Oleh Suryadi Sunuri*
Mungkin setiap etnis yang tinggal di Sumatera mengenal cerita tentang jenenis makhluk yang disebut orang pendek yang tinggal di hutan-hutan tropis pulau ini yang lebat dan merimba raya. Mereka bukan orang Kubu, Sakai, atau Talang Mamak, kelompok-kelompok manusia yang dipercayai sebagai orang Sumatera Asli (proto Melayu) yang menyingkir ke hutan-hutan karena terdesak oleh kelompok Melayu muda yang datang dari daratan Asia. Orang pendek ini adalah jenis yang lain yang rupanya sudah lama menarik perhatian dunia ilmu pengetahuan Barat. Nama lokal yang diberikan kepadanya bermacam-macam, tapi yang paling dikenal adalah leco(dalam ejaan lama ditulis : letjo). Ada juga orang menyebut (si) bigau, tapi saya kurang pasti apakah ini makhluk dari jenis yang sama atau yang berbeda.
Tentang bigau, cerita turun-temurun yang sering kita dengar adalah bahwa, tidak seperti manusia biasa, makhluk ini memiliki tumit yang menghadap ke depan. Oleh sebab itu ia dapat berlari kencang dan susah bagi manusia menangkapnya. Lagipula ia memiliki indera penciuman yang tajam.
Mungkin ada yang sudah membaca cerpen Damhuri Muhammad, “Bigau” (Kompas,12 Agustus 2007), sebuah cerpen yang menarik yang merepresentasikan unsur-unsur kepercayaan lokal orang Minangkabau di darek yang, langsung atau tidak, terkait dengan makhluk ini. Seperti yang terefleksi dalam cerpen itulah kira-kira kepercayaan penduduk lokal terhadap makhluk ini: si bigau dipercayai suka memelihara babi hutan (kondiak) dan lebih dipandang sebagai makhluk gaib.
Tentang leco, sebagian penduduk lokal di Sumatera mengkategorikan orang pendek ini ke dalam jenis setengah manusia, tapi sebagian lain menganggapnya sebagai sejenis binatang. Dalam sebuah laporan oleh majalah Pandji Poestaka No. 49, Tahoen X, 17 Juni 1932, hlm. 758 (Serba–Serbi), dikatakan:
Letjo itoe sebangsa machloek jang sangat hampir kepada manoesia, boléh dikatakan setengah manoesia. [T]elah lama petjah schabar dionderafdeeling Rokan, orang diatjoe-atjoekan mentjari binatang itoe. Barang siapa mendapat, konon dapat hadiah dari perserikatan orang-orang ber’ilmoe dinegeri België. Pada hari Djoemaa’at tanggal 27 Mei 1932 Zelfsbetuurder dari Landschap Rokan IV kota, memberi chabar kepada toean Gezaghebber di Pasirpangaraijan, bahasa ditengah hoetan dalam loehak Rokan IV kota, seorang pemboeroe telah beroentoeng dapat menémbak seékor “létjo”. Létjo itoe tengah memangkoe anaknja, tetapi peloeroe itoe hanja dapat memboenoeh anak létjo itoe sahadja, laloe mati pada ketika itoe djoega; sedang indoeknja itoe menjelinap hilang masoek hoetan.
Rupanya orang pendek ini antara lain sering ditemukan di daerah Pasirpangarayan, hulu Sungai Rokan. Selain di tempat itu, makhluk ini juga sering di lihat orang di hutan-hutan di daerah Kerinci. Jon Kabot, seorang Facebuker mengatakan bahwa tahun 1950-an ada leco yang tertangkap oleh orang desa di Pasirpangarayan.
Akan tetapi, rupanya beberapa dekade sebelumnya, juga sudah ada jenis makhluk ini yang tertangkap di daerah itu, seperti dilaporkan oleh majalah Pandji Poestaka, No. 44, Tahoen X, 31 Mei 1932, hlm.686 (Kroniek):
Orang pendék. Sum[atra] Post mendengar kabar bahwa oléh gewestelijk bestuur diterima kabar dari radja di Rokan bahasa didaérah Rokan terdapat orang pendék, jang telah lama ditjari orang itoe.
Seorang pemboeroe telah dapat menangkap orang pendék perempoean jang beloem déwasa. Orangpoen mentjari teroes orang pendék lainnja.
Majalah Pandji Poestaka, No. 45, Tahoen X, 3 Juni 1931, hlm.701 (Kroniek) melanjutkan laporan penangkapan orang pendek itu:
Orang pendék. Tentang penangkapan orang pendék itoe, lebih landjoet Sum[atra] Postmendengar kabar bahwa waktoe mengadakan perdjalanan commissie controleur Pasir Pengaraian mendengar dari toekang mentjahari roetan dan atap bahwa meréka telah beberapa kali berdjoempa dengan orang pendék.
Kabar dari toekang mentjari rotan atap itoe ada dibenarkan oléh radja di Rokan, jang djoega telah melihat orang pendék itoe. Oléh controleur itoe laloe diperintahkan oentoek menangkap orang pendék itoe mati atau hidoep. Orang-orang Radja tadipoen laloe memboeroe orang pendék perempoean dengan anaknja. Anaknja tertangkap mati dan ema’nja jang loeka sedikit karena ditémbak bisa melarikan diri.
Selanjutnya, Pandji Poestaka, No. 46, Tahoen X, 7 Juni 1931, hlm.717 (Kroniek) menyebutkan:
Orang pendék. S. P. [Sumatra Post] mendapat kabar, bahwa controleur di Pasirpangaraian telah memberitakan kepada pemerintah gewest sebaga berikoet:
Koelitnja orang pendék dan kerangkanja tjoekoep semoea. Pandjangnja 43 cm. dan dibawa kekantor sadja. Koelit itoe tadi tidak ditoemboehi oléh boeloe dan warna ramboetnja seperti aboe.
