Negasi dan Pilkada

Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Dalam logika matematika kita mengenal istilah negasi atau ingkaran. Yakni operasi matematika terhadap suatu pernyataan. Operasi negasi membalikkan nilai kebenaran suatu pernyataan.

Dalam logika matematika: jika p bernilai benar, maka ~p (baca: bukan p) bernilai salah. Sebaliknya, jika p bernilai salah, maka ~p bernilai benar.

Negasi dalam matematika tentu saja tidak selalu sejalan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Simaklah misalnya syair lagu Koes Plus. Puluhan tahun lalu Koes Plus sudah mengritik ini: wong arep ngundhuh klapa ora bisa menek/mbok aja kandha-kandha klapane elek. Artinya, orang akan memetik buah kelapa (tetapi) tidak bisa memanjat/jangan bilang bahwa kelapanya jelek.

Koes Plus bemaksud mengritik laku masyarakat (terutama di Jawa) agar kita tidak mudah mengatakan sesuatu itu buruk lantaran kita tidak mampu mengerjakan yang disebut sebagai buruk itu. Dua baris syair lagu Omah Gubuk yang dirilis Koes Plus itu pada titik tertentu merupakan bentuk negasi. Negasi dengan maksud untuk menutupi kelemahan diri sendiri.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia , negasi berarti penyangkalan, peniadaan. Negasi adalah kata sangkalan atau bantahan terhadap satu hal. Dalam praktik sehari-hari, negasi tidak selalu berbentuk pengingkaran atau penyangkalan. Negasi juga bisa menjadi sebentuk peniadaan.

Negasi jenis ini biasanya sering diucapkan kalangan tertentu menjelang pemilihan kepala daerah dengan maksud meninggikan derajat atau mempekuat posisi orang yang membuat negasi dan merendahkan atau menganggap tidak ada apa-apanya (nothing) pihak yang dinegasikan.

Ketika seorang kepala daerah akan maju dalam pilkada, misalnya, ia bisa saja mengatakan “Ah, si A tidak ada apa-apanya. Program si A itu kan sudah saya lakukan dan ia hanya mencontek program saya.”

Sebaliknya, sang penantang akan mengatakan,”Selama hampir lima tahun Si B menjadi kepala daerah kerjanya hanya tidur. Lihatlah, jalan rusak di mana-mana dan penduduk makin miskin.”

Pada “musim pilkada” produsen negasi tidak hanya para kandidat kepala daerah, tetapi juga bisa seorang akademikus, wartawan, tokoh masyarakat, pengurus parpol, tokoh agama, bahkan masyaralat dunia maya acap menjadi produsen aktif negasi. Hebatnya lagi, produk negasi yang dikembangkan menjadi frasa atau wacana yang canggih bisa dikapitalisasikan.

Inilah kerja para buzzer di media sosial. Hanya bermodal kata kunci sebuah kalimat negasi, mereka bisa memproduksi sekian banyak serangan kepada lawan pihak yang membayarnya. Buzzer yang nakal akan bermain di dunia kaki alias order dari calon A diambil dan order dari calon B tidak ditolak.

Meskipun pemilihan gubernur Lampung masih lama, beberapa waktu lalu publik di Lampung juga disuguhi produk negasi. Misalnya negasi dengan tema jalan rusak, jalan layang, dan program ronda.

Meskipun hal yang dinegasikan itu mungkin benar, tentu kita tidak harus menelan mentah-mentah ujaran atau pernyataan yang diolah dari sebuah negasi. Kecuali pihak yang melakukan negasi itu sudah benar-benar sip markosip, bekerja keras, sukses membangun, dan tiada cacat cela.