Opini  

Moral Bangsa dan Sebotol Minyak Goreng

Bagikan/Suka/Tweet:

Gunawan Handoko*

Hanya dalam hitungan minggu, umat muslim akan dipertemukan dengan bulan suci
Ramadhan, Insha’ Allah. Seperti agenda tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah dan lembaga lain dengan bangganya ambil ancang-ancang untuk menggelar Pasar Murah yang tujuannya membantu masyarakat yang kurang beruntung.

Nampaknya Pemerintah dan kita masihmerasa bangga dan ingin menampilkan wajah Indonesia yang dipenuhi oleh beribu-ribu massa yang panik dengan wajah muram, kusam, dan geram berdesak-desakan di arena pasar murah hanya untuk sekadar mendapatkan sekilo beras, sebotol minyak goreng, seliter minyak tanah, bahkan antrian gas elpiji yang konon dijamin Pemerintah. Semua gambaran suram ini adalah sebagai akibat dari rangkaian krisis yang semakin berat yang dialami oleh bangsa ini seperti krisis ekonomi, krisis lingkungan hidup, dan krisis sosial. Berbagai krisis tersebut telah membawa bangsa ini kepada ketidakpastian masa depan.

Manusia memang sering terjerat oleh perangkap yang dibuatnya sendiri. Sering kali krisis justru disebabkan kegagalan dalam dalam melaksanakan scenario,termasuk rencana pembangunan yang dijalankan secara semu. Di permukaan tampak realitas kemajuan dan pertumbuhan yang spektakuler dan sangat cepat, tetapi di dasar permukaan bertumpuk biang-biang dari kehancuran yang tidak pernah dimunculkan ke permukaan. Ambil saja contoh, dalam menanggulangi bencana banjir misalnya.

Pemerintah maupun kita sebagai masyarakatnya sering bersifat mono kausal –hanya dengan mengeruk sungaidan mengambil sampah− tanpa melihat biang dari penyebab kejadian itu. Biang dari segala biang ini salah satunya adalah krisis moral bangsa ini sendiri. Ketika kita berbicara moral, maka kita tidak bisa menafikan agama.

Secara tegas bangsa Indonesia menempatkan agama sebagai pilar utama, danini jelas termaktub dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka menjadi aneh ketika Menteri Dalam Negeri akan menghapus kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), ada apa? Bukankah seharusnya peran moral agama sebagai pondasi dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan, dan lain-lain.

Hal ini seharusnya dipahami secara mendalam dan teraplikasikan dalam kehidupan bangsa ini, bukan hanya menjadi kalimat seremonial para Kepala Daerah setiap upacara bendera Senin pagi. Untuk merealisasikan hal itu, pemerintah (baik bersifat individu maupun sistem) harus membuat konsolidasi yang valid dengan masyarakat atau elemen-elemen tertentu yang terkait dalam penanggulangan masalah moral bangsa ini. Santri misalnya, adalah kelompok masyarakat yang sangat potensial dalam menanggulangi masalah moral ini.

Bagaimanapun juga, santri adalah perpanjangan dari agama dan nilai humanisme yang menginginkan tegaknya keadilan dan kesejahteraan bangsa. Namun sayang, organ-organ keagamaan ini harus kita akui masih ada dalam posisi termarjinalkan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat (terlebih yang ortodoks ). Seperti dalam percaturan politik, santri hanya menjadi objek massa oleh wajah-wajah perayu yang manis, lembut dan menggairahkan tanpa pernah terlibat dalam proses diskursus bangsa.

Terkadang organ-organ keagamaan ini hanya menjadi sayap-sayap dari kepentingan kelompok saja. Apalah artinya kemajuan bangsa ini bila tidak mempunyai ruh spiritual di dalamnya, tinggal menunggu saja kehancurannya.Kita bisa bercermin kepada hancurnya kekaisaran maha dasyat Romawi.

Sebaliknya, apabila agama terlalu dipolitisasi, kita sudah punya gambaran pembusukan agama seperti Islam pada masa Yazid bin Muawiyah atau Gereja di Eropa pada pra-renaissance. Seandainya santri bergerak dalam garis horizontal (masyarakat) dan menjadi kontrol garis vertikal (Pemerintah) maka demokrasi di Indonesia akan menjadi sintesa dari tesa sekuler dan antitesis teokrasi absolut/eklesiokrasi.

Berbagai krisis yang melanda indonesia akhir-akhir ini seharusnya bisa menumbuhkan kesadaran baru tentang perlunya spirit-spirit keagamaan untuk fondasi
pembangunan bangsa ini ke depan, sekaligus sebagai perekat sosial. Fenomena itu harus membuka mata pemerintah untuk menjadikan agama sebagai way of life, sama halnya dengan Pancasila. Mohon di catat, bukan menjadikan agama sebagai benteng terakhir,
akan tetapi menjadi energi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara demi tegak dan utuhnya NKRI.

* Pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Bandar Lampung