Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST*
Banyak orang mungkin yang masih asing dengan mete. Termasuk masyarakat Indonesia sendiri. Padahal Indonesia termasuk negara terbesar pengekspor mete di dunia. Kurang populernya mete di Indonesia mungkin bisa dipahami, karena produksi mete di Indonesia juga belum merata ke seluruh wilayah. Khususnya di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.
Jambu monyet atau jambu mete (Anacardium occidentale) adalah sejenis tanaman dari suku Anacardiaceae yang berasal dari Brasil dan memiliki “buah” yang dapat dimakan. Yang lebih terkenal dari jambu mete adalah kacang mede, kacang mete atau kacang mente; bijinya yang biasa dikeringkan dan digoreng untuk dijadikan berbagai macam penganan. Secara botani, tumbuhan ini sama sekali bukan anggota jambu-jambuan (Myrtaceae) maupun kacang-kacangan (Fabaceae), melainkan malah lebih dekat kekerabatannya dengan mangga (Anacardiaceae).
Buah dari jambu mete itu sendiri pada umumnya jarang untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan. Bahkan di salah satu perkebunan rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara, salah satu provinsi sentra jambu mete, para petani justru senang jika buah mete mereka dimakan oleh monyet, karena metenya sendiri akan jatuh di sekitar pohon, sehingga para petani tinggal mengambil saja kacang mete tersebut. Padahal, buah jambu mete itu kaya akan kandungan vitamin C. Sehingga, jika dikonsumsi bisa menangkal radikal bebas dan meningkatkan imunitas tubuh. Apalagi dikonsumsi pada saat pandemi seperti ini. Jelas bisa menjadi salah satu alternatif, seiring melonjaknya harga lemon. Perhatian justru lebih terfokus pada kacang mete.
Ya, tidak bisa dimungkiri, kacang mete masih masuk dalam kategori mahal jika telah melalui proses pengolahan atau industri. Termasuk di wilayah sentra industrinya sendiri. Entah, mengapa hal itu bisa terjadi, masih menjadi misteri.
Kacang mete biasa banyak dihidangkan sebagai camilan pada saat lebaran. Namun, lebaran kali ini beda. Lebaran kali ini, para perantau tak boleh mudik. Lebaran kali ini, akan seperti hari biasa. Bisa dipastikan silaturrahim antartetangga pun dilakukan secara online. Akankah penjualan produk dari jambu mete ini akan meledak seperti lebaran sebelumnya? Ataukah sebaliknya, industri mete banyak yang gulung tikar?
Statistik Jambu Mete
Jambu mete di Indonesia masih didominasi oleh Perkebunan Rakyat (PR), Berdasarkan Data Direktorat Jenderal Perkebunan selama periode tahun 1975-2017 luas lahan PR jambu mete selalu mengalami peningkatan dimulai pada tahun 1975 mencapai 56.643 Ha hingga pada tahun 2017 luasnya mencapai 505.623 Ha. Luas lahan tersebut tentu sangat dominan jika dibandingkan dengan Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Negara (PBN).
Lahan PBS jambu mete di Indonesia selama peri,ode 1975-2017 hanya bergerak di bawah kisaran 10.000 Ha. Bahkan pada periode tahun 2000-2001 terjadi pengurangan lahan PBS yang sangat signifikan, yaitu seluas 9.868 Ha pada tahun 2000, menjadi 1.028 Ha pada tahun 2001. Namun, anehnya produktivitas jambu mete pada periode tersebut justru meningkat jauh. Tercatat pada tahun 2000 produktivitas jambu mete mencapai 0,04 ton/Ha, kemudian pada tahun 2001 produktivitasnya berhasil mencapai 0,36 ton/Ha.
PBN menjadi perkebunan jambu mete yang paling suram. Pasalnya, saat ini PBN tidak mempunyai lahan tanam jambu mete. PBN memiliki lahan hanya pada periode 1975-1983 saja. Hal ini tentu sangat disayangkan. Dengan memiliki lahan jambu mete, negara atau pemerintah harapannya bisa memberikan contoh kepada para petani PR bagaimana cara tanam yang baik, sehingga menghasilkan produktivitas yang menawan juga.
Jika dilihat persebarannya, keberadaan lahan jambu mete tidak menyebar merata di Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi yang memiliki lahan jambu mete terluas di Indonesia pada tahun 2017. Di Nusa Tenggara Timur, terdapat 171.012 Ha lahan PR dan 74 Ha lahan PBS. Sehingga totalnya mencapai 171.086 Ha lahan jambu mete. Dengan luas lahan tersebut produksi jambu mete di Nusa Tenggara Timur mencapai 49.880 ton.
Bertolak belakang dengan Nusa Tenggara Timur. Di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan masing-masing hanya memiliki lahan jambu mete seluas 204 Ha dan 329 Ha saja. Lahan tersebut menjadi yang paling kecil diantara pulau besar di Indonesia. Di Sumatera dan Kalimantan identik dengan tanaman kelapa sawit daripada jambu mete. Namun, jambu mete merupakan tanaman yang tergolong mudah hidup dimana saja. Perlu digagas kebijakan untuk menggenjot perkebunan jambu mete di Sumatera dan Kalimantan. Agar persebaran biji mete nantinya lebih merata di Indonesia, sehingga bisa memotong ongkos kirim ke wilayah yang kurang berproduksi untuk saat ini.
