Neurosains dan Pendidikan (1)

Bagikan/Suka/Tweet:

Nusa Putra*

Sejarah manusia memasuki babak baru. Setelah berhasil menjelajahi bulan dan planet Mars, kini manusia makin memahami dirinya berkat penjelajahan ke dalam otaknya sendiri. Pada masa lalu, penelitian otak manusia biasanya dilakukan pada orang yang telah mati atau orang yang mengalami cedera otak.

Kini, berkat teknologi canggih, penelitian terhadap otak bisa dilakukan terhadap manusia yang sedang menjalani aktivitas tertentu, misalnya menghafalkan rumus yang sulit atau sedang menciptakan sesuatu.

Dalam sejumlah penelitian, penyanyi terkenal Sting pernah dipindai otaknya saat menciptakan lagu dan membawakan nyanyian. Bisa terlihat dengan jelas bagaimana otaknya bekerja dalam kepaduan dan adanya bagian tertentu yang aktif dibandingkan bagian lain. Ternyata yang lebih aktif saat bernyanyi dan mencipa lagu merupakan bagian yang berbeda.

Para bikhsu Budha juga pernah dipindai otaknya saat bermeditasi. Ada perubahan sangat mendasar saat sang bikhsu memulai meditasi, kala bertahap menuju konsentrasi dan saat konsentrasi penuh. Ada bagian yang semakin aktif dan ada yang boleh dibilang mengalami relaksasi.

Penelitian juga bisa diarahkan pada bayi yang sedang tumbuh di dalam rahim, untuk mengetahui secara akurat dan rinci perkembangan otaknya. Sebagai hasilnya kini pemahaman terhadap otak manusia semakin mendalam dan rinci.

Penelitian Damasio dan LeDoux yang mendalam tentang otak telah menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang emosi manusia. Kini terbukti betapa pentingnya emosi bagi kebertahanan dan kelangsungan hidup manusia. Atas penelitian tentang otak emosi manusia, Goleman mempopulerkan Kecerdasan Emosional yang telah merubah pandangan bukan saja tentang kecerdasan, juga tentang manusia.

Temuan ini juga telah memengaruhi perkembangan pendidikan dan pembelajaran. Pembelajaran kuantum, antara lain ditopang oleh perumusan dan implementasi kecerdasan emosional. Begitupun pembelajaran kooperatif.

Roger W. Sperry berdasarkan penelitian terhadap otak penderita epilepsi, memperkenalkan belahan otak kanan dan kiri yang tenyata memiliki fungsi yang sangat berbeda. Ned Hermann melanjutkan penelitian dan merumuskan kuadran otak.

Herman membagi belahan otak menjadi belahan kanan atas dan kanan bawah, serta kiri atas dan kiri bawah yang memiliki fungsi-fungsi spesifik yang sangat berbeda. Pemahaman dan implementasi belahan dan kuadran otak ini telah mendorong revolusi pembelajaran di seluruh dunia. Kini disadari konsep, kompetensi, dan cara kerja yang berbeda tidak lagi bisa diajarkan dengan cara yang sama dan seragam.

Banyak kegagalan dalam penbelajaran ternyata berakar dari ketidakfahaman tentang sifat kodrati otak. Teori belahan dan kuadran otak membantu kita semakin memahami sifat kodrati otak.

Gardner berdasarkan penelitian yang lama tentang otak merumuskan kecerdasan majemuk. Meskipun sampai kini masih banyak pertanyaan dan keberatan yang diajukan oleh para ahli, namun konsep ini sangat membantu proses pembelajaran. Kini semakin disadari bahwa keberhasilan belajar anak didik juga ditentukan oleh identifikasi yang akurat tentang kecenderungan kecerdasan yang dominan pada anak, dan pada kecerdasan apa ia membutuhkan perhatian lebih untuk mengembangkannya.

Penelitian Gardner ini dipercanggih oleh Armstrong dengan konsep pelangi kecerdasan. Temuan ini sangat membantu merancang proses pembelajaran sesuai dengan tipe kecerdasan anak didik.

Penelitian tentang otak yang merupakan fokus utama neurosains semakin berkembang, rinci, dan mendalam. Bersamaan dengan itu pemanfaatnnya dalam bidang pendidikan dan pembelajaran juga makin meningkat. Ini terjadi karena berbagai temuan dalam neurosains sangat membantu untuk menumbuhkembangkan manusia yang merupakan fokus utama pendidikan.

Berdasarkan berbagai perkembangan yang dijelaskan di atas, tampaknya merupakan suatu keharusan untuk melakukan langkah-langkah praktis untuk pemanfaatan neurosains bagi peningkatan kualitas proses pembelajaran.

Karena pada hakikatnya neurosains memberikan perspektif baru tentang manusia dan bagaimana mengelola dan menumbuhkembangkannya melalui pendidikan. Neurosains diharapkan dapat memberi landasan bagi peningkatan kualitas proses pembelajaran, sebab memberi penjelasan yang semakin mendalam dan rinci bukan saja tentang otak manusia sebagai pusat kendali, juga bagaimana mengelolanya.

Atas dasar berbagai penjelasan di atas sejumlah pertanyaan dapat dirumuskan sebagai upaya untuk memanfaatkan neurosain dalam peningkatan mutu pembelajaran. Pertanyan tersebut antara lain,

1. Apa saja temuan mutakhir tentang otak dalam kajian neurosains?
2. Bagaimana memanfaatkan temuan mutakhir tentang otak untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran?
3. Model dan strategi apa saja yang dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran sebagai implementasi temuan mutakhir tentang otak?

