Opini  

Menunggu Kepala Daerah Baru

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Pasangan calon kepala daerah akan ditetapkan pada 22 September 2024. Sebagian besar akan diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon, sementara beberapa daerah di Kabupaten/Kota hanya memiliki calon tunggal. Perbedaan nyata dalam pilkada sekarang ini yaitu kalau pilkada sebelumnya tidak ada calon tunggal, dan tidak ada koalisi dukungan parpol yang melebihi delapan partai politik mendukung satu pasangan calon; sebaliknya, ada pasangan calon yang hanya didukung oleh dua partai politik.
Siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah pada pilkada serentak November yang akan datang? Memang, calon kepala daerah yang mendapatkan dukungan dari banyak partai politik memiliki peluang yang lebih besar untuk menang, karena memiliki sumber daya yang lebih besar dan dukungan mesin politik yang kuat.

Namun, dalam konteks politik, ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi hasil akhir seperti tingkat popularitas calon, kualitas kampane dan isu-isu lokal, perubahan dinamika politik seperti pergeseran dalam opini publik dapat mempengaruhi hasil, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah bisa memengaruhi preferensi pemilih.

Para analis, pengamat, dan juga masyarakat awam memperbincangan seputar pilkada hanya berkutat pada isu-menang atau kalah, tetapi kurang tersentuh untuk menilai apakah calon kepala daerah punya konsep dan gagasan besar untuk memajukan daerah lima tahun ke depan.

Tulisan ini dengan judul menanti kepala daerah baru; kata baru bisa diterjemahkan pergantian kepala daerah yang lama, namun baru dalam makna pergantian kepala daerah diartikan bukan sebatas kemunculan figur baru tetapi yang menjadi esensi adalah terjadinya perubahan kepemimpinan yang bisa menjawab problem publik, memiliki integritas , memiliki visi dan misi yang terukur dan rasional

Jadi, makna “baru” dalam konteks ini identik dengan perubahan atau pembaruan dalam kepemimpinan dan potensi adanya perubahan dalam lima tahun ke depan. Apakah para pemilih yang mayoritas adalah kelas menengah ke bawah bisa menangkap esensi pilkada yang membawa pesan perubahan untuk kemajuan masyarakat dan daerahnya?

Jika ditilik pilkada yang sudah berlangsung empat kali diberbagai daerah memang terdapat beberapa figur kepala daerah yang relatif menonjol pada aspek kepemimpinanya dan berani tampil beda dalam mengimplementasikan kebijakan yang inovatif. Figur-figur ini sering kali mampu mengatasi tantangan lokal dengan pendekatan yang kreatif dalam mengatasi problema publik yang mendasar, Namun, sebagian besar produk hasil pemilihan kepala daerah umumnya cenderung menghasilkan pemimpin yang kurang efektif dalam mengatasi isu-isu publik dan masih dominan menampilkan karakter kepemimpinan birokratik yang kurang responsif terhadap perubahan dan kurang fleksibel dalam menghadapi isu-isu publik yang dinamis, sehingga tidak ada teorobosan dan kreativitas dalam penyelesaian masalah publik.

Kepala Daerah Baru

Memunculkan kepala daerah yang memiliki gagasan perubahan untuk mengatasi problema publik menjadi kata kunci untuk mengukur kapasitas dan kualitas kepemimpinan kepala daerah. Problema publik yang dimaksud adalah memiliki dua ukuran yaitu mengatasi masalah dengan kebijakan yang efektif dan mengatasi masalah dengan peningkatan kualitas pelayanan.

Dua problema publik tersebut di beberapa daerah, seperti di Lampung masih belum sepenuhnya bisa diselesaikan secara efektif. Problem penyelesaian masalah infrastruktur (seperti jalan buruk), ketimpangan pembangunan antar daerah kabupaten/kota, pengangguran, kemiskinan , kualitas pelayanan publik dan kesenjangan sosial sampai sekarang tidak kunjung tuntas untuk bisa diselesaikan.

Demikian halnya, pada aspek kualitas pelayanan masih terjadi ketimpangan antara kota dan kabupaten. Isu pemerataan kualitas pelayanan masih belum menjadi isu utama; pelayanan publik masih ditempatkan sekedar memnuhi tugas rutinas birokrasi pemerintahan dengan target yang sangat minimal, pada hal tuntutan masyarakat untuk memenuhi target tingkat kepuasan sudah menjadi kebutuhan seiiring dengan dinamika perubahan yang sedang terjadi.

Lalu, siapa yang bisa melakukan peran tersebut? Ada dua pendekatan yaitu melalui pendekatan sistem dan dengan pendekatan kepemimpinan. Pendekatan sistem akan fokus pada perbaikan struktur, proses, dan prosedur pelayanan publik secara menyeluruh, dengan menekankan pada integrasi dan koordinasi antara berbagai institusi serta penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.

Sementara pendekatan kepemimpinan akan menekankan pada peran pemimpin dalam mendorong perubahan, menetapkan prioritas, dan memotivasi aparatur birokrasi pemerintahan untuk mencapai tujuan bersama. Kombinasi dari kedua pendekatan ini dapat memastikan bahwa perbaikan tidak hanya bersifat teknis tetapi juga melibatkan aspek manusia dan budaya organisasi yang mendukung transformasi berkelanjutan dalam kualitas pelayanan.

Perspektif calon kepala daerah ke depan seharusnya menempatkan persoalan mengatasi problema publik, peningkatan kualitas pelayanan dan pemerataan pembangunan sebagai kebutuhan untuk mengusung agenda perubahan yang nyata. Inilah yang dikategorikan dalam konsep kepala daerah baru.

Dengan demikian, pilkada serentak pada Bulan November yang akan datang idealnya bukan sekedar sukses dalam penyelenggaraan tetapi jika tidak memunculkan visi kepala daerah baru, maka hampir dipastikan lima tahun ke depan akan lebih dominan diwarnai karakter kepemimpinan hanya sebatas menjalankan agenda rutinitas, tidak ada terobosan kebijakan, aktivitas seremonial akan tetap menonjol, target peningkatan anggaran tidak akan maksimal, potensi pemborosan anggaran dan praktek penyalahgunaan wewenang akan tetap terbuka.

Memunculkan kepala daerah baru, pada akhirnya akan ditentukan oleh rakyat sebagai pemilih. Rakyatlah yang akan menentukan siapa yang dinilai layak menjadi kepala daerah baru yang memiliki visi perubahan ke depan Tetapi, jika rakyat tidak memiliki informasi yang cukup tentang calon kepala daerah, atau jika pilihannya dipengaruhi oleh politik uang atau karena kedekatan hubungan primordial, maka hampir dipastikan kemunculan kepala daerah tidak akan berhasil mengatasi permasalahan yang ada. Alih-alih menghadirkan perubahan yang signifikan, kepemimpinan yang terpilih kemungkinan besar akan terjebak dalam pola lama, hanya sebatas menjalankan rutinitas yang tidak membawa dampak perubahan yang nyata bagi kemajuan daerah dan peningkatan kualitas pelayanan publik.***

*) Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung