Asarpin
Syahdan,
di sebuah kota pantai di abad ke-9 Masehi hiduplah seorang nelayan tua miskin
dengan tiga orang anak. Setiap hari ia memanggul jalanya ke pantai mencari ikan
agar anak-anaknya tak mati kelaparan. Suatu hari ketika bulan masih bertengger
di langit ia melangkah ke tepi laut, lalu meletakkan keranjangnya dan mulai
menebarkan jalanya.
di sebuah kota pantai di abad ke-9 Masehi hiduplah seorang nelayan tua miskin
dengan tiga orang anak. Setiap hari ia memanggul jalanya ke pantai mencari ikan
agar anak-anaknya tak mati kelaparan. Suatu hari ketika bulan masih bertengger
di langit ia melangkah ke tepi laut, lalu meletakkan keranjangnya dan mulai
menebarkan jalanya.
Pada
tebaran pertama ia menunggu sampai jalanya tenggelam, lalu mengumpulkan talinya
dan mulai menarik jala itu ke permukaan. Semakin lama ia merasakan jalanya amat
berat hingga akhirnya ia berhasil
mengangkatnya ke daratan. Tapi yang ia temukan pada jalanya hanyalah seekor
keledai yang sudah mati.
tebaran pertama ia menunggu sampai jalanya tenggelam, lalu mengumpulkan talinya
dan mulai menarik jala itu ke permukaan. Semakin lama ia merasakan jalanya amat
berat hingga akhirnya ia berhasil
mengangkatnya ke daratan. Tapi yang ia temukan pada jalanya hanyalah seekor
keledai yang sudah mati.
Nelayan
tua itu tak putus asa. Ia malah melantunkan sajak sedih, dan itu ia lakukan
setiap kali ia menemukan jalanya berisi hal-hal yang tak dia inginkan. Setelah
membersihkan dan menambal jalanya yang sobek, lelaki tua itu kembali melempar jalanya
ke laut, lalu mengangkatnya dengan tertatih-tatih, yang membuatnya gembira
karena ia mengira sedang menangkap ikan besar. Tapi pada tebaran kedua ini
jalanya hanya berisi kendi besar yang penuh lumpur dan pasir. Ia buang kendi
itu dan mulai menebarkan kembali jalanya yang ketiga kalinya. Keberuntungan belum
berpihak kepadanya karena jalanya hanya berisi botol-botol pecah dan
panci-panci bekas. Dia mulai meratapi ketidakadilan yang menyedihkan ini, dan
juga nasibnya yang sial, dan berjanji bahwa ia akan melempar kembali jalanya ke
laut untuk yang terakhir kalinya.
tua itu tak putus asa. Ia malah melantunkan sajak sedih, dan itu ia lakukan
setiap kali ia menemukan jalanya berisi hal-hal yang tak dia inginkan. Setelah
membersihkan dan menambal jalanya yang sobek, lelaki tua itu kembali melempar jalanya
ke laut, lalu mengangkatnya dengan tertatih-tatih, yang membuatnya gembira
karena ia mengira sedang menangkap ikan besar. Tapi pada tebaran kedua ini
jalanya hanya berisi kendi besar yang penuh lumpur dan pasir. Ia buang kendi
itu dan mulai menebarkan kembali jalanya yang ketiga kalinya. Keberuntungan belum
berpihak kepadanya karena jalanya hanya berisi botol-botol pecah dan
panci-panci bekas. Dia mulai meratapi ketidakadilan yang menyedihkan ini, dan
juga nasibnya yang sial, dan berjanji bahwa ia akan melempar kembali jalanya ke
laut untuk yang terakhir kalinya.
Agar tak
kembali gagal, nelayan itu berdoa penuh takzim kepada Tuhan. Ia menengadah ke
langit mengangkat kedua tangannya dan ia mulai menyadari bahwa matahari telah
terbit dan pagi telah tiba dan hari mulai terang dan ia mulai memungut kembali
jalanya. Nelayan itu sangat yakin jika kali ini ia berhasil mengangkat ikan di
jalanya, sebab ia merasakan berat jalanya berbeda dengan sebelumnya. Tapi jala
itu tersangkut di bawah laut, dan nelayan miskin itu menyelam untuk membebaskan
jalanya. Ketika dia berhasil mendorong jalanya ke pantai, ia merasakan sesuatu
yang berat di dalamnya. Kemudian ia membuka jala itu dan menemukan sebuah kendi
kuningan berleher panjang dengan sebuah tutup timah yang masih disegel.