Penelitian-penelitian tentang otak membuktikan bahwa otak akan semakin berkembang dan tajam jika digunakan secara baik dan tepat, bila terus dirangsang agar aktif. Sebaliknya otak akan layu atau kurang berkembang jika kurang digunakan atau pasif.

Secara fisik layunya otak ditandai dengan terputusnya berbagai jaringan syarat atau neouron yang telah tersambung di dalam otak karena belajar, pelatihan dan mengalami. Kini diketahui bahwa kecerdasan sesorang sangat ditentukan secara fisik di dalam otak bila terjadi jejaring neuron yang kompleks. Bukan hanya dari banyaknya jumlah neuron.

Konsekuensinya, pada semua tingkat pendidikan harus diusahakan agar yang paling banyak digunakan adalah metode dan strategi pembelajaran yang memicu dan memberi kesempatan bagi pembelajar untuk berpartisipasi secara aktif. Sebenarnya pada masa lalu sudah pernah disusun Kurikulum Pendekatan Proses. Salah satu perumusnya adalah Prof. Dr. Conny Semiawan yang merumuskan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun, karena negeri ini suka gonta-ganti kurikulum, Kurikulum Pendekatan Proses diganti. Jika dilihat rancang bangun Kurikulum 2013 dengan Pendekatan Saintifik, tampaknya konstruksi dan jabaran Kurikulum Pendekatan Proses dengan CBSAnya lebih baik dan lengkap.

Bila dikaitkan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang sangat mengedepankan luaran (outcomes) dalam bentuk capaian pembelajaran berupa kompetensi yang fungsional dan bermakna, temuan neurosains tentang bagaimana proses berkembang dan layunya otak serta konsekuensinya dalam pembelajaran, sangat berguna untuk diimplentasikan. Oleh karena KKNI memang mengharuskan pemenuhan capaian pembelajaran lulusan yang nyata dan terukur.

Faktor lain yang dapat melayukan bahkan merusak otak, sering disebut dengan “terbakarnya syaraf atau synapsis otak” adalah stres. Stres memberikan dampak sangat buruk bagi otak manusia pada semua tingkatan usia. Pada anak-anak, dampak stres bisa lebih mengerikan. Bahkan ibu hamil yang mengalami stres berat dan berkepanjangan yaitu distres, bisa dipastikan bahwa bayinya akan mengalami kerusakan otak permanen.

Konsekuensinya, pembelajaran harus dilaksanakan dalam suasana menyenangkan yang memberi kesempatan pada pembelajar terlibat secara penuh, emosional dan intelektual, sebagai manusia utuh dalam proses pembelajaran. Kini telah sangat banyak metode dan strategi pembelajaran yang menyenangkan dan dapat melibatkan pembelajar secara penuh.

Secara konseptual melalui berbagai kebijakan, kita telah merumuskan bahwa pembelajaran harus dilaksanakan dengan menyenangkan. Dokumen seperti kurikulum dan turunannya telah memuat dorongan dan keharusan untuk melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan.

Namun, dalam praktik pembelajaran sangat sulit diujudkan karena beberapa alasan. Alasan-alasan tersebut adalah:

1. Kemampuan para pengajar. Belum semua pengajar pada berbagai jenjang pendidikan memiliki kemampuan untuk mempraktikkan proses pembelajaran yang menyenangkan. Paling tidak hasil uji kompetensi para guru yang rendah pada semua aspek menegaskan itu. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat perguruan tinggi.

2. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah hambatan utama adalah pelaksanaan Ujian Nasional (UN). UN telah membuat penyelenggara sekolah yaitu kepala sekolah dan guru hanya fokus untuk mencapai target UN yang telah ditetapkan para kepala daerah. Pemenuhan target itu pada kenyataannya telah merubah sekolah menjadi bimbingan tes berskala besar. Hanya fokus mempersiapkan siswa menjawab tes. Sekolah bukan lagi menjadi lembaga pendidikan yang memekarkan manusia. Namun telah menjadi bimbingan tes untuk mencapai lulus 100%. Sangat sulit untuk membangun suasana yang menyenangkan. Seringnya terjadi kesurupan massal menjelang UN adalah salah satu tanda sekokah telah menjadi tempat yang menyemaikan rasa takut dan stres. Tragis.

3. Tradisi mengajar yang sulit berubah. Kurikulum terus berganti menyodorkan beragama pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran mutakhir yang merupakan rumusan dari teori-teori baru termasuk yang didasarkan pada temuan baru dalam neurosains. Namun para guru susah berubah dan memilih metode ceramah yang paling mudah dilaksanakan.

Temuan lain yang juga dapat digunakan adalah hasil penelitian para ahli neurosains tentang pemerkayaan otak. Pada dasarnya temuan ini memperdalam temuan di atas tentang otak yang semakin berkembang dan semakin diperkaya bila diaktifkan melalui partisipasi aktif si pembelajar. Ada lima faktor yang dapat memperkaya otak yaitu kebaruan, tantangan, umpan balik, kebermaknaan dan rentang waktu.

*Dr. Nusa Putra,M.Pd. dosen UNJ