Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Sebelum lanjut mendedah pemikiran pada laman media ini penulis haturkan Mohon Maaf Lahir Batin dan Selamat Merayakan Hari Agung Idulfitri 1445 H. Ada yang tertinggal dalam memori saat menunaikan ibadah Id kemarin dulu. Yakni betapa banyak di antara kita menunggu waktu berbuka terakhir di bulan Ramadan tahun ini, dengan berdoa semoga masih diberi waktu untuk berjumpa dengan ramadhan yang akan datang dalam keadaan sehat, dilanjutkan dengan menunggu peristiwa lainnya. Salah satu diantaranya adalah menunggu waktu shalat Id.
Peristiwa shalat Id memang mengharubiru rasa. Pertama, semua tempat penyelenggaraan kegiatan ibadah shalat didatangi jamaah bagai air mengalir tiada henti. Kedua, semua masjid dan musala tidak mampu menampung limpah ruahnya jamaah yang datang bak gelombang pasang. Ketiga, semua menunggu datangnya khatib sehaligus imam untuk memulai pelaksanaan ibadah.
Nah, pada momen menunggu ini yang asyik, karena semua panitia gelisah sampai detik-detik menjelang akhir beliau yang ditunggu belum juga tiba di lokasi. Semua panitia menggunakan alat komunikasi untuk menghubungi yang bersangkutan. Bisa dibayangkan ketegangan saat itu. Satu sisi jamaah terus berdatangan, sementara tempat halaman yang disediakan sudah penuh, terpaksa melimpah ke jalan raya. Wajah-wajah tegang saat itu hadir di majelis, sebagai panitia yang bertangungjawab merasa tidak bisa beres dalam bertugas.
Karena waktu sudah tiba, panitia memberanikan diri naik mimbar untuk membacakan susunan acara serta memberi informasi berkaitan dengan zakat dan fitrah yang terkumpul serta informasi penting lainnya. Pada saat itu pula pecah suasana menjadi gembira karena yang ditunggu akhirnya datang. Dengan langkah gontai bak tidak ada yang kurang apalagi bersalah, beliau naik mimbar untuk memulai acara.
Konon menurut para ulama sepuh, cara yang benar itu ya yang begini: khatib jangan mendahului jamaah atau bersamaan dengan jamaah.
Kita lepaskan perdebatan itu biarkan para ahlinya yang memikirkan, namun yang jelas kegiatan Shalat Id dilaksanakan sesuai aturan yang telah ditetapkan sejak jaman Rasullulah bisa berjalan dengan baik.
Ternyata “menunggu” adalah peristiwa yang sering membuat menegangkan, bahkan mengharubiru perasaan sebagai manusia; padahal jika kita ingin bersabar sejenak untuk merenung, ternyata “menunggu” adalah peristiwa yang memiliki hikma besar, dan justru keindahan rasa itu ada pada saat “menunggu”. Kita-pun sebagai manusia sebenarnya selalu ada pada posisi menunggu, dan inti dari menunggu itu adalah “waktu”.
Menunggu untuk lahir di dunia, sampai menunggu waktu untuk meninggalkan dunia,juga sejatinya diisi oleh “menunggu” serial serial kehidupan sebagai lakon. Inilah yang disebut jantera. Selama kita menunggu waktu diminta untuk dapat memanfaatkan waktu. Orang bijak mengatakan manusia terbaik itu bukan manusia yang teralim, namun manusia terbaik itu adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lai. Dalam proses menunggu kita masih bermanfaat bagi orang lain yang juga menunggu.
Karena menunggulah memposisikan kita bahwa kehidupan ini adalah suatu perjalanan. Di saat matahari terbenam menandakan bahwa hidup kita berkurang satu hari didunia ini. Di saat matahari terbit itu artinya kita masih diberi peluang satu hari lagi untuk berharap. Oleh sebab itu, mari kita nikmati setiap langkah dan proses dalam hidup ini, karena Tuhan Maha Pemurah dan Maha Pemberi.
Jangan hentikan doa kepada Tuhan, namun jangan pula tanyakan kapan dan dimana akan terkabul karena urusan waktu dan tempat bukan wilayah manusia, Yakinilah bahwa yang terbaik akan selalu diberikan Tuhan kepada mahluknya. Tidak ada penderitaan yang abadi bagi orang yang sabar, dan tidak ada kebahagiaan yang abadi kecuali bagi orang-orang yang pandai bersyukur.
Salam waras.