Oleh: Fathoni
Pegiat Filsafat Jatidiri Indonesia
Menarik sanepa atau perumpamaan yang disampaikan oleh K.H. Miftahul Akhyar, Rois ‘Am (beliau menyebut dirinya Rois Awam, Rois KW) PBNU dalam Khutbah Iftitah (khutbah pembuka) dalam pembukaan Muktamar ke-34 NU yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Darussa’adah Lampung Tengah, Rabu, 22 Desember 2021. Beliau membacakan salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang bercerita tentang kisah Tongkat Nabi Musa A.S. yang menjadi ular (naga) yang memakan ular jelmaan tukang sihir Fir’aun sampai habis. Tongkat merupakan simbol kekuasaan. Dalam bahasa filsafati dan logika, digunakan istilah baculum, secara harfiah bermakna tongkat.
Dalam khasanah pragmatis, tongkat ini menjadi lambang komando, lambang pemberi perintah, pemberi petunjuk dan aba-aba. KH. Miftahul Akhyar juga mengisahkan tentang Hadratusyyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang menerima tongkat dari Syaikhona Kholil Bangkalan, yang kemudian ditafsirkan bahwa Mbah Hasyim Asy’ari mesti membentuk suatu wadah pergerakan, yang kemudian kita kenal sebagai Nahdlatul ‘Ulama (NU).
Seperti disampaikan di muka, tongkat adalah lambang kuasa. Itulah sebabnya, setiap pemimpin yang bersifat memberi komando, selalu membawa tongkat. Kembali pada kisah ular (naga) semula adalah tongkat Musa AS, KH. Miftahul Akhyar mengumpamakan bahwa kader NU itu ibarat ular-nya Nabi Musa AS yang berperan memberantas kedzaliman (dilambangkan dengan ular Fir’aun). Tujuannya adalah memberantas kezaliman, bukan menjadi ular itu sendiri.
Beliau juga mengungkapkan tentang konsep sami’na waatho’na (kami dengar dan kami taat). Kader harus taat pada pemimpin, harus satu komando. Beliau juga sampaikan bahwa kepemimpinan Ketua PBNU yang sekarang (yang dipilih pada muktamar NU ke-33 di Jombang) sudah menjalani masa khidmat dan bonus 1,5 tahun.
Ungkapan menariknya adalah: “Setelah ular (naga) selesai, maka ular harus kembali menjadi tongkat”. Penulis menafsirkan bahwa ini isyarat bahwa harus ada penggantian kepemimpinan. Dalam bahasa filsafat Jawa, harus sudah pada tahap madhep pandhita. Menjadi Suluh, biar “ular” lain yang bertugas.
Lagi pula, pada setiap pergantia abad, akan selalu ada mujaddid, pembaharu. NU hampir berusia se-abad, 100 tahun, yaitu 98 tahun jika dihitung dengan kalender Hijriyah, dan 95 tahun bila menurut kalender Masehi. Tapi, ini tentu tafsir, kebenaran tentu ada pada sang pemilik qoul, pada si empunya perkataan (pada maqolah-nya). Kita menyebutnya makalah. Sekali lagi, ini hanya tafsir dari penulis yang faqir. Dalam penutupnya, K.H. Miftahul Akhyar mengungkapkan kira-kira begini, “Selamat bermuktamar dengan gembira”.
Wallahu A’lam.***