Dilihat dari neraca perdagangan mete di Indonesia periode tahun 1977-2017. Mete di Indonesia selalu memiliki surplus perdagangan yang signifikan. Bahkan, Indonesia tercatat tidak pernah mengimpor mete dari luar negeri pada periode tahun 1977-1989. Hal ini menjadi poin yang patut dibanggakan. Namun, impor pada periode tahun 2013-2017 terus mengalami peningkatan, hingga pada tahun 2017 mencapai 15.536 ton dengan nilai 36.524 US$. Sedangkan ekspor pada periode yang sama mengalami fluktuasi, hingga pada tahun 2017 mencapai 62.811 ton dengan nilai 175.728 US$.
Solusi Industri Mete Saat Lebaran
Selama ini, masyarakat bisa dibilang hanya mengenal kacang mete sebagai hasil olahan jambu mete. Seakan, buah yang memiliki julukan jambu monyet itu hanya memiliki satu “keunggulan” saja. Jadi, penjualannya mungkin akan terlihat temporer atau di waktu tertentu saja ketika hanya satu produk yang dihasilkan. Nyatanya tidak demikian. Banyak sekali hasil industri mete yang wajib diperluas lagi pasarnya. Guna menjaga daya serap produksi mete setiap waktu.
Berdasarkan penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, banyak bagian dari mete yang dapat dijadikan olahan makanan maupun non makanan. Namun sampai dengan saat ini kebanyakan ekspor mete Indonesia masih berupa gelondong mete. Bukan kacang mete hasil industri. Padahal, jika dilakukan pengolahan sebelum mengekspor mete, nilai tambah yang lebih tinggi akan didapatkan Indonesia.
Diantara bagian mete yang dimanfaatkan adalah kacang mete. Kacang mete diolah menjadi berbagai macam makanan, bisa dijadikan saus mete, penghias kue, makanan ringan, dan lain sebagainya. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri menjabarkan bahwa dalam skala rumah tangga, pengolahan gelondong mete menjadi kacang mete dengan asumsi dalam satu hektar perkebunan rakyat terdapat 100 pohon jambu mete, dengan rata-rata produksi 12 kg gelondong/pohon, harga mete gelondong Rp 10.000/kg, harga kacang mete Rp 70.000,- sampai Rp 80.000,- maka akan diperoleh nilai tambah ekonomi sebesar Rp 6.000.000,- hingga Rp 9.000.000,- per hektar atau per 1.200 kg gelondong mete. Tentu nilai tambah tersebut sangat menarik bagi usaha rumah tangga. Mengingat Indonesia masih didominasi UKM daripada UMB.
Tak hanya kacang mete saja, ternyata kulit ari dari kacang mete juga bisa diolah menjadi pakan ternak. Hasil pengkajian BPTP Bali menunjukkan, pemberian limbah mete fermentasi pada kambing dapat meningkatkan bobot badan secara nyata. Penimbangan pertama pada 24 ekor kambing memperoleh bobot awal rata-rata untuk P1: 15,67 kg/ekor dan P2: 15,55 kg/ ekor. Setelah diberi pakan limbah 12 minggu (84 hari), bobot badan rata-rata menjadi 18,49 kg untuk P1 dan 20,56 kg untuk P2. Dengan demikian pada P1 diperoleh pertambahan bobot badan rata-rata 33,58 gr/ekor/hari dan P2 59,65 gr/ekor/hari.
Hasil analisis ekonomi menunjukkan, pemberian limbah mete fermentasi dapat meningkatkan keuntungan sebesar Rp 31.950 per 12 minggu atau Rp 10.650 per bulan untuk setiap ekor anak kambing dibandingkan dengan pola pemeliharaan tradisional. Jadi bisa dibayangkan apabila para petani jambu mete mampu menangkap peluang ini. Selain bertani mereka juga bisa beternak dengan pakan yang berasal dari jambu mete yang mereka miliki. Hal tersebut tentu akan memangkas biaya produksi ternak, sehingga keuntungan yang didapatkan akan lebih terasa.
Satu lagi yang mungkin cukup mengherankan bagi kita semua, ternyata kulit biji jambu mete bisa diolah menjadi minyak mete atau biasa disebut CNSL (Cashew Nut Shell Liquid), CNSL dihasilkan dari kulit gelondong mete yang proses pengolahannya relatif sederhana. CNSL merupakan cairan kental yang terdapat pada rongga (honeycomb) kulit mete, terletak antara kulit luar kacang (kernel) dan lapisan dalam kulit luar. Cairan CNSL dapat dikeluarkan dari rongga tersebut melalui pemanasan atau ekstraksi. Kandungan CNSL pada kulit mete bervariasi sekitar 16-24% dari berat kulit mete.
Industri yang mampu menyerap fungsi dari CNSL antara lain cat, vernis, pelitur, damar, tinta, karet sintetis, minyak pelumas rem, enamel, kosmetik, deterjen kalsium, pestisida, insektisida, pencelup trafo, pencelup magnet, pengikat cairan, antioksidan bensin, pembuatan malam, antioksidan minyak, dan pemecah emulsi.
Dengan melimpahnya industri yang bisa menyerap olahan mete di Indonesia ini, tentu nilai tambah ekonomi yang melimpah sudah ada di depan mata, tinggal kemauan kita untuk mau mengambil atau tidak. Dengan begitu, pelaku industri mete tidak harus menunggu lebaran saja untuk memasarkan produknya.***
*Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara