‘Ndablek’

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Universita Lampung

Begitu tulisan “Ndomble” terbit dan dibagikan ke semua handai taulan yang sejalan pemikirannya dengan makna yang terkandung dalam tulisan itu, ternyata ada respons dari seorang maha guru senior yang pernah menjadi mitra waktu mahasiswa, mantan pimpinan perguruan tinggi negeri terkenal di Lampung, dan masih banyak lagi jabatan lainnya. Beliau berkomentar sekarang bukan lagi ndomble, tetapi sudah lebih jauh lagi, yaitu ndablek. Beliau memang sangat rajin memberikan komentar-komentar yang cerdas. Kali ini beliau memberikan kunci satu diksi ndablek. Diksi ini sangat menarik dan ternyata kita menjadi bingung memahamkan situasi kekinian negeri ini; mungkin ndablek mewakili para pengambil keputusan saat ini yang tidak mau mendengarkan suara rakyat, justru yang didengar ketua partai, sementara partai sebenarnya bukan representasi rakyat yang mutlak.

Sebelum lebih jauh membahas kata satu ini, kita tilik dahulu apa sebenarnya makna aslinya. Ndablek adalah (bahasa Jawa) artinya ‘sikap membatu dan sikap diam seribu basa’, ‘tidak peduli dan tidak menunjukkan kepekaan perasan terhadap isu penting yang disampaikan oleh orang lain’. Lebih lanjut dijelaskan ‘saudarnya’ ndablek ini adalah pekok, yaitu orang yang kepala batu. Maksudnya, tidak mau mendengar nasihat atau pemberitauan dari orang lain.

Persoalan menjadi runyam manakala ndablek ini menimpa mereka yang didorong ke depan untuk menjadi pemimpin. Seharusnya pemimpin tidak mengabaikan peringatan atau teguran dari yang dipimpin, manakala perjalanan organisasi tidak sesuai dengan kesepakatan bersama, sekalipun itu pahit dirasakan secara individual.

“Kendablekan’ ternyata berkelindan dengan “kenikmatan” dan “perkoncoan”.Maksudnya,  karena merasa nikmat untuk terus menjadi penguasa, maka direkayasa aturan baku, atas dalil yang disahkan sebelumnya, dengan menggunakan sistem perkoncoan. Di situlah terbangun sikap ndablek itu. Kendablekan ini seolah dipelihara agar tujuan yang diinginkan tercapai, oleh karena itu tidak jarang mereka menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan koridor kesepakatan. Termasuk membangun “mafia” sebagai jaringan untuk melanggengkan kekuasaan dan atau penguasaan.

Bisa dibayangkan, aturan semula yang dikenakan untuk orang lain, mati-matian ditegakkan. Sekarang saat yang bersangkutan melakoni lakon yang orang lain lakonkan sebelumnya, ternyata nikmat. Maka rekayasa baru dibuat agar melanggengkan kenikmatan tadi menjadi berkelanjutan bagi dirinya. Giliran beliaunya sudah selesai menjabat, dan akan digantikan pada orang lain, maka aturan lama dikembalikan ke semula. Kendablekan seperti menjadi sempurna manakala diperkirakan yang bakal meneruskan tapuk pimpinan tidak segaris dengannya.

Tampaknya ndablek ini lebih berbahaya lagi jika berlaku masal; kita tidak bisa membayangkan jika antrian minyak goreng yang dilakukan oleh ibu ibu setiap hari; kemudian mereka ndablek melakukan ujuk kerja dengan bersepakat untuk tidak menggunakan minyak goreng dalam satu minggu saja untuk seluruh negeri ini. Barangkali kendablekkan model begini akan menjadikan masalah pada sistem ekonomi kita. Bisa juga kendablekkan supir truk yang mengantri bahan bakar solar; sekalipun solarnya didatangkan, mereka mengambil sikap tetap tidak mau membeli sebelum ada jaminan keberlanjutan keberadaan solar.  Mungkin cara ini baru membukakan mata bagi penguasa solar bahwa distribusi harus diperhatikan agar konsumsi dapat terpelihara dengan baik.

Atau sebaliknya kendablekkan masal yang dilakukan penguasa dengan tidak mendengarkan keluhan warganya; pada waktunya akan terjadi eskalasi rasa yang memuncak, dan tentu saja akan berakibat fatal pada negeri ini. Karena terbentuknya eskalasi pada masa itu sangat membahayakan jika tidak ada penyaluran yang benar, dan tentu ini merepotkan.

Belajar dari masa lalu perjalanan sejarah negeri ini, eskalasi masal dapat mengakibatkan letusan sosial yang membahayakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara yang diuntungkan hanya segolongan orang saja, rakyat sengsara berkepanjangan sebagai alat atau kendaraan atas nama.

Apakah “Politik Ndablek” ini akan diterus-teruskan sampai pada waktunya rakyat bertindak dengan caranya. Seyogianya mari kita renungkan kembali negeri ini dahulu dibangun untuk apa, untuk siapa, kepada siapa, oleh siapa. Janganlah demi mengejar kepuasan, justru kebenaran ditinggalkan. Sebab, kepuasan itu tidak punya tepi, sementara kebenaran punya hakiki.

Ada tangan Tuhan yang tidak mungkin kita lawan; segala sesuatu yang sudah dikodratkan maka disitulah batas akhir campurtangan manusia akan suatu peristiwa yang terjadi di dunia ini. Rencana boleh dilakukan; ketentuan bukan milik kita; skenario bisa kita susun, namun hasil akhir mutlak sifatnya bukan milik mahluk-Nya.

Selamat ngopi pagi….