng) IB Ilham Malik
Dosen Prodi PWK ITERA dan Peneliti di Malcon Institute. Saat ini beraktivitas penuh sebagai Senior Advisor di Kantor Staf Presiden (KSP) bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah.

Banjir kembali menjadi “tamu rutin” di Bandar Lampung. Setiap musim hujan, ruas jalan utama berubah menjadi sungai, rumah-rumah warga tergenang, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Warga bertanya-tanya: sampai kapan kota ini harus terus menjadi korban perencanaan yang terfragmentasi?

Dalam mengatasi banjir, ada dua aspek krusial yang harus diharmoniskan: teknis dan non-teknis. Aspek teknis meliputi pembangunan infrastruktur seperti perbaikan drainase, normalisasi sungai, dan pembangunan kolam retensi. Sementara aspek non-teknis meliputi penegakan regulasi tata ruang, edukasi masyarakat, serta sistem peringatan dini berbasis data.

Namun faktanya, selama ini penanganan banjir di Bandar Lampung cenderung berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi lintas sektor yang kuat. Pemda Kota bergerak di jalurnya, DPRD menganggarkan dengan orientasi tahunan, perguruan tinggi melakukan kajian ilmiah, dan asosiasi profesi bekerja di ranahnya masing-masing. Fragmentasi ini membuat solusi banjir tidak pernah sistemik, berkelanjutan, dan tepat sasaran.

Pentingnya Koordinasi Lintas Lembaga

Sudah saatnya, Pemda Kota Bandar Lampung, DPRD Kota, perguruan tinggi seperti ITERA dan kampus lainnya, asosiasi profesional seperti PTALI (Perhimpunan Tenaga Ahli Lingkungan Indonesia) Lampung dan MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) Lampung, serta lembaga riset independen seperti Malcon Institute, duduk bersama dalam satu meja koordinasi permanen.

Bukan hanya forum diskusi, melainkan membentuk Tim Akselerasi Penanganan Banjir berbasis kolaborasi ilmiah, teknis, regulatif, dan sosial. Targetnya jelas: pada tahun 2026, Bandar Lampung harus bebas dari banjir besar yang melumpuhkan kota.

Dalam kerangka ini, Pemda dan DPRD berperan sebagai pengambil keputusan dan penyedia anggaran. Perguruan tinggi dan lembaga riset memberikan kajian ilmiah berbasis data lapangan. PTALI dan MTI memberikan supervisi teknis sesuai keahlian bidang lingkungan dan transportasi. Sementara Malcon Institute membantu memformulasikan proyek-proyek penanganan banjir agar bankable (layak dibiayai oleh berbagai sumber pembiayaan) dan memiliki tingkat deliverabilitytinggi (jaminan proyek selesai tepat mutu, waktu, dan biaya).

Belajar dari Jepang: Strategi Adaptasi Modern

Jika butuh contoh keberhasilan, kita bisa belajar dari Jepang. Kota seperti Tokyo tidak mengandalkan satu solusi tunggal, melainkan membangun multi-layered flood protection system. Salah satu proyek terkenalnya adalah G-Cans Project — sebuah sistem terowongan raksasa di bawah tanah yang mengalihkan luapan air ke penampungan bawah tanah saat curah hujan ekstrem.

Meskipun skala G-Cans terlalu besar untuk Bandar Lampung, konsep dasarnya bisa diadaptasi: 1) Membangun kolam retensi di titik-titik rawan genangan, 2) Membuat terowongan air kecil (micro-tunnel) di bawah jalan-jalan utama, 3) Menata ulang sistem drainase perkotaan berbasis prediksi iklim, serta 4) Menegakkan zona resapan air dalam penataan ruang kota. Pendekatan ini mengutamakan kolaborasi antardisiplin — teknik sipil, hidrologi, perencanaan kota, sosial ekonomi — dan melibatkan publik dalam edukasi kesiapsiagaan.

Formulasi Anggaran yang Cerdas

Persoalan klasik penanganan banjir adalah keterbatasan anggaran. Inilah mengapa melibatkan lembaga riset sejak awal menjadi vital. Dengan formulasi yang tepat, proyek-proyek penanganan banjir bisa masuk dalam skema pembiayaan inovatif, seperti Public Private Partnership (PPP), Green Financing, atau pendanaan infrastruktur dari lembaga keuangan nasional dan internasional.

Tanpa formulasi yang tepat, proyek penanganan banjir hanya akan bergantung pada APBD tahunan — yang rentan berubah mengikuti politik anggaran — dan akan terus terhambat.

Arah ke Depan

Jika semua pihak mampu menyatukan visi, menyatukan langkah, dan mengelola sumber daya dengan basis ilmiah dan kolaboratif, maka mimpi Bandar Lampung bebas banjir di tahun 2026 bukan sekadar slogan. Ini tentang menyelamatkan masa depan kota, menjaga aktivitas ekonomi tetap hidup, dan memastikan kualitas hidup warga meningkat.

Bandar Lampung harus berani mengambil langkah besar sekarang. Tidak ada lagi ruang untuk kerja sektoral yang parsial. Waktunya berkoordinasi, berinovasi, dan bergerak cepat. pihak mampu menyatukan visi, menyatukan langkah, dan mengelola sumber daya dengan basis ilmiah dan kolaboratif, maka mimpi Bandar Lampung bebas banjir di tahun 2026 bukan sekadar slogan. Ini tentang menyelamatkan masa depan kota, menjaga aktivitas ekonomi tetap hidup, dan memastikan kualitas hidup warga meningkat.

Bandar Lampung harus berani mengambil langkah besar sekarang. Tidak ada lagi ruang untuk kerja sektoral yang parsial. Waktunya berkoordinasi, berinovasi, dan bergerak cepat.