MK: Syarat Calon Kepala Daerah Bebas Narkotika Konstitusional

Kantor Mahmamah Konstitusi
Kantor Mahmamah Konstitusi
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Mahkamah Kontitusi (MK) menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

BACA: Soal Pemakai Narkoba Maju Pilkada, MK Tolak Uji Materi Mantan Bupati Ogan Ilir

Gugatan diajukan mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviandi Mawardi, yang gagal mencalonkan diri karena masalah narkoba.

“Mahkamah berkesimpulan, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu, 18 Desember 2019.

Dalam Perkara Nomor 99/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Ahmad Wazir Noviadi tersebut, Pemohon menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada yang berbunyi, “… Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keteranan catatan kepolisian,” berpotensi merugikan hak konstitusionalnya.

Ahmad Wazir Noviandi Mawardi yang merupakan mantan Bupati Ogan Ilir tersebut mendalilkan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-463 Tahun 2016 tentang Pengangkatan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan tanggal 11 Februari 2016.

Pemohon dilantik dan diambil sumpah jabatan pada 17 Februari 2016. Namun kemudian, pada 18 Maret 2018, pemohon diberhentikan dari jabatannya. Pemohon pun diberhentikan secara tetap berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-3030 Tahun 2016 tertanggal 21 Maret 2016 karena Pemohon berstatus sebagai tersangka penyalahgunaan narkotika.

Selanjutnya, berdasarkan vonis Pengadilan Negeri Palembang memerintahkan Pemohon menjalani pengobatan melalui rehabilitas selama enam bulan.

Sejak 18 Maret – 13 September 2016 Pemohon telah menjalankan proses rehabilitasi medis dan sosial di Pusat Rehabilitasi Narkoba Badan Narkotika Nasional Lido, Bogor, Jawa Barat dan RS Ernaldi Bahar Palembang, Sumatera Selatan.

Pemohon berkeinginan mencalonkan diri dalam Pilkada Periode 2021-2026, namun keinginan tersebut terhalang akibat pemberlakukan norma tersebut. Untuk itu, melalui petitum, Pemohon memohonkan kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat kecuali dimaknai “tidak pernah melakukan perbuatan tercela, kecuali bagi pemakaian narkotika yang sudah dinyatakan sembuh, secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan pernah dipidana karena memakai narkotika”.

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah menjelaskan bahwa meskipun persyaratan “bebas dari penyalahgunaan narkotika” untuk menjadi calon kepala daerah telah diatur dalam UU Pilkada, namun mengingat besarnya ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika tersebut, maka “pemakai narkotika” tetaplah layak dimasukkan ke dalam pengertian orang yang melakukan perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam UU Pilkada dan Penjelasannya.

“Namun, sifat tercela tersebut menjadi tidak tepat jika tetap dilekatkan kepada: a. pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan; atau b. mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau c. mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi,” urai Palguna dalam Sidang Pengucapan Putusan MK yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya.

Palguna mejelaskan,  untuk menghindari multitafsir dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penerapannya, maka frasa “pemakai narkotika” harus dimaknai tidak mencakup atas tiga hal.

Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan.

Kedua,  mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon mengenai frasa ‘pemakai narkotika’ dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Palguna.