Opini  

Merencanakan Kota Sebagai Tempat Komtemplasi

I.B. Ilham Malik
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Dr. Eng. Ir. I.B. Ilham Malik*

Sebuah pemerintah kota membutuhkan kekuatan finansial untuk dapat membangun berbagai macam sarana dan prasarana kota yang dibutuhkan oleh warga kota. Kebutuhan warga kota akan sarana dan prasarana yang memadai, atau bahkan sarana dan prasarana yang andal, adalah hal yang sangat wajar. Sebab, masyarakat kota sesungguhnya adalah masyarakat yang seharusnya sudah masuk level kebajikan dan kebijakan yang tinggi.

Mereka berada di dalam sebuah wilayah yang disebut kota karena mereka ingin mendapatkan layanan yang baik. Ketika mereka mendapatkan layanan yang baik, akhirnya mereka juga bisa mengeksplorasi diri dan mengakselerasi kontribusi yang bisa mereka lakukan untuk dapat semakin menaikkan derajat kemanusiaan. Derajat kemanusiaan meningkat dari warga kota yang masih berada di daerah pinggiran,  menjadi  semakin mendekati kemapanan ekonomi dan kemantapan dalam kesejahteraan hidup.

Jadi, memang, kota seharusnya bukan tempat untuk mengeksplorasi ekonomi dan tenaga agar dapat memperoleh kondisi kehidupan yang lebih baik. Sebab, kota adalah tempat ekspresi ekonomi sudah cenderung membumi dibandingkan dengan ekspresi ekonomi di luar wilayah yang disebut dengan kota.

Saya sering membayangkan kota itu sesungguhnya tempat melakukan perenungan dan kontemplasi, karena semua yang dibutuhkan oleh manusia kota sudah dapat terpenuhi. Yang menyediakan seluruh kebutuhan itu adalah manajer kota, yang pada saat ini kita sebut dengan pemerintah kota.

Tentu saja akan banyak pihak yang mengatakan bahwa impian semacam ini adalah impian yang bersifat utopia. Namun, sesungguhnya berbagai langkah bisa dilakukan untuk mewujudkan apa yang pada saat ini masih disebut dengan utopia tadi. Di situlah kemapanan dari sisi pengetahuan. Dialektika yang sangat dinamis perlu dilakukan agar mendapatkan cara-cara atau langkah-langkah yang harus dilaksanakan guna merealisasikan mimpi yang pada saat ini masih disebut dengan utopis tadi. Kita tentu saja bisa bergerak dinamis, bisa melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, dan bahkan kita bisa melakukan upaya-upaya sinergi dengan berbagai elemen, karena kita ingin mencapai impian yang menurut sebagian besar orang pada saat ini adalah utopis.

Jadi, perlu ada upaya yang sistematis dan juga tentu harusnya strategis guna mewujudkan apa-apa yang ada di dalam alam pikir manusia terhadap sesuatu yang disebut ideal. Sebagaimana yang tadi saya sampaikan, ideal itu adalah sesuatu yang pada saat ini masih dianggap sebagai suatu hal yang di utopis. Meskipun demikian, hal ini juga yang kemudian membuat kita bergerak dan atau tergerak, untuk melakukan suatu hal. Bahkan berbagai hal, sehingga  kita bisa keluar dari ketidakmungkinan.

Pemerintah memiliki tanggung jawab yang sangat besar berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Berbagai pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat, perlu secara bersama-sama mencapai sesuatu yang ideal tadi. Karena hal yang ideal itulah yang dapat membuat kehidupan kita menjadi lebih baik, lebih aman, dan lebih nyaman. Dengan begitu, kita tidak lagi terjebak masuk dalam zona perebutan kemapanan ekonomi, tetapi kita sudah masuk ke dalam tahapan kemapanan kebajikan dan kebijakan.

Kota harus dapat direncanakan dengan baik dengan menggunakan pola pikir tadi. Pola pikir ini, perlu saya garis bawahi: adalah pola pikir yang keluar dari konteks pembangunan kota pada saat ini. Namun, para filosof di bidang perkotaan telah memberikan peringatan (warning) kepada kita tentang bagaimana merencanakan kota-kota agar dapat menjadi tempat berkontemplasi. Bukan lagi menjadi sebuah tempat yang yang membuat hubungan antarwarga tidak harmonis karena adanya persaingan pada perebutan kekuasaan dan ekonomi. Sebab, sesungguhnya kota itu dibentuk agar seluruh warga kota dapat lebih fokus pada perbuatan yang bijak dan bajik. Dan itu artinya suatu perilaku yang dapat membuat kehidupan warga kota fokus pada penciptanya yaitu Ilahi.

Kita masih belum memiliki contoh kota yang dapat memberikan arahan serupa dengan apa yang saya sampaikan ini. Tetapi inilah tantangan yang harusnya di jawab oleh para perencana kota dan juga pemerintah kota agar dapat mencapai apa yang diinginkan oleh mayoritas warga kota kita. Dan agama kita juga telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana caranya untuk dapat lebih banyak mengalokasikan waktu untuk kegiatan yang berkaitan dengan ibadah, dan berbagai kegiatan lainnya yang semakin meng-eratkan hubungan kita dengan pencipta.

Dalam konteks perkotaan, tentu saja hal ini bisa diwujudkan dalam bentuk perencanaan dan perancangan kota yang komprehensif dan tematik. Perencanaan ini yang saya maksud bukan saja perencanaan yang bersifat teknis dan juga fisik, tetapi lebih mengarah pada kebijakan pembangunan kota yang lebih bersifat nonteknis. Tentang bagaimana caranya kita bisa dapat membuat masyarakat kota kita cepat keluar dari garis keterbelakangan dan kemiskinan, dan secepat-cepatnya mencari cara membuat masyarakat kita sampai di level mapan secara ekonomi dan juga secara ilmu pengetahuan.

Di sisi lain, kita juga perlu memastikan tidak ada pemenuhan kebutuhan warga kota yang disediakan oleh sekelompok pengusaha yang bisa menimbulkan reaksi dari pengusaha lainnya dan atau dengan kelompok masyarakat lainnya secara negatif. Karena itulah fokus dari perencanaan kota adalah membuat kota sebagai tempat berkontemplasi dan melakukan perenungan hidup, sehingga kehidupan warga kota mengarah pada perilaku kehidupan peribadatan. Bukan mengarah ke komersialisasi kehidupan warga kota yang berujung pada pengabaian esensi keberadaan “manusia kota” yang beradab dan berilmu pengetahuan.***

*Dr. Eng. Ir. I.B. Ilham Malik,  konsultan perencanaan wilayah dan kota di Malcon Studio Lampung, dosen di PTN