Meriang Sosial

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Pada waktu penulis menunggu mahasiswa pascasarjana program doktoral mengerjakan tugas asesmen matakuliah Filsafat Ilmu dan Manajemen Pendidikan Islam, wajah mereka seolah sedang meriang memahami tugas. Ada yang gelisah, ada yang serius, ada yang tampak tenang, tetapi dahi berkerut. Ada yang juga menatap kosong. Mereka sedang terhinggapi meriang bersama, karena ini menentukan keberlanjutan studi mereka.

Berdasarkan penelusuran mesin kata, meriang adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tidak enak badan atau terasa agak demam. Selain menyebabkan suhu tubuh naik, meriang biasanya juga disertai gejala badan menggigil kedinginan, badan terasa nyeri, sakit kepala, lemas, atau mulut terasa pahit.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata meriang adalah berasa tidak enak badan karena kurang sehat. Arti lainnya dari meriang adalah terasa agak demam (misalnya karena masuk angin atau terserang influenza). Contoh: Badannya meriang, lidahnya terasa pahit.

Makna harfiah di atas ternyata sekarang diperluas dalam area sosial untuk menggambarkan kondisi “sedang tidak baik-baik saja” dari situasi yang sedang terjadi. Seperti halnya kondisi negeri saat ini, yang di banyak lapisan sedang terjangkiti “meriang sosial”. Fenomena yang tampak permukaan pada masyarakat saat ini seperti guru yang diadili karena menghukum siswanya tidak mau ikut salat berjamaah, ada menteri yang “ngijon”kan jabatan di lingkungan departemennya, ada Kepala Sekolah harus masuk buih karena nilep dana BOS, ada polisi malah ikut mencuri mobil warga yang sedang belanja. Mungkin deretan itu akan panjang jika kita mau menelisik lebih jauh lagi.

Meriang sosial yang sedang melanda negeri ini tentu memiliki sumber ketidak warasansosial, sehingga terjadi fenomena seperti tadi. Salah satu dari sumber-sumber penyebab itu adalah kekeringan pendidikan yang bermuatan etika dan budi pekerti. Setelah sepuluh tahun periode kepemimpinan saat ini, harus diakui bahwa pembangunan fisik memang luar biasa pesatnya. Namun pada sisi lain pembangunan sumber daya manusia agak sedikit terabaikan. Akibatnya banyak perilaku yang tidak seharusnya terjadi, justru sekarang menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Dan, sudah menjadi rahasia umum tidak ada pemerintah meminta maaf atas keteledorannya; justru yang ada membela diri setengah mati; disertai jurus tunjuk sana, tunjuk sini.

Proses pendidikan yang panjang dan berkelanjutan, itu terjadi setelah di tanam sepuluh tahun yang lalu. Asumsi itu ternyata mendekati kesahih-an dalam kehidupan nyata, jika dilihat betapa besarnya perilaku menyimpang secara sosial, jika diukur dengan kualifikasi; bisa jadi juga secara kuantifikasi. Sebagai misal, bagaimana ada tiga orang anak yang tega menelantarkan ibunya di Jakarta, karena tidak sudi merawat orang yang melahirkan dirinya di dunia ini. Sang Ibu harus mencari Panti Werdha yang mau menerimanya, padahal beliau adalah isteri pensiunan dari seorang militer; untung ada Polisi yang berhati malaikat mau membantu beliau mencarikan panti. Sampai tulisan ini ditulis, belum ada berita lanjut bagaimana keberlanjutan nasib sang ibu dari janda seorang tentara tadi.

Para elite negeri ini sedang sibuk sendiri dengan urusan pergantian kepemimpinan kedepan; mereka banyak meriang jabatan, sementara rakyatnya sedang meriang ekonomi karena memikirkan kehidupan sehari-hari yang mereka tidak mampu menjangkau untuk membeli. Kondisi yang begini banyak elite menilai baik-baik saja, sementara rakyat merasa sedang tidak baik-baik saja, karena bencana kekeringan membuat merekapun harus kekeringan nasib. Hanya kepasrahan kepada Tuhan itulah senjata terakhir yang mereka miliki, dalam wujud doa dan air mata.

Upaya menghidupkan kembali pendidikan yang berorientasi memanusiakan manusia Indonesia, adalah ihtiar yang harus kita galakkan bersama. Termasuk memilih wakil di parlemen dan pemimpin negeri ini ke depan, yang mampu membaca fenomena sosial seperti ini. Siapapun orang dan latarbelakangnya itu tidak menjadi referensi utama, namun cita-cita besar menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran mental sosial, adalah pijakan utama dalam memilih diantara mereka. Kita tidak akan ketemu mahluk sempurna di dunia ini, namun kita harus mencari yang memeiliki kelemahan paling minimal, itu yang dapat kita lakukan.

Tulisan ini bukan untuk kampanye, tetapi mengingatkan kita semua kesalahan menetukan pilihan hari ini, resiko yang harus kita derita lima tahun kedepan lamanya. Lebih menderita lagi kalau itu ditambah dengan kecurangan karena keinginan kembali modal dari yang kita pilih. Maka, kita akan meriang sepanjang tahun dibuatnya.

Selamat ngopi pagi.