Ahmad Yulden Erwin*
Saat mulai pembelajaran terstruktur dari penulisan kreatif untuk fiksi berupa
prosa sastra, maka kita sebaiknya memulai dari prosa realis dulu. Kenapa? Saya
akan memberikan alasannya sekarang.
Secara struktur prosa fiksi sastra dibentuk aspek internal dan eksternal.
Kali ini saya akan lebih dahulu membahas soal aspek internal, yang terbagi ke
dalam dua kategori, yaitu: nonlinguistik dan linguistik. Begini:
A. Aspek Internal (Nonlinguistik):
1. Tema (pendalaman tematik)
2. Penokohan (karekter fisik maupun psikologi)
3. Latar (setting) ruang dan waktu
4. Plot atau pengaluran adegan (peristiwa)
5. Sudut pandang pengisahan atau Point of View (POV).
B. Aspek Internal (linguistik):
1. Sintaksis (kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana)
2. Paragraf (narasi/deskripsi dan dialog)
3. Stilistika (gaya bahasa).
Dalam sejarah sastra dunia, kita mengenal apa yang disebut genre sastra
realis dan nonrealis. Begitupun halnya dengan prosa fiksi sastra, ada prosa
fiksi sastra realis dan ada yang nonrealis. Prosa fiksi sastra yang bergenre
realis mensyaratkan adanya harmonisasi dari unsur-unsur yang ada pada aspek
internal maupun eksternal. Oleh karenanya, seorang penulis prosa fiksi sastra
realis harus menguasai setiap aspek dan unsur-unsurnya dengan baik. Cara
termudah untuk memulai pembelajaran menulis prosa fiksi realis adalah dengan
membuat kerangka karangan fiksi sastra secara benar.
Kelihatannya rumit sekali menulis prosa fiksi sastra realis itu. Tapi, ini
memang dasarnya. Sekali kita menguasai teknik menulis prosa fiksi sastra
realis, maka akan relatif lebih mudah menguasai teknik prosa fiksi sastra
nonrealis. Kenapa bisa begitu? Karena prosa fiksi sastra nonrealis itu adalah
antitesis dari satu unsur atau beberapa unsur dalam struktur prosa fiksi sastra
realis; atau, sebaliknya merupakan penguatan satu unsur secara lebih dominan
dari struktur prosa fiksi sastra realis.
Saya akan beri contoh tentang prosa fiksi sastra nonrealis (atau beberapa
varian “anomali” dari realisme), tak perlu terlalu jauh periode
waktunya, dalam kaitannya dengan prosa fiksi sastra realis. Saya akan akan
ambil contoh mulai dari naturalisme Gogol pada abad ke-19 dalam sastra Rusia
hingga realisme magis Marquez pada abad ke-20.
1. Nikolai Gogol
Gogol dikenal sebagai pelopor cerpen baik realis dan nonrealis. Ia menguasai semua aspek dalam penulisan prosa fiksi sastra. Hanya saja, dalam
segi tema ia tak jarang mengambil kisah-kisah yang bertema fantastis (antitesis
dari tema prosa fiksi sastra realis). Misalnya, tokoh utama dalam salah satu
cerpennya adalah “hidung manusia”, hidung yang bisa berpikir dan
bicara. Pada satu cerpen lainnya, ia berkisah tentang hantu gentayangan dari
seorang klerek yang mati dan menuntut kembali mantelnya yang diambil orang.
Dalam novelnya yang berjudul “Jiwa-Jiwa Mati”, Gogol kemudian
mengembangkan apa yang sekarang dikenal sebagai prosa bergenre naturalis, yaitu
dengan mengeksplorasi (penekanan) secara sangat detil aspek latar ruang dan
karakter fisik tokoh-tokohnya untuk memunculkan efek satir.
2. Fyodor Dostojevsky
Karya-karya
Dostojevsky dikenal sebagai realisme psikologis (satu varian
“anomali” dari realisme). Penekanannya lebih dominan kepada unsur
psikologi dari tokoh-tokohnya. Dostojevsky sendiri mengakui bahwa
prosa-prosanya keluar dari “Mantel” (judul satu cerpen) karya Nikolai
Gogo
3. Franz Kafka (Rusia)
Ia dikenal
sebagai sastrawan yang memelopori genre sastra nonrealis di Eropa. Ia lebih
menekankan kepada, mengikuti Nikolai Gogol, antitesis tema-tema realis seperti
yang diusung oleh Anton Chekhov (sastrawan Rusia yang memelopori cerpen
realis). Tapi, ia juga menggarap aspek psikologis dari tokoh-tokohnya secara
lebih detil seperti Dostojevsky. Selanjutnya, ia melakukan berbagai eksperimen
penggunaan sudut pandang pengisahan (Point of View). Di samping itu, ia juga
melakukan berbagai eksperimen terhadap aspek linguistik, terutama dalam
kaitannya dengan penggunaan kalimat luas (majemuk). Boleh dikatakan bahwa
karya-karya prosa fiksi Franz Kafka menjadi antitesis dari prosa fiksi
realisme. Karena itulah ia dikenal sebagai pelopor prosa fiksi sastra nonrealis
dunia.
