“Ngudo Roso”

Guru Besar FKIP Unila, Prof. Dr. Sudjarwo
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial FKIP Unila

Ngudo roso adalah kata dari Bahasa Jawa yang lebih bermakna substantif yaitu upaya untuk mawas diri; atau otokritik terhadap perilaku kita sebagai manusia; baik hubungannya sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan mahluk lain, atau manusia dengan Tuhan.

Sebagai ilustrasi pada saat kita melakukan kewajiban terhadap Tuhan, apa benar yang kita lakukan itu bermakna bagi Tuhan dan bukan sekedar memenuhi kewajiban ritual agama dengan sejumlah bacaan yang kadang kita tidak tahu artinya, apalagi memaknainya. Sementara itu kita lakukan terus menerus berulang sepanjang hayat, dan tidak ada upaya untuk menelisik secara jujur pada diri kita, apakah yang sudah kita lakukan itu benar menurut Tuhan.

Pada sisi lain ketika kita akan melakukan aktifitas bekerja tak lupa menyebut nama Tuhan dengan sejumlah ritual doa-doa terpilih yang kadang tanpa kita sadari, apakah doa itu bermakna atau tidak bagi Tuhan. Karena Tuhan mahamengetahui setingkat mana keihlasan kita dalam berdoa. Juga pada waktu kita mendapat musibah atau mendapat berkah seraya dengan mengucap terimakasih Tuhan, apakah juga bermakna bagi Tuhan. Atau justru ditertawakan oleh Tuhan karena sebenarnya ucapan kita itu tidak tulus, tidak dari lubuk hati yang paling dalam; karena pada saat yang sama kita masih bernegosiasi terhadap nasib, sementara nasib adalah ketentuan Tuhan untuk umat-Nya.

Bentuk bentuk introspeksi atau aoutokritik di atas menurut Oswald Kulpe adalah termasuk berpikir tingkat tinggi pada manusia. Kemampuan seperti itu hanya dimiliki oleh manusia, sedangkan mahluk lain tidak memilikinya. Oleh karena itu, ngudo roso lebih tepat jika kita beri makna yang lebih luas lagi adalah berdialog dengan diri sendiri secara jujur dan terbuka. Sehebat apa pun kita dan setinggi apapun jabatan kita, jika kemampuan ini tidak kita miliki, sebenarnya kita hanya robot yang diberi akal.

Kemampuan untuk ngudo roso ini lebih bersifat kontemplatif individual atau personal, sebagai contoh bagaimana mahasiswa pascasarjana program doctor yang ngudo roso tentang promotornya, karena kebaikan promotornya yang selalu memberikan pelayanan penuh, membuat mahasiswanya menjadi takzim dan segan. Sebaliknya ada yang ketemu promotor lebih berbicara pada dirinya sendiri, membuat mahasiswa merasa tidak nyaman karena harus selalu mengiyakan apa yang dititahkan promotor.

Demikian juga ada pemimpin yang pekerjaannya membanggakan capaian kinerja, seolah semua itu akibat dirinya. Begitu didengar oleh anak buah yang merasa memberi kontribusi lebih, menjadi kecewa. Akhirnya yang bersangkutan ngudo roso bahwa pimpinannya tidak layak disebut pemimpin, lebih tepat disebut kepala, karena tidak mau menghargai kerja team yang ada.

Dialog kontemplatif inilah menjadikan kita peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain, sehingga dapat menangkap sinyal yang dikirimkan melalui bahasa rasa maupun bahasa tubuh. Dengan tingkat ngudo roso yang tinggilah manusia akan terhindar dari empat penyakit hati; (diunduh: 13-9-2021) yaitu:

1. Perasaan dengki

Dengki dapat diartikan sebagai suatu perasaan marah, curiga, kurang percaya, dan tidak suka dengan keberuntungan dan kebahagiaan orang lain. Perasaan seperti ini sangat berbahaya jika terus dipelihara di dalam hati manusia karena akan menimbulkan perasaan tidak tenang dalam diri sendiri. Selain itu perasaan dengki akan membuat orang lain sulit untuk berhubungan baik dengan sesamanya dikarenakan adanya rasa curiga yang berlebihan terhadap orang lain. Perasaan dengki ini ternyata juga merupakan suatu penyakit hati yang sangat berbahaya.

2. Perasaan benci

Benci adalah suatu emosi yang melambangkan ketidaksukaan, permusuhan, dan perasaan yang mengacu pada keinginan untuk menghilangkan dan menghancurkan. Banyak orang yang berbuat kejahatan atau sesuatu yang buruk terhadap orang lain dikarenakan perasaan benci. Tetapi perasaan ini tidak datang dengan sendirinya, melainkan didorong dengan suatu perbuatan buruk atau perkataan buruk seseorang terhadap orang lain.

3. Perasaan takabur

Takabur adalah perasaan angkuh, congkak, atau tinggi hati yang ada dalam hati seseorang dan tercermin dari sikap yang diperlihatkannya. Perasaan takabur didorong karena memperoleh suatu kenikmatan baik prestasi, jabatan, dan harta yang merasa bahwa kenikmatan tersebut hanya dimiliki oleh dirinya saja sehingga merasa hebat dan merasa diri paling tinggi dari orang lain.

4. Perasaan iri

Iri adalah perasaan atau emosi yang timbul dikarenakan seseorang tidak memiliki prestasi, keberhasilan, kekayaan, atau kehidupan yang baik seperti orang lain. Iri juga suatu sifat atau perasaan yang menginginkan orang lain kehilangan sesuatu yang dimilikinya, baik itu prestasi, jabatan, dan harta.

Ngudo roso adalah memakrifatkan diri untuk merenungi semua pemberian Tuhan kepada kita agar kita pandai bersyukur, karena berkeyakinan apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, itu adalah yang terbaik untuk kita. Bisa jadi kita merasakannya pahit, walau sebenarnya adalah manis di hadapan Tuhan. Karena rahasia rasa itu hanya bisa dinikmati tidak bisa dideskripsi. Batas keyakinan dan pengetahuan semakin tampak manakala manusia mampu mengolah rasa menjadi nikmat.***