Menunggu Hujan yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif…

Bagikan/Suka/Tweet:
Oleh Felix Lamuri
Kabupaten Lampung Selatan merupakan potret anomali paling menonjol terkait angka pertumbuhan potensi pertanian dan fakta riil lapangan. Semua data dan referensi statistik dengan gamblang menyebut kedigdayaan pertanian yang dihasilkan Lampung Selatan.
Lampung Selatan adalah kabupaten dengan lahan pertanian terluas di propinsi Lampung. Untuk produksi padi, Lampung Selatan memang berada pada posisi ketiga sebesar 424.276 ton (Sensus Ekonomi Lampung th 2013). Namun menjadi jawara di sektor pertanian non padi. Produksi jagung Lampung Selatan merupakan penyumbang angka terbesar, sebanyak 539.522 ton. Sumbangan ini yang menjadikan propinsi Lampung sebagai kampiun produsen jagung di kawasan Sumatera dengan 1.742.000 ton di tahun 2012.
Sementara data Sensus Pertanian th 2013 juga mencantumkan Lampung Selatan sebagai kabupaten dengan luasan lahan pertanian terbesar namun dengan produktivitas per ha hanya berada di posisi ke 5 dengan 48,33. Salah satu penyebabnya adalah kondisi lahan Lampung Selatan yang sangat kering. Di saat kabupaten lain mulai menyiapkan pemupukan, sebagian besar petani Lampung Selatan justru dilanda kegalauan akibat ketiadaan hujan, Hingga hari, Jumat 21 November belum ada hujan cukup besar yang menjadikan lahan cukup ‘empuk’ untuk ditanami bibit jagung.
Namun di sisi lain, ada fakta dan kenyataan lapangan yang sangat ironis. Pertumbuhan ekonomi Lampung 2011 tercatat sebesar 6,39 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi sumatera sebesar 6,16 persen dan sedikit lebih rendah dibanding angka nasional sebesar 6,46 persen. Namun sektor pertanian hanya bertumbuh 5,16 persen. Celakanya pertumbuhan 5,16% tersebut hanya dinikmati oleh segelintir warga, Bagaimana dengan para Petani dan keluarganya ?
Lahan kering di Lampung Selatan. (Foto: Felix Lamuri)
Petani di Lampung Selatan (seperti halnya petani daerah lain), ternyata masih sibuk melepaskan jerat hutang dari usaha pertanian mereka. Di kecamatan Ketapang, misalnya, rata-rata dalam satu desa (total 16 desa) memiliki agen/tengkulak hingga 3 orang. Petani jagung di kecamatan ini, merupakan kontributor langsung yang menjadikan propinsi Lampung memiliki PDRB yang naik hingga dua kali lipat dalam waktu lima tahun.
Nilai PDRB Lampung ADHB menempati peringkat ke-12 se Indonesia. Nilai PDRB Provinsi Lampung atas dasar harga berlaku mencapai 128,41 Triliun rupiah (Wagub Lampung, 2014). Namun setiap musim tanam jagung, sebagian besar, 60-70% petani (perkiraan kasar berdasarkan diskusi dg kelompok tani) masih mengandalkan tengkulak untuk mendanai pengelolaan lahan pertanian mereka.
Untuk 1 ha, mereka diberi ‘bantuan dana’ yang harus ditebus setiap panen dengan bunga 5% per bulan. Apabila gagal panen, seperti kejadian musim kering (gadoh) tahun ini yang mencapai luasan hingga 30% dari total lahan, beban hutang mereka akan dihitung hingga delapan kali, Dengan asumsi mereka akan panen dalam 8 bulan ke depan (musim rendeng).
Bukan hanya itu saja. Potret ironi lainya adalah beban biaya pengelolaan pertanian mereka dari saprotan, khususnya pupuk subsidi. Kebutuhan urea, NPK maupun SP36 per petani mencapai angka 7 kuintal (700 kg) untuk 1 Ha. Jumlah dana yang harus mereka kuras dari dompet sungguh fantastis. Rata-rata 20% dari harga HET yang ditetapkan Menteri Pertanian. Untuk pupuk urea yang seharusnya dibeli dengan harga 90.000 per 50kg dijual, melalui para tengkulak yang bermain mata dengan Pengecer Resmi dan GAPOKTAN, dengan bandrol hingga 115.000 per sak. Kalau ada isu bahwa pupuk akan langka, mereka pun bersiap-siap mencabut duit hingga 130.000 ripis !!!
Ironi ini tidak akan pernah berakhir apabila pemerintah sama sekali tidak pernah ikut memikirkan 134.152 keluarga petani yang masih setia memberikan segalanya untuk lahan pertanian mereka yang justru menempati lahan Register milik Kementerian Kehutanan.
Semoga esok, hujan mengguyur Lampung Selatan secara massif, sistematis dan terstruktur untuk menghapus ironi yang ada, meski cuma sesaat…..