Opini  

Mewaspadai Jalan Akses Tol Lampung

Bagikan/Suka/Tweet:

IB Ilham Malik

Peresmian jalan tol yang baru-baru ini dilakukan oleh presiden memberikan harapan baru pada sebagian masyarakat. Terutama kepada masyarakat yang memiliki kebutuhan pada kecepatan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Peresmian ini juga menandakan adanya peresmian jalan tol terpanjang yang pernah dibuat dalam satu segmen utama yaitu 140 km.

Sayangnya, peresmian jalan tol ini dilengkapi dengan adanya insiden seorang ibu yang menuntut pembayaran ganti rugi lahan mereka yang digunakan untuk membangun jalan tol. Dan bukan hanya ibu itu saja yang belum mendapat ganti rugi. Dari video yang beredar setelahnya menunjukkan bahwa ada beberapa orang lagi (konon kabarnya hingga 50 orang?) yang masih belum mendapatkan ganti rugi itu. Dalam bahasa presiden dalam beberapa waktu sebelumnya adalah “ganti untung”. Bukan “ganti rugi”.

Hanya saja, dalam setiap membangun infrastruktur, ada-ada saja kelemahannya. Ada-ada saja melesetnya. Itulah sebabnya, dalam setiap membangun infrastruktur, membangun bangunan sipil, yang benar itu adalah mendengarkan pendapat teknis dan non teknis para engineer. Sebab, merekalah yang sudah ditempa bertahun-tahun untuk memahami bangunan sipil, tentang segala hal yang berkaitan dengannya. Ya, tentu saja kehadiran para engineer ini bukan untuk menyempurnakan suatu produk bangunan saja, tetapi juga untuk mengefektifkan, untuk menekan negative impact, untuk mem-paripurnakan proses, dan sebagainya.

Nasihat ini untuk projek di masa yang akan datang. Untuk yang saat ini, kita nikmati saja dan jalani saja dengan niat baik. Seperti kasus terendamnya jalan tol di Ngawi akibat banjir, bagi sebagian orang mungkin hal itu wajar, tetapidari sisi teknis sesungguhnya hal itu tidaklah wajar. Hal itu menunjukkan  bahwa ada tantangan yang dihadapi oleh para engineer kita. Bahwa kecepatan membangun, kemendesakan membangun yang tidak dibarengi dengan kecukupan sumber daya manusia dan modal, akan berimplikasi pada mutu dan ketahanan bangunan.

Soal tol Lampung ini, kita akan menghadapi kendala pada jalur penghubung antara jalan raya ke jalan tol. Meskipun tidak se ekstrem Brebes Exit Toll, yang sangat terkenal dengan istilah Brexit toll, tetapi hal ini juga membutuhkan penanganan. Penanganannya bukan saja pada jalannya (rumaja, rumija, dan ruwasja), tetapi juga perlunya merekayasa lalu lintasnya agar tidak menimbulkan kecelakaan lalu lintas.

Contohnya saja adalah jalan akses yang menghubungkan Bypass Sukarno Hatta dengan pintu tol Kota Baru yang membelah kawasan permukiman. Ada potensi masalah serius pada segmen penghubung ini.

Saran saya adalah perlunya Pemprov Lampung berkoordinasi dengan seluruh dishub dan kepolisian di kabupaten/kota yang terhubung dengan tollroad untuk mengurangi masalah dan ancaman yang diakibatkan perubahan pola lalu lintas ini. Kita juga menyarankan agar pelaksana dan pengelola jalan tol untuk dapat membantu menyelesaian kebutuhan rekayasa lalu lintas akibat kehadiran jalan tol.

Rekayasa lalu lintas sangat dibutuhkan pada kawasan yang pada awalnya adalah permukiman biasa. Jalan akses menuju dan dari jalan tol menutut kehati-hatian warga. Dan secara bersamaan menuntut rekayasan teknis dari pemerintah dan operator jalan tol.***

*Dosen Teknik Sipil UBL, Ketua Masyarakat Transportasi Wilayah Lampung