Merasa Bisa Vs Bisa Merasa

Pro. Dr. Sudjarwo/Foto: Istimewa
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila

Membaca media sosial hari ini kita dibuat terkesima karena ternyata di negeri ini banyak sekali orang pandai. Kepandaian itu dibuktikan dengan bagaimana mengomentari suatu peristiwa bak komentator media elektronik menyampaikan komentar pandangan mata tentang sepakbola.

Pekerjaan yang begitu sulit dan tidak mudah, untuk beliau-beliau ini justru sangat mudah; sehingga menghakimi orang dengan cepat bahwa tidak becus dan lain sebagainya. Kemampuan mengadilinya lebih hebat dari hakim garis Piala Dunia. Semua yang dilakukan orang salah, dan yang paling benar itu adalah apa yang dikatakannya. Walaupun saat dicoba untuk mengambil peran yang dihujat, maka asli kemampuan ketidakbecusannya tampak.

Menjadi lebih seru lagi diksi yang digunakan berupa sarkastik, hiperbola, sinisme, dan masih banyak lagi yang berpola melebih-lebihkan, sehingga dikesankan dirinyalah yang paling ahli, paling pandai tiada tanding; bahkan berani sesumbar bahwa dirinya mampu dalam sekejap untuk menyelesaikan masalah itu.

Kejumawaan seperti ini banyak kita jumpai di kolom komentar; terlepas kebebasan komentar adalah hak asasi yang paling dasar, namun orang lainpun punya hak asasi untuk membela diri. Akhirnya dialog dialog emosional menghias kolom kolom berikutnya. Orang yang merasa bisa seperti ini sekarang sedang mendapatkan panggung karena media sosial menyediakan salurannya, sehingga Adagium Romawi yang mengatakan “Saya akui hak anda untuk berbicara, walau saya tidak suka dengan apa yang anda bicarakan” menjadi populer.

Sementara pada sisi lain kita menemukan orang yang mudah tersentuh hati kemanusiaannya. Keinginan membantu sesama begitu besar, sampai sampai melupakan kepentingan pribadinya. Syahwat untuk membantu ini ditularkan kepada teman seirama, yang kemudian menjadi membesar dan berubah menjadi gerakan kemanusiaan, atau relawan. Orang atau kelompok ini memiliki empati yang sangat besar kepada sesama.

Pribadi mulia seperti ini mengingatkan kita pada suatu kisah di jaman Rasullulah: (yang dinukil dari minanws oleh Bahron Ansori ): bagaimana tiga orang sahabat yang sebelum syahid mereka merasakan dahaga sangat luar biasa. Saat air itu akan diberikan kepada salah seorang dari mereka, terdengar ringkih sahabat di sebelahnya yang sangat haus dan ingin minum. Tanpa pikir panjang, sahabat pertama meminta agar air jatahnya diberikan saja kepada sahabat di sebelahnya.

Saat sahabat kedua itu hendak minum, tiba-tiba ia mendengar sahabat ketiga yang juga sedang sakarat meminta minum. Lalu dengan senang hati sahabat kedua pun memberikan air tadi kepada sahabat di sebelahnya.

Atas takdir Allah semata, sahabat ketiga itu meninggal beberapa saat sebelum air itu diberikan kepadanya. Air itu pun dibawa dan akan diberikan kepada sahabat pertama dan kedua sebelumnya.
Namun, kedua sahabat tadi juga sudah wafat. Akhirnya air itu utuh, dan benar-benar utuh karena ketiganya tak sempat minum sedikit pun. Ketiganya pun syahid (HR. Ibnu Sa’ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa’ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi’ah sebagai ganti Suhail bin Amr– diunduh 25 Juli 2021 Pk.12.30 WIB).

Bagaimana perasaan ikut merasakan penderitaan orang lain dapat melupakan penderitaan diri sendiri; sehingga mengantarkan seseorang kepada derajat yang tinggi dihadapan Sang Khalik. Pada nukilan yang sama lebih lanjut Bahron Ansori menjelaskan para sahabat itu telah melahirkan ta’aruf (saling kenal) yang sempurna. Tingkatan itu pun naik kepada tafahum (rasa saling memahami), lalu naik lagi menjadi ta’awun (rasa saling menolong dan menguatkan satu sama lain). Tak hanya sebatas ta’awun di antara mereka. Sifat takaful (rasa senasib dan sepenanggungan/sepenanggulangan) pun tumbuh subur hingga melahirkan sifat itsar (mendahulukan kepentingan sahabatnya di atas kepentingan dirinya sendiri).

Dua sisi mata uang kehidupan di atas menunjukkan bahwa media secara fisik bebas nilai, namun begitu dipegang oleh tangan manusia; maka media itu bertambah nama sosial, yaitu menjadi media sosial; dan saat itulah dia tidak bebas nilai lagi. Tergantung dari bagaimana pemilik tangan itu menggunakan; apakah dia menjadi iblis atau menjadi malaikat. Jika menjadi iblis maka dia menjelma menjadi “merasa bisa” apa saja; apabila pilihannya menjadi malaikat maka dia menjelma menjadi “bisa merasa” perasaan sesama mahluk.

Pada saat kondisi Negara sedang dilibas oleh badai Corona; alangkah baiknya kita menjadi “bersifat malaikat” kepada sesama, dan tidak menjadi sifat iblis dari teman lainnya. Pilihan paling amanpun dapat kita lakukan yaitu tidak memalaikatkan diri dan juga tidak mengibliskan diri; dengan kata lain tidak komentarpun sudah pilihan yang sangat baik.

Betul apa yang dikatakan seorang sohib bahwa saat ini banyak orang mung rumongso biso (hanya merasa bisa) tetapi tidak biso rumongso (bisa merasa/bisa menyadari) sehingga perilakunya menjadi “wagu” seperti keledai dungu. Maka tindakan sangat bijak jika kita tidak menambah panjang barisan ini; dengan demikian kita tidak menambah penderitaan orang lain.

Tampaknya uji nyali yang Allah Firmankan untuk selalu berbuat sabar, dengan hadiah Syurga janatunnaim; memang tidak mudah, tetapi janji Allah itu pasti adanya; maka mari kita saling mengingatkan untuk selalu berbuat baik pada sesama. Tugas kenabian ini bukan monopoli orang orang suci, tetapi awam seperti kitapun dimungkinkan. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.***