4. James Joyce (Irlandia).
Ia dikenal sebagai
penulis prosa sastra yang memelopori teknik “arus kesadaran” yang
melawan (antitesis) hampir semua aspek dari prosa fiksi realis. Pada novelnya
yang berjudul “Ulysses”, Joyce menggunakan teknik arus kesadaran
dengan memainkan parodi, lelucon, dan mite untuk menghadirkan karakter
tokoh-tokohnya. Ia juga menggarap secara detil latar ruang dan latar waktu dari
novelnya.
Sedangkan pada novelnya yang terakhir, yang dianggap para kritikus
sebagai salah satu novel tersulit di dunia, berjudul Finnegans Wake, Joyce
lebih menekankan pada aspek linguistik dengan memainkan berbagai parole,
bunyi-bunyi yang aneh, dan penggabungan kata yang tak dipahami secara umum
untuk menimbulkan efek fonetika — ekspresi ekstrim dari teknik arus kesadaran
seperti ini ia sebut sebagai novel tanpa plot, tanpa karakterisasi tokoh yang
jelas, sebuah novel tanpa awal dan tanpa akhir. Kelak karyanya, terutama novel
“Ulysses” amat memengaruhi beberapa sastrawan dunia lainnya seperti
Vladimir Nabokov, Jorge Luis Borges, Salman Rusdie, John Updike, David Lodge,
dll.
5. Jorge Luis Borges (Argentina).
Prosa
fiksi sastra Borges sangat unik, karena ia lebih menekankan pada plot dengan memadukan
antara fakta sejarah, dongeng atau mitos, dan pandangan filosofis. Ia menentang
“psikologisme” ala Dostojevsky dan menyebutnya sebagai “tidak
logis”. Kelak, karya-karya Borges memberi inspirasi bagi lahirnya gerakan
kebudayaan pascakolonial dan genre realisme-magis dalam sastra Amerika Latin.
Secara linguistik Borges menekankan pada penggunaan kalimat luas ditambah
dengan stilistika berupa metafora atau simbol (yang lazimnya amat ditekankan
dalam puisi). Ia juga lebih banyak menggarap narasi dalam paragrafnya ketimbang
dialog.
6. Samuel Backett
Di tengah maraknya filsafat eksistensialisme di Eropa, muncullah seorang
sastrawan Irlandia yang memelopori bentuk “final” dari sastra absurd,
yaitu Samuel Backett. Dipengaruhi oleh tema-tema dominan dari filsafat
eksistensialisme Prancis, seperti kemuakan, kehampaan, ketiadaan makna,
relativitas moral, dll. — Backett mendorong ekspresi tematik sastranya lewat
kisah-kisah “konyol” dan komikal dari kehidupan manusia. Tema-tema
filosfos eksistensialisme Prancis yang digarap secara hiperbolis menjadi ciri
utama karya-karyanya. Secara linguistik cerpen dan novel Backet merupakan
antitesis dari teknik Kafka yang mengeksplorasi kalimat luas. Ia lebih
menekankan penggunaan kalimat sederhana, yang pendek-pendek, dan acapkali tidak
lengkap unsur pembentuk kalimatnya secara sintaksis. Ia juga lebih banyak
menggunakan teknik monolog, ketimbang dialog, dalam paragrafnya.
7. Gabriel Garcia Marquez (Kolumbia).
Ia dikenal sebagai pelopor dari realisme magis dalam
kesusastraan dunia. Pada karyanya yang berjudul “Seratus Tahun
Kesunyian” terdapat jejak-jejak “plotisme” yang kental dari
Jorge Luis Borges. Pada aspek linguistik, ia juga menekankan pada pengunaan
metafora dan kalimat luas. Sedangkan di novelnya yang berjudul “The Autumn
of the Patriarch” ia melabrak konvensi (antitesis) penggunaan paragraf
(baik narasi maupun dialog) seperti lazimnya prosa realis.
Tak jelas mana dialog dan mana narasi, karena semuanya dijejalkan dalam satu
bab tanpa pemisahan paragraf. Jangan berharap untuk mencari kalimat yang
mengandung pikiran utama dan pikiran penjelas pada setiap “paragraf”
dalam novel “The Autumn of the Patriarch”. Karena itulah, sebagai
antitesis dari realisme dan (bahkan) nonrealisme, karya-karya Marquez
mengukuhkan satu genre baru dalam sastra dunia yang disebut realisme-magis.
