TAJUK  

Moratorium Ujian Nasional dan Kualitas Pendidikan

Salah satu sekolah SD di sebuah kampung di Lampung (Foto: Dwi Aroem Hadiyatie)
Bagikan/Suka/Tweet:

MORATORIUM ujian nasional (UN) diajukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, belum lama ini. Usulan itu didasari oleh dua alasan. Pertama, mutu pendidikan di Indonesia yang belum merata. Kedua, berubahnya tanggung jawab pengelolaan pendidikan dasar dan menengah di level kabupaten/kota dan provinsi. Ketiga, besarnya dana UN yang mencapai Rp 500 miliar/tahun, sehingga memberatkan keuangan negara.

Dengan moratorium UN, maka pelaksanaan ujian diserahkan ke daerah sesuai dengan kewenangannya. Untuk tingkat SD-SMP diserahkan kepada Pemkab/Pemkot, sedangkan untuk SMA/SMK diserahkan kepada Pemerintah Provinsi. Hal ini  sesuai dengan amanat UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang membagi kewenangan pengelolaan pendidikan kepada Kabupaten/Kota untuk SD-SMP dan Pemprov untuk SMA/SMK.

Dengan logika ini, maka nantinya seleksi penerimaan murid baru di SD-SMP itu menjadi kewenangan Pemkab/Pemkot, sedangkan penerimaan murid baru di SMA/SMK menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.

Ihwal UN, sebenarnya sudah banyak kritik dilontarkan. Utamanya, para pengritik beralasan UN tidak menjamin kualitas pendidikan. Bahkan, UN bisa menjadi ladang bisnis dan merugikan para siswa. Makanya, ketika usulan ini diungkapkan Mendikbud, sambutan positif pun bermunculan. Namun, ada juga sebagian kalangan yang menilai penghapusan UN akan membuat kualitas pendidikan di Indonesia mundur.

Bagi kalangan yang tidak sepakat UN dihapuskan, moratorium UN dinilai sebagai langkah positif dan kemajuan. Sebelumnya, dua tahun lalu, Mendikbud (Anies Baswedan) juga sudah sudah menghapuskan peran  UN sebagai penentu kelulusan. Anies ketika itu dinilai on the track: menjadikani UN sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan, terutama lulusan sekolah saja.

Data di Kemendikbud menyebutkan: baru 30 persen  sekolah yang sudah mencapai standar nasional pendidikan (SNP). Sisanya, 70 persen, belum belum memenuhi SNP. Sebab itu, kita bisa bersepakat UN dihapuskan sembari menunggu meratanya kualitas pendidikan di seluruh wilayah Tanah Air.

Kapan kualitas pendidikan akan merata? Itu tergantung kerja keras dan kemauan pihak sekolah, yang didukung oleh pemerintah pusat dan daerah. Semua butuh komitmen. Bukan sekadar wacana. Apalagi wacana atau janji-janji yang diucapkan calon pejabat pemerintah.

Selama ini pemerintah sudah tidak kurang memberikan penghargaan kepada para guru pegawai negeri sipil (PNS) dengan tunjangan serfifikasi guru. Di luar masalah dana sertifikasi yang acap bermasalah di sejumlah daerah, kebijakan pemberian dana sertifikasi merupakan sebuah komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Beberapa tahun dana itu dicairkan, sudah sangat uang negara terserap. Namun, sejauh ini kita belum pernah mendengar ada evaluasi terkait efektivitas dana tunjangan sertifikasi bagi peningkatan kualitas para pendidik. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikam, tunjangan sertifikasi kerap hanya sebagai pemantik para guru berbuat curang: malas mengajar, enggan meningkatkan kompetensi mengajar, tetapi ingin mendapatkan hak dana tunjangan sertifikasi. Bahkan , dalam banyak kasus, guru yang menikmati tunjangan sertifikasi tidak lebih rajin dan lebih berkualitas dibandingkan para guru honorer yang penghasilannya sangat minim.

Mestinya, besarnya dana sertifikasi yang dikucurkan pemerintah berdampak positif bagi pencapaian delapan standar nasional pendidikan (SNP) sebagamana diamanatkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Yakni: 1. Standar Kompetensi Lulusan, 2. Standar Isi, 3. Standar Proses, 4. Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 5. Standar Sarana dan Prasarana, 6. Standar Pengelolaan, 7. Standar Pembiayaan Pendidikan, dan 8. Standar Penilaian Pendidikan

Ketika UN dihentikan, berarti pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana Rp500 miliar tiap tahun. Dana sebesar itu mestinya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidikan. Di sinilah pemerintah seyogianya tegas. Guru yang sudah tidak bisa ditingkatkan kualitasnya ada baiknya diberi pilihan. Jika usianya sudah mendekati masa pensiun, misalnya, guru tersebut bisa mengajukan pensiun dini. Sedangkan guru-guru muda yang selama ini berkualitas dan cuma menjadi tenaga honorer, sudah selayaknya untuk diangkat sebagai PNS. Inilah prinsip keadilan.

Jika pemerintah tidak tegas dan menjalankan prinsip keadilan dalam menerapkan kebijakan di bidang pendidikan, layak diyakini hal itu hanya akan membuang-buang anggaran. Alhasil, niat untuk memeratakan kualitas pendidikan sehingga lebih dari 70 persen sekolah di Indonesia memenuhi kualifikasi SNP hanyalah bermimpi di siang bolong.

Oyos Saroso H.N.