kembali gagal, nelayan itu berdoa penuh takzim kepada Tuhan. Ia menengadah ke
langit mengangkat kedua tangannya dan ia mulai menyadari bahwa matahari telah
terbit dan pagi telah tiba dan hari mulai terang dan ia mulai memungut kembali
jalanya. Nelayan itu sangat yakin jika kali ini ia berhasil mengangkat ikan di
jalanya, sebab ia merasakan berat jalanya berbeda dengan sebelumnya. Tapi jala
itu tersangkut di bawah laut, dan nelayan miskin itu menyelam untuk membebaskan
jalanya. Ketika dia berhasil mendorong jalanya ke pantai, ia merasakan sesuatu
yang berat di dalamnya. Kemudian ia membuka jala itu dan menemukan sebuah kendi
kuningan berleher panjang dengan sebuah tutup timah yang masih disegel.
Nelayan tua
itu sama sekali tak kecewa, malah ia senang dengan kendi kuningan itu karena
jika di jual ke pasar harganya lumayan. Tapi ketika ia hendak mengangkat kendi
itu, ternyata sangat berat dan tak mungkin dia gotong sendirian. Ia berusaha
membuka tutup kendi itu untuk membuang isinya agar dapat diangkut. Ia memutar
tutup itu dengan mulutnya sekuat tenaga, dan berhasil. Tapi tiba-tiba dari
lubang kendi yang terbuka itu muncul segumpal asap dan semakin lama membentuk
sesosok jin dengan kaki terpancang di tanah.
itu sama sekali tak kecewa, malah ia senang dengan kendi kuningan itu karena
jika di jual ke pasar harganya lumayan. Tapi ketika ia hendak mengangkat kendi
itu, ternyata sangat berat dan tak mungkin dia gotong sendirian. Ia berusaha
membuka tutup kendi itu untuk membuang isinya agar dapat diangkut. Ia memutar
tutup itu dengan mulutnya sekuat tenaga, dan berhasil. Tapi tiba-tiba dari
lubang kendi yang terbuka itu muncul segumpal asap dan semakin lama membentuk
sesosok jin dengan kaki terpancang di tanah.
Sampai di
situ, kita seperti sedang membaca versi lain dari kisah Aladin, si lampu ajaib,
juga Lelaki Tua dan Laut karya
Hamingway yang tersohor. Tapi itu
fragmen dari Kisah Seribu Satu Malam
tentang nelayan dan jin Sulaiman. Jin aneh
itu kemudian meminta kepada nelayan renta itu agar mengucapkan apa yang dia minta.
Nelayan tua itu gembira dan bertanya kepada Jin:
situ, kita seperti sedang membaca versi lain dari kisah Aladin, si lampu ajaib,
juga Lelaki Tua dan Laut karya
Hamingway yang tersohor. Tapi itu
fragmen dari Kisah Seribu Satu Malam
tentang nelayan dan jin Sulaiman. Jin aneh
itu kemudian meminta kepada nelayan renta itu agar mengucapkan apa yang dia minta.
Nelayan tua itu gembira dan bertanya kepada Jin:
“Apa yang
hendak aku minta kepadamu?”
hendak aku minta kepadamu?”
“Katakan
dimana engkau ingin mati, dan cara kematian mana yang kau mintakan padaku untuk
kupilih”, kata Jin.
dimana engkau ingin mati, dan cara kematian mana yang kau mintakan padaku untuk
kupilih”, kata Jin.
“Apa
kesalahanku?” tanya nelayan.
kesalahanku?” tanya nelayan.
“Kau
telah membebaskan aku, padahal aku sudah bersumpah barangsiapa yang membebaskan
aku dari kendi ini ia akan mati”.
telah membebaskan aku, padahal aku sudah bersumpah barangsiapa yang membebaskan
aku dari kendi ini ia akan mati”.
“Apa
betul kau berasal dari kendi itu?” tanya nelayan.
betul kau berasal dari kendi itu?” tanya nelayan.
“Apa kau
tidak percaya?”
tidak percaya?”
“Tidak,”
kata nelayan.
kata nelayan.
“Coba kau
lihat aku masuk,”kata Jin itu. Akhirnya Jin berubah jadi gumpalan asap yang
kemudian masuk ke dalam kendi kembali. Dengan cepat nelayan tua itu menutup kendi
kuningan tersebut sehingga bebaslah ia dari ancaman kematian.
lihat aku masuk,”kata Jin itu. Akhirnya Jin berubah jadi gumpalan asap yang
kemudian masuk ke dalam kendi kembali. Dengan cepat nelayan tua itu menutup kendi
kuningan tersebut sehingga bebaslah ia dari ancaman kematian.