Opini  

Mustafa, Kuda Hitam atau Kuda Putih?

Ketua DPW Partai NasDem Lampung, Mustafa
Bagikan/Suka/Tweet:

Herman Batin Mangku*

Petahana M. Ridho Ficardo sudah dapat dipastikan maju kembali Pilgub 2018 Lampung. “Musuh” lamanya di Pilgub 2014, Walikota Bandarlampung Herman HN, siap menantang kembali. Di tengah keduanya, muncul Mustafa. Pertanyaannya: Bupati Lampung Tengah ini bakal menjadi kuda hitam atau kuda putih?

Ridho Ficardo yang kini masih menjabat gubernur Lampung belum terang-terangan menyatakan maju untuk periode kedua. Dia masih diplomatis mengatakan tergantung ‘elektabilitas”. Namun, indikasinya sudah lebih dari cukup untuk memastikan akan kembali bertarung di Pilgub 2018.

Sekjen DPP Demokrat Hinca IP Panjaitan sudah menyatakan partainya mengusung “incumbent” Ridho Ficardo untuk Pilgub 2018. Gubernur kelahiran 20 Juli 1980 ini juga sudah menggenggam kembali Partai Demokrat hingga tahun 2021. Modal utama melenggang ke KPU sudah cukup.

Restu sudah dikantongi, “perahu” sudah didapatkan, masih “menguasai” APBD provinsi, gubernur yang saat pelantikan dinobatkan sebagai kepala daerah termuda tanah air (36) tinggal mengayuh biduk. Di kalangan anak muda, gubernur murah senyum dan tampan ini semakin populer.

Herman HN, juara kedua Pilgub 2014, selisih 11,84 persen dengan Ridho Ficardo, kali ini optimis mengalahkan lawannya tiga tahun lalu. Saat Pilkada 2014, Herman HN bertarung “sendiri”. Konon, harus gadai sana, gadai sini, buat sosialisasi.

Sedangkan Ridho Ficardo sering terlihat ” ditemani” Purwanti Lie. Apakah bos Sugar Grup itu kembali akan mendampinginya di panggung kampanye? Atau, Ny Lie menganggap Ridho sudah bisa kampanye sendiri?

Herman HN, meski tak menjadi ketua partai, optimistis didukung PDIP dan kemungkinan partai lainnya. Sukses menata Kota Bandar Lampung juga “tiket” baginya memenangkan hati rakyat.

Bisik-bisik, Herman HN cukup dengan amunisi Rp100 M bisa mengalahkan Ridho Ficardo yang pada Pilgub 2014, dari mulut ke mulut, angkanya fantastis, Rp500 M. Bisa jadi tidak benar, dibesar-besarkan, cuma isu tapi Rp100 M bagi Herman HN darimana? Dia baru saja habis ikut pemilihan walikota.

Bagaimana dengan Mustafa? Kuda hitam atau kuda putih seperti yang dikatakan “orang dekatnya” pada Pilgub Serentak 2018?

Ada kisah, Eddy Sutrisno, saat mencalonkan diri sebagai wali Kota Bandarlampung, 2005, “tidak masuk hitungan”. Dia cuma punya partai kecil dan aktif di KONI Lampung.

Kala itu, ada dua nama yang jadi perbincangan warga Kota Bandar Lampung, yakni Sjachrazad ZP (Acad) dan K.H. Abduk Hakim. Acad dianggap akomodatif terhadap pengusaha. Sebaliknya, isunya, Abdul Hakim bakal menutup banyak tempat hiburan. Masyarakat Kota Bandarlampung terbelah dua.

Eddy Sutrisno yang hanya “bermodalkan” keramahan dan rajin anjang sana-anjang sini, dengan teori makan buburnya, menyisir suara dari pinggir kota saat bagian tengah sedang panas-panasnya. Ternyata, tak ada yang menyangka, Eddy jadi calon alternatif yang semakin lama diam-diam menarik simpati warga Bandarlampung. Eddy menjadi kuda hitam.

Bisa kisah itu terulang lagi di Pilgub 2018. Kembali duel Ridho Ficardo versus Herman HN, Mustafa muncul sebagai kuda hitam, calon alternatif pilihan masyarakat yang masih “bersih”, masih putih, belum terlibat banyak persaingan politik dengan kedua calon kuat : Ridho Ficardo dan Herman HN.

Tapi, ada yang jauh berbeda dengan Eddy Sutrisno, Mustafa memimpin partai tenar, partai besar, Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Salah satu partai utama penyokong penguasa saat ini, Kabinet Kerja.

Tentu saja, ada potensi partai-partai yang satu gerbong akan merapat ke Nasdem. Kenapa harus mendukung “calon lawan” jika ada “orang sendiri” yang dapat dipastikan sejalan dengan visi dan misi menyukseskan program prestesius rezim ini di Lampung.

Mustafa juga relatif masih muda, masih energik, tak kalah dengan Ridho Ficardo. Mustafa senantiasa setia berpeci, mudah-mudahan cermin relejiusitasnya, serta dekat dengan rakyatnya, tak kalah dibandingkan dengan Herman HN. Mustafa sama dengan Ridho dan Herman, sama-sama masih punya kekuasaan, bupati Lampung Tengah, lumbung suaranya.

Dia bisa dibilang memiliki modal cukup, kedua kelebihan yang domili calon lainnya, ada semua di Mustafa : partai, citra baik dan merakyat, muda, dan lainnya. Sehingga wajar “orang dekatnya” tak mau Mustafa dibilang kuda hitam pada Pilgub 2018. Barangkali, faktor-faktor itu yang mengubahnya sikap awalnya hanya ingin mengabdi untuk masyarakatnya di Lampung Tengah.

Barangkali juga, perubahan sikap mendadak tersebut, karena seperti kata “orang dekatnya” : sudah perintah ‘Si Brewok”. Jangan lupa, Si Brewok punya banyak media, visual maupun koran, termasuk di Lampung. Jangan-jangan tim medianya, sudah menjadi bagian dari tim sukses Mustafa.

Ada benarnya, Mustafa bukan kuda hitam, tapi kuda putih. Dia tidak hanya calon alternatif yang hanya tergantung pada faktor keberuntungan ketika masyarakat harus memilih dua calon “besar” yang berpotensi saling “gesek” dan bermasalah.

Tapi, Mustafa punya banyak modal. Satu lagi modal lainnya, langkahnya sistematis. Siang-malam menemui warganya. Ditambah lagi, dia atau katakanlah ada orang yang berinisiatif untuk memulainya dengan menyisir simpati masyarakat Lampung lewat “Sobat Mustafa” yang dideklarasikan di komplek Universitas Lampung Kamis (30/3/17).

Sobat Mustafa jelas niatnya yakni tebar simpati lewat “tag line” gerakan moral untuk perubahan Lampung. Konsep Sobat Mustafa jelas, sistematis, langkah, dan target sudah ditetapkan dalam sebuah draf bercover ilustrasi Mustafa pakai kopiah.

Langkah Mustafa mencapai kursi orang nomor satu di Lampung sudah dideklarasikan, setidaknya melalui peluncuran Sobat Mustafa. Ada benarnya juga kata “orang dekatnya”, Mustafa bukan kuda hitam. Alumni FT Unila ini kuda putih.

* jurnalis. Tulisan ini juga dimuat di inilampung.com