Fathoni
Pengajar Logika Fakultas Hukum Unila
Membaca beberapa berita akhir-akhir ini begitu menarik. Terkadang sedih, ada kalanya sambil menghardik. Entah siapa yang ditangisi hingga harus bersedih, tak tahu pula siapa yang mesti dibenci sehingga mesti menghardik. Berita tentang seorang ibu yang kaget saat membonceng anaknya saat diklakson di jalan raya, hingga anaknya terjatuh, tentu membuat kita semua sedih. Seorang mahasiswa yang mesti meregang nyawa gegara menghindari lubang di jalan tol Palembang – Kayu Agung saat menjelang magrib menuju pulang. Kabar ini juga membuat kita sedih karena entah butuh berapa nyawa lagi agar semua itu tidak terjadi lagi. Terakhir, berita tentang cuitan seorang pegiat medsos yang viral tentang “Allahmu lemah”.
Belakangan, berdasarkan berita pula, diketahui si penulis cuitan itu dilaporkan dengan pasal “penistaan agama” atau sejenisnya. Terakhir diketahui, ia juga mengaku sebagai mualaf sejak 2017. Berita terakhir, bingung juga mesti bersikap seperti apa: sedih atau sebaliknya.
Bagi yang belum tahu, mualaf adalah istilah yang lazim digunakan untuk menyebut seseorang yang baru saja menjadi Muslim. Secara bahasa, kata mualaf berasal dari kata allafa yang yang berarti menjinakkan, menjadikannya atau membuatnya jinak. (Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997: h.34). Allafa bainal qulub bermakna menyatukan atau menundukkan hati manusia yang berbeda-beda.
Dalam Q.S. At-Taubah: 60, dijelaskan bahwa mualaf ini termasuk salah satu dari delapan ashnaf, yaitu golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq). Kata Muallaf itu sendiri merupakan kata benda berjenis objek (isim majhul), yaitu kata benda yang “dikenai sesuatu dari kata kerjanya”, dalam hal ini, menjadi objek dari kata kerja allafa yang berarti melemahkan, menundukkan, mempersatukan, meng-alif-kan. Dengan demikian, kata mualaf dapat diartikan seseorang yang dilemahkan/dilembutkan/dilenturkan agar dapat menerima Islam. Begitu kira-kira tafsirnya.
Sesuatu yang lembut, yang lemah, dan lentur akan mudah disatukan, karena yang keras akan patah. Mungkin begitu analoginya untuk mualaf ini. Dengan demikian, orang yang mulaf niscaya merupakan pribadi yang hatinya lembut dan mudah menerima kebenaran. Kelembutan hati tentu tidak ekuivalen dengan lemahnya jasad. Bisa saja jasad yang kuat memiliki hati yang lembut, yang cair dalam menerima kebenaran. Laksana air jernih yang tembus cahaya. Karena kebenaran itu biasa dilambangkan dengan cahaya, tentu cahaya hanya bisa menembus sesuatu yang bening.
Kata mualaf menjadi viral akhir-akhir ini, sama seperti istilah hijrah, hijab, dan kata “religius” lainnya. Meskipun kadang dipahami bukan pada makna yang sejati. Seperti kata “hijab syar’i”, tentu mengandaikan ada “hijab non-syar’i”, padahal, mungkin maksudnya adalah jilbab yang berfungsi menutup aurat dengan benar. Kalau ditarik pada logika, A = B = C, maka A = C. Jika jilbab (kita sering menjumbuhkannya dengan hijab) harus berfungsi menutup aurat dengan benar, maka yang tidak memenuhi kriteria itu tidak boleh disebut jilbab. Tentang syarat dan ketentuan menutup aurat (wanita), tentu ahli fiqih yang lebih paham.
Kembali kepada kata mualaf, ada berita tentang seseorang yang menyebut dalam cuitannya, “Allahmu ternyata lemah” dalam postingan medsos-nya yang kini sudah dihapus. Belakangan, si empunya cuitan diperiksa oleh pihak berwajib atas dasar laporan. Berita terakhir, si empunya cuitan mengaku dirinya mualaf. Sejatinya, yang memahami bahwa si mualaf itu adalah mualaf sejati tentu adalah Tuhan saja.
Ada pepatah, “dalamnya lautan bisa diselami, dalamnya hati siapa yang tahu”. Tentu hanya Tuhan yang tahu. Tuhan maha-welas asih yang sering disalahpahami. Bukan soal sebetulnya, Allah disebut lemah atau kuat. Tidak disebut pun, Dia tetap Tuhan. Tapi, kita hidup di negara yang mengaku dirinya berketuhanan. Ungkapan macam itu semestinya tidak pernah keluar atau pikiran macam itu mestinya tidak pernah terlintas. Dalam kesadaran orang yang ber-Tuhan, dirinyalah yang sejatinya lemah, sedang Tuhan itu yang Maha Kuat.
Dalam perkuliahan, penulis sering memberikan penjelasan tentang mengapa kita harus berdoa sebelum makan, misalnya. Ternyata karena kita tidak pernah mampu menumbuhkan padi meskipun sebutir. Manusia hanya diberikan kemampuan untuk menanam dengan ilmu yang diberikan Tuhan. Setelah petani menanam padi dan pulang, malamnya sang petani tidur, Tuhan tidak tidur “menjagai” tanaman padi tumbuh dengan sistemnya, sampai siap panen. Setelah padi dipanen, jadi gabah yang digiling jadi beras, dan beras ditanak menjadi nasi, tentu dengan sistem yang diatur Tuhan sampai siap dihidangkan. Saat itu itu kita ingat, makhluk bernama manusia yang konon merasa gagah, tanpa nasi, ia adalah makhluk yang lemah. Paling tidak, ia hanya manusia yang lapar, yang masih butuh kepada nasi. Jadi, dengan demikian, ateisme dan agnotisme itu tidak masuk akal secara logika. Mahasiswa pun mengangguk.
Kembali lagi pada judul “Mualaf Sejati” yang menjadi judul tulisan ini. Mualaf yang sejati tentu tunduk hatinya pada kebenaran Tuhan. Terus mencari kebenaran bila ia belum menemukannya. Mualaf sejati tidak menghina manusia lain, golongan lain, apalagi menghina Tuhan dengan menyebutnya “lemah”.
Mualaf artinya adalah “yang dilemahkan”. Dalam konteks ini, dilemahkan hatinya untuk menerima kebenaran. Bukan sebaliknya, “dikeraskan hatinya” sehingga sulit menerima kebenaran. Mualaf sejati merindukan kebenaran dan kelembutan, bukan membuat kegaduhan untuk mencari sensasi. Muallaf sejati adalah mereka yang telah selesai dengan hatinya. Wallahu A’lam.***