Sastra realisme-magis ini kemudian banyak memengaruhi sastrawan di berbagai
negara, seperti Salman Rusdie (India/Inggeris), Orhan Pamuk (Turki), Ben Okri
(Nigeria), Milorad Pavic (Serbia), Italo Calvino (Italia), Ismail Kadare
(Albania), dan masih terjejak pada novel-novel sastrawan feminis Austria
Alfreide Jelinek.
Saya sudah cukup panjang lebar menjelaskan kaitan antara prosa fiksi
nonrealis dengan realis. Intinya, prosa fiksi nonrealis itu merupakan antitesis
atau penekanan secara berlebihan dari aspek-aspek prosa fiksi realis. Artinya,
kita boleh saja memberontak terhadap konvensi atau tradisi sastra realis, asal
kita memang sudah tahu dengan baik apa itu konvensi atau tradisi sastra realis.
Bukan asal ngawur mau memberontak saja dan berlagak jadi pembaharu sastra.
Anda mungkin tidak menyangka, seorang pemberontak prosa fiksi sastra paling
ekstrim di dunia seperti James Joyce, menggarap novel avant garde-nya, “Ulysses”,
secara sangat terstruktur, seperti menata satu-satu batu bata untuk dinding
suatu rumah yang sedang dibangun. Saat menggarap latar (setting) ruang, Joyce
melakukan riset yang mendalam tentang tata kota dan berbagai bangunan di Kota
Dublin. Awalnya, ia juga menulis prosa fiksi sastra yang realis dulu, yang
tertuang dalam dua bukunya, yaitu:” Dubliners” dan “A Portrait
of the Artist as a Young Man”. Itulah sebabnya ketika ia memberontak
terhadap konvensi sastra realis, ia benar-benar paham aspek apa yang
dilawannya, yang menjadi dasar pemberontakannya.
Pemberontakan James Joyce
mencapai klimaks dalam novel terakhirnya, “Finnegans Wake”, ketika ia
memberontak terhadap aspek linguistik itu sendiri, terhadap konvensi bahasa itu
sendiri. Dan ingatlah, sang pemberontak besar itu, memulainya dengan menulis
prosa fiksi realis secara terstruktur.
Ketika seorang kontraktor membangun satu jembatan yang kokoh, secara teknik
ia memang benar-benar tahu bahwa struktur yang membangun jembatan itu juga
mesti benar-benar kuat. Misalnya, tulang besi yang menjadi “kerangka”
tiang-tiang jembatan itu mestilah dari besi kualitas terbaik, bukan dari besi
bekas. Begitu pula halnya, menurut saya, jika kita ingin menulis prosa fiksi
sastra yang indah dan kokoh secara struktur.
Dalam konteks penulisan prosa fiksi sastra, seorang penulis tidak bisa
mengabaikan hal yang struktural itu, yang mendasar itu, lalu tiba-tiba sudah
meloncat ke poststuktural.
Kebanyakan cerpen atau novel di Indonesia yang katanya modern atau bahkan
postmodern itu begitu dibedah secara struktural langsung berantakan. Segala
puja-puji palsu dari teman-teman yang bertindak sebagai “kritikus
dadakan” atau “kritikus pesanan penerbit” langsung pula hancur
berkeping-keping.
Lalu, setelah dibedah secara objektif begitu, biasanya para penulis kita pun
tak terima. Tak jarang mereka malah menuduh balik bahwa sang kritikus itu
sentimen dengan “keindahan” karya mereka yang secara naif telah
mereka anggap sejajar dengan para penulis peraih Nobel Sastra. Atau, mereka
berdalih bahwa karya mereka itu poststrukturalis, atau nonrealis, atau bergenre
absurd total, atau — yang paling sering digunakan sebagai dalih adalah
“kebebasan estetik” — semacam eksperimen avant garde yang paling
“ngawur” dan belum akan mampu dipahami sampai menjelang detik-detik
terakhir sebuah asteroid menabrak bumi.
Padahal, yang terjadi karya mereka itu
memang secara struktur sudah dari awal berantakan.
Itulah sebabnya, sampai sekarang, tak ada penulis prosa fiksi sastra dari
Indonesia yang secara internasional diakui kualitas karyanya seperti Pramoedya
Ananta Toer — sastrawan Indonesia yang beberapa kali dicalonkan meraih hadiah
Nobel Sastra.
Jadi, baiklah, jika kita benar ingin bisa menulis sastra, maka kita mulai
dari dasar dulu, dari sastra realis dulu, dengan membuat kerangka karangan yang
meliputi aspek internal prosa fiksi realis dengan benar. Silahkan melakukan
studi sastra secara intensif.
*Penyair. Buku antologi puisinya yang baru terbu: Perawi Tanpa Rumah