Opini  

Minimnya Akses Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandarlampung

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Refi Meidiantama
Akademisi FH Unila dan Pegiat Lingkungan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan elemen yang sangat vital dalam kehidupan perkotaan yang sering kali diabaikan, meskipun keberadaannya semakin mendesak di tengah maraknya urbanisasi dan perubahan iklim. Sayangnya, di banyak kota besar Indonesia, RTH masih jauh dari kata layak dan belum mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat akan ruang yang sehat, nyaman, dan ramah lingkungan.

Sesuai dengan Undang Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 1 ayat 31, Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Kemudian, seperti yang tertuang didalam pasal 29 ayat 2, jumlah luas area ruang terbuka hijau di wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah. 20% dari 30% ruang terbuka hijau bersifat publik sesuai dengan pasal 29 ayat 3.

Sebuah kota yang ideal, berdasarkan standar yang ditetapkan UU Penataan ruang seharusnya menyediakan setidaknya 20% ruang terbuka hijau bersifat publik dari total luas wilayahnya. Namun kenyataannya, kota-kota besar misal seperti Jakarta hanya mencatatkan angka yang sangat rendah, bahkan jauh dari ambang batas tersebut. Jakarta misalnya, memiliki RTH yang diperkirakan hanya sekitar 5.2% dari luas kota, angka yang mengkhawatirkan mengingat tingkat polusi udara yang tinggi. Di Bandarlampung justru lebih mengkhawatirkan, berdasarkan Perda RTRW Kota Bandarlampung 2021-2040 Persentase luasan ruang terbuka hijau (RTH) yang hanya 2,39% dari total luas Kota Bandarlampung.

Bandarlampung sebagai ibu kota Provinsi Lampung, seharusnya dapat menjadi contoh kota yang berkembang dengan memperhatikan keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam. Namun, kenyataannya, kota ini masih sangat jauh dari harapan ketika kita membicarakan ruang terbuka hijau (RTH). Salah satu contoh yang paling mencolok adalah bagaimana anak-anak muda di Bandarlampung terpaksa mencari tempat nongkrong yang tidak layak, seperti underpass Unila, karena kurangnya RTH yang memadai.

Salah satu ciri kota yang modern dan berkelanjutan adalah kemampuan menyediakan ruang terbuka hijau yang cukup dan berkualitas untuk warganya. Di Bandarlampung, kondisi tersebut belum terwujud. Minimnya taman kota, alun-alun, atau ruang publik yang layak membuat anak muda di Bandarlampung mencari tempat alternatif untuk berkumpul. Sayangnya, tempat yang mereka pilih bukanlah taman atau ruang publik yang hijau dan aman. Melainkan underpass, area yang biasanya digunakan untuk transportasi dan bukan untuk kegiatan sosial.

Hal ini bukan hanya masalah estetika, tetapi juga menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kualitas hidup masyarakat, khususnya generasi muda. Underpass Unila yang seharusnya menjadi ruang transportasi menjadi ruang “terpaksa” bagi anak-anak muda. Mereka tidak memiliki pilihan lain, karena di kota ini tidak ada ruang terbuka hijau yang cukup untuk menampung mereka dengan nyaman. Krisis ruang terbuka hijau di Bandarlampung menunjukkan betapa kota ini masih terjebak dalam paradigma pembangunan yang hanya berfokus pada infrastruktur fisik, tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis dan kualitas hidup masyarakat. Ketika anak muda mencari ruang untuk berekspresi dan bersosialisasi selain di kafe-kafe, tetapi akses terhadap ruang hijaupun sangat terbatas.

RTH bukan hanya soal taman atau pohon-pohon hijau, tetapi juga tentang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berinteraksi, berolahraga, dan bersosialisasi dengan aman dan nyaman. Jika anak muda di Bandarlampung terpaksa nongkrong di underpass, maka ini adalah indikasi nyata bahwa RTH di kota ini tidak memadai dan sangat perlu untuk dievaluasi.

Saat ini, semakin banyak kota di dunia yang menyadari pentingnya keberlanjutan (sustainability) dan kualitas hidup. Kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya mungkin menghadapi tantangan serupa dalam hal RTH, tetapi mereka mulai memperbaiki keadaan dengan membangun taman kota, jalur sepeda, dan ruang publik lainnya. Bagaimana dengan Bandarlampung?.

Pemerintah Kota Bandarlampung perlu melakukan langkah nyata untuk menyediakan RTH yang cukup dan berkualitas, yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Taman-taman kota yang rapi, area terbuka hijau yang dilengkapi dengan fasilitas olahraga, jalur pejalan kaki yang aman, dan tempat berkumpul yang nyaman akan memberikan banyak manfaat, bukan hanya untuk kesehatan fisik tetapi juga untuk kesehatan mental masyarakat.

Akhirnya, ketidakhadiran RTH yang memadai di Bandarlampung bukan hanya masalah kebersihan atau keindahan kota, tetapi masalah struktural masyarakat secara keseluruhan. Anak muda yang harus nongkrong di underpass adalah cerminan dari kegagalan kota dalam menyediakan ruang hidup yang layak dan berkelanjutan.

Kenapa ini bisa terjadi? Salah satu faktor utamanya adalah konflik antara pembangunan dan ruang hijau. Dalam upaya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, ruang terbuka hijau sering  dikorbankan. Lahan yang seharusnya menjadi paru-paru kota malah diubah menjadi gedung-gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, atau kompleks perumahan yang tidak ramah lingkungan. Tentunya, pembangunan yang tidak mempertimbangkan keberadaan RTH hanya akan menciptakan lingkungan yang tidak sehat, mengurangi kualitas hidup, dan memperburuk dampak perubahan iklim.***