Menoeroet pandangan saja kerangka badan itoe ta’ [ada] bédanja dengan kerangka badan manoesia biasa. Djoega didapati beberapa gigi jang soedah toemboeh.
Rangka badan itoe akan dikirimkan kepada Soologisch Museum di Bogor.
Rupanya, perburuan terhadap orang pendek itu dipicu oleh keinginan ilmuwan Eropa (Belgia) untuk memperoleh contoh makhluk ini untuk diselidiki.
Perserikatan ilmuwan Belgia mau membayar “seratoes riboe roepiah. Lebih jaoeh gedoeng artja [museum] di Amérika soeka membeli benda [tubuh orang pendek] itoe semilioen dollar” (Pandji Poestaka, No. 49, Tahoen X, 17 Juni 1932, hlm.758 (Serba–Serbi). Beberapa laporan juga sudah ditulis oleh orang Eropa tentang makhluk ini (rujuk Robert Cribb, “Nature Conservatism and Cultural Preservation in Convergence: Orang Pendek and Papuan in Colonial Indonesia”, dalam Stella Borg Barthet (ed.),A Sea for Encounters: Essays Towards a Postcolonial Commonwealth, Amsterdam – New York, NY: Rodopi, 2009: 223-242).
Iming-iming uang begitu besar yang dijanjikan oleh ilmuwan Eropa itu telah menyebabkan banyak orang melakukan perburuan terhadap orang pendek ini. Karena dikhawatirkan akan dapat mengancam kelangsungan hidup spesies ini, maka pihak otoritas kolonial pada waktu itu melarang melanjutkan perburuan terhadap makhluk ini. Pandji Poestaka No. 48, Tahoen X, 14 Juni 1932, hlm.749 (Kroniek) menulis:
Memboeroe “Orang Pendék” diperhentikan. Deli Crt. Mewartakan bahwa Goebernoer Soematera Timoer telah memerintahkan pada Controleur didaérah Rokan soepaja oesaha memboeroe “Orang pendék” itoe diperhentikan; menoenggoe dahoeloe akan hasil pemeriksaan”.
Jadi, rupanya kalangan ilmuwan Eropa sudah lama mencoba mendapatkan makhluk yang disebut leco ini untuk kepentingan penyelidikan ilmiah. Mereka ingin mengetahui apakah penelitian terhadap leco ini dapat mengungkap missing link (rantai yang terputus) dalam evolusi perkembangan makhluk manusia yang sejak Charles Darwin mengemukakan teorinya sampai kini masih menjadi pertanyaan besar di kalangan ilmuwan.
Menoeroer tjerita-tjerita jang disampaikan kepada orang kampoeng, ialah akan memboektikan dan menjempoernakan keinginan hati sebahagian dari ahli-ahli ‘ilmoe pengetahuan jang menaroeh kejakinan, bahasa manoesia ini asalnja dari binatang. Maka létjo itoelah satoe djendjang jang akan dipergoenakannja djadi soeloeh penerangi ‘ilmoe orang pandai-pandai itoe.
Rasanja dengan mendapat binatang, jang telah lama diidam-idam oléh ahli-ahli ditanah Éropah itoe, akan bergoentjang ‘ilmoe pengetahoean tentang asal oesoel manoesia itoe. Kita menanti! (Pandji Poestaka, No. 49, Tahoen X, 17 Juni 1932, hlm.758 (Serba-Serbi).
Keingintahuan ilmuwan Eropa yang begitu tinggi terhadap makhluk yang belum banyak diketahui dan hidup di hutan-hutan Sumatera ini terus berlanjut. Beberapa tahun lalu pernah diadakan sebuah workshop ilmiah di Universiteit Leiden yang khusus membahas jenis-jenis makhluk seperti ini, tidak hanya yang kecil tapi juga yang besar, yang rupanya juga ditemukan di beberapa tempat lainnya di dunia ini, seerti Yeti di Himalaya atau makhluk sejenis di hutan-hutan Semenanjung Malaysia.
Keadaannya berbeda dengan di Tanah Air sendiri. Leco, bigau, anak ote, atau mungkin ada nama yang lain pada jenis makhluk ini, sering dihubungkan dengan hal-hal gaib, mistis, dan kesaktian rimba raya. Sekarang misalnya, di daerah Taman Nasional Kerinci Seblat, cerita mengenai orang pendek ini masih tetap ada di kalangan masyarakat.
Namun, para antropolog dan zoolog kita tidak begitu tertarik menelitinya karena rasionalitas mereka disungkup kuat oleh kosmologi lokal mereka yang percaya kepada tahayul, mistik, dan adanya makhluk-makhluk gaib. Makhluk-makhluk penghuni hutan seperti leco dan bigau dianggap bagian dari kesaktian hutan rimba. Salah-salah, kalau terlalu ingin tahu mengenai mereka, bisa membahayakan diri sendiri. Sudah menjadi bagian dari cerita umum juga bahwa rimba-rimba raya Sumatera adalah wilayah kerajaan para bunian.
Mungkin misteri tentang leco, bigau, anak ote, dan lain-lain akan tetap menjadi bagian dari cerita yang tak terjelaskan dalam lingkungan budaya masyarakat kita.
* Dr.Suryadi Sunuri adalah dosen di Universiteit Leiden, Belanda. Tulisan ini juga dimuat di jaringan Teraslampung di Padang, inioke.com