Nawaitu Anggota DPR

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Ari Pahala Hutabarat

“Kalau dicermati logika para anggota DPR itu sederhana dan baik nawaitunya…” ujar Moh Stamper berapi-api di depan muka Sutopo, Ki Gemblung, dan Batin Kusdi. “…yaitu biar distribusi duit haram yang selama ini tersebar secara merata ke segenap rakyat bisa diberhentikan– dan untuk itu mereka siap mengorbankan diri–biarlah mereka saja yg menampung dosa yang berasal duit haram dari para kandidat bupati dan walikota, dll, rakyat yg emang sudah susah jangan ikut-ikutan.”

Sutopo manggut-manggut sok ngerti. “Jadi alasan biat irit itu cuma kilah dari sudut pandang administratif dan akuntansi yg mereka bikin-bikin, padahal argumen sesungguhnya adalah meletakkan kemaslahatan uhkrawi rakyat di atas kepentingan perut yang fana,” tegasnya.

“Tepat!,” kata Moh Stamper. “Para anggota DPR itu, yang sebagian besar pernah didik langsung oleh UFO, bukan tak mengerti soal esensi atau substansi atau apalah istilah-istilah lain ttg bagaimana seharusnya tindak demokrasi. Mereka punya perspektif yang lebih holistik, yang melewati dimensi ruang-waktu lahiriah. Soal esensi berdemokrasi–itu kan masih duniawi! Untuk apa mempertahankan sesuatu yang sekiranya hanya akan menjerumuskan rakyat kecil ke neraka karena ikut makan duit haram. Jadi sekali lagi, mereka mengikhlaskan diri mereka menjadi martir, yang siap menampung seluruh duit haram tersebut. Yang  yang penting rakyat aman.”

“Jadi, para anggota DPR itu sesungguhnya tengah mengambil dan meneladani perilaku Sufi Rabiah Al Adawiyah–yang merelakan tubuhnya membesar hingga menutupi keseluruhan neraka agar….”

Plaaakk!!!

Belum lagi Moh Stamper menyelesaikan kalimatnya– tamparan dari jurus Bego Tak Kunjung Padam milik Syekh Mukhlisin menghantam pelipis kanannya.

Moh Stamper seketika kesambet. Sutopo, Ki gemblung, dan Batin Kusdi pura-pura nyuci piring. Sementara Syekh Mukhlisin sibuk nyumpahin Moh Stamper sambil mengelus-elus gandaran cincin akik darahnya yang penyot.