Negara Ini Menciptakan Ribuan Arcandra Tahar

Bagikan/Suka/Tweet:

Budi Hutasuhut

Marilah kita lihat Arcandra dari perspektif yang lebih luas. Mari kita bicarakan Arcandra dari perspektif berbeda. ahan dulu desakan dari dalam diri untuk memaki, mempertanyakan kualitas nasionalisme dalam dirinya, sambil merenungkan apakah nasionalisme bisa diukur dengan alat ukur yang kita tak tahu apa namanya.

Arcandra punya kapasitas diri. Orang kemudian menemukannya di Amerika Serikat. Ia hidup di sana, padahal ia berasal dari Sumatra Barat. Di negeri Paman Sam itu, ada banyak orang Indonesia, dan mereka hidup, bahkan, menjadi ikon di negeri yang punya sejarah kekejaman luar biasa itu. Sebut saja seorang mantan TKI, yang bekerja sebagai penasihat Barack Obama. Di Indonesia, ia hanya seorang TKI, di Amerika Serikat sana ia mampu menggetarkan satu partai politik besar yang menguasai pemerintahan di Amerika Serikat.

Saya punya saudara yang sepanjang hidupnya tinggal di Amerika Serikat, menjadi warga negara di sana. Ia sama seperti jutaan kaum imigran dari Eropa, India, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan lain sebagainya. Mereka di sana bukan karena dibenci oleh negara seperti kaum eksil. Bukan karena menghindari hukuman, bukan untuk menghilangkan diri. Mereka di sana, sama seperti jutaan imigran lain, ingin hidup layak.

Di Indonesia, hidup layak itu tidak mudah. Pasalnya, sistem politik dan ekonomi di Negara ini hanya memuliakan martabat satu ras tertentu, dan secara bersamaan merendahkan martabat ras lainnya. Di dalam politik, menjadi Presiden itu “hanya boleh” untuk ras tertentu.

Ras yang memiliki sejarah kerajaan. Ras lain dianggap tidak punya sejarah kerajaan, dan para ahli warisnya tidak mungkin bisa jadi raja. Upaya politik untuk mengangkat orang di luar ras biasa menjadi Presiden RI akan dianggap sebagai kesalahan fatal dalam bernegara.
Di dalam bidang ekonomi, orang Indonesia sering mendapatkan upah yang jauh lebih rendah untuk pekerjaan yang sama, dibandingkan dengan orang yang berasal dari bangsa-bangsa lainnnya (Cina, Jepang, Korea, Eropa, Amerika, Australia).

Di sebuah tambang emas di Kedondong, pekerja Indonesia (asal Kedondong) mendapat gaji yang lebih rendah dibandingkan pekerja Cina, padahal mereka mengerjakan hal yang sama. Seorang ahli las asal Panjang, yang punya sertifikat profesi, digaji lebih rendah dibandingkan orang Korea yang mengantongi sertifikat sama untuk pekerjaan mengelas.

Semua hal itu menandakan penjajahan belumlah berakhir. Penjajahan, yang dilakoni Belanda, kini bersalin rupa dalam bentuk hegemoni budaya. Kaum yang terjajah tidak merasa dijajah, tapi  justru menikmatinya.

Hegemoni ini melanggengkan ketidakadilan global yang sudah ada, dan berusaha memberi keuntungan berlimpah untuk beberapa pihak yang menjadi otak utama dari hegemoni ini. Ketika hegemoni dan kekuasaan berbicara, martabat manusia pun terinjak.

Manusia di negeri ini–dari pandangan kultur mana saja—dilihat sebagai satu elemen kecil dari alam yang besar dan agung. Sementara para penguasa, cenderung untuk mengentalkan tentang “elemen kecil” itu dan menjadikan dirinya sebagai “bagian yang tak bisa lepas dari alam semesta”.

Para penguasa kerajaaan di Jawa menyebut dirinya Pakubuono (Paku Bumi), misalnya. Penguasa menempatkan dirinya sebagai inti dari alam semesta. Sementara rakyat adalah partikel kecil pembentuk alam semesta.

KOPI-PAGI-New-13Jadi, begitulah, rakyat membentuk pandangan tentang dirinya sendiri (self-image) sebagai partikel kecil di alam semesta. Penguasa adalah gambaran keagungan alam semesta. Sebagai partikel kecil, rakyat tidak percaya diri dan melihat dirinya sebagai orang yang bodoh dan rendah. Pandangan diri itu membuat rakyat membiarkan dirinya diinjak oleh orang lain. Ia akan diam saja dan menerima keadaaan, ketika ia mengalami ketidakadilan.
Penguasa yang memiliki citra diri tinggi merasa, bahwa ia berhak dihargai oleh orang sekitarnya.

Di negeri kita, lebih banyak partikel kecil. Alam semesta cuma satu. Di Negara kita, partikel kecil itu tak bisa hidup dengan layak. Sudah dari sono seperti itu. Kalau di tubuh mereka tidak mengalir darah biru, mereka tak akan pernah hidup layak. Pekerjaan untuk partikel kecil sangat sedikit, meskipun kemampuan mereka banyak.

Tapi di negeri lain, orang tidak dibedakan berdasarkan partikel besar atau kecil. Kawasan Uni Eropa, misalnya, membuka diri terhadap para imigran. Di Kota Hamburg, kota besar di Utara Jerman, siapa saja bisa memperoleh pekerjaan dengan upah minimum 8 Euro per pekan.
Di Amerika Serikat, situasinya pun sama. Banyak tenaga ahli yang memilih bekerja di luar negeri, dengan harapan memperoleh upah yang lebih layak, serta bisa bekerja sesuai dengan bidang keahlian mereka. Gejala ini disebut juga sebagai brain drain. Akibatnya, kelas menengah di Indonesia pun semakin tipis, dan jurang antara kelas ekonomi atas dan kelas ekonomi bawah pun semakin besar.

Orang-orang yang berada di kelas ekonomi menengah ini adalah orang-orang yang memiliki kemampuan profesional yang tinggi, sehingga bisa bekerja secara produktif, namun mereka berasal dari partikel kecil itu. Mereka berasal dari latar belakang yang sederhana, mayoritas modal mereka hanyalah kemampuan mereka. Mereka tidak memiliki harta warisan berlimpah dari keluarga mereka. Namun, mereka pekerja yang profesional, dan juga bisa memperoleh penghidupan yang layak untuk diri maupun keluarga mereka. Ketika mereka tidak memperoleh kesempatan, maka mereka bisa segera mencari peluang di tempat lain.

Bila sistem suatu negara bobrok, dan tidak bisa memberikan penghidupan yang sepantasnya untuk kelas menengah ini, mereka pun tak segan untuk berpindah negara. Ketika ini terjadi, situasi ekonomi pun semakin lemah, dan kesenjangan sosial yang besar tercipta, karena tipisnya kelas menengah ini.

Arcandra salah seorang di antaranya. Anda juga akan melakukan hal yang sama jika menjadi Arcandra. Negara ini yang menciptakan Arcandra.