Opini  

Berlindung di Balik Aturan Formal

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya*

Kasus perbaikan toilet DPR yang menalan biaya sebesar Rp2 M dan renovasi ruang bangar DPR sebesar Rp20 M, adalah salah satu dari sekian banyak kebijakan yang kontroversi dan menuai banyak kritik dari publik.

Modus untuk melakukan pemborosan anggaran negara untuk kepentingan perjalanan dinas, pembelian mobil dinas mewah, kunjungan ke luarnegri, renovasi ruang kantor, pembuatan fasilitas parkir kantor dst walaupun banyak dikiritik dan dikecam publik, tetap saja dilakukan. Salah satu alasan yang selalu dipakai untuk melakukan pembenaran terhadap kebijakan kontroversi tersebut yaitu  kebijakan itu tidak bertentangan dengan aturan berlaku, maka kebijakan tersebut dinilai syah dan sesuai dengan aturan.

Dalam praktik pemerintahan yang berlaku sekarang ini yang selalu dipakai dalam mengambil keputusan yaitu logika normatif atau pendekatan yang menekankan pada pengaturan semua kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan perundangan-undangan (rules driven).  Dengan dasar logika tersebut, dalam penyusunan anggaran,  para pembuat kebijakan (pemerintah dan DPR) bisa mengalokasikan besaran  sesuai dengan kepentingannya sepanjang tidak melanggar peraturan yang ada.

Misalnya, pemerintah bisa saja mengalokasikan anggaran untuk belanja kendaraan dinas dengan harga yang mahal dan mewah setiap tahun sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada, walaupun kondisi kendaraan yang ada masih dianggap layak. Demikianhalnya, anggota Dewan bisa saja mengalokasikan anggaran untuk studi banding atau merenovasi ruang kantor dalam jumlah dana yang besar sepanjang   hal itu tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada.

Akibat logika rules driven dalam pendistribusian anggaran tersebut maka alokasi anggaran menjadi tidak proporsional, tidak efisien, pilihan prioritas menjadi termarjinalkan, tidak adil dan merata serta tidak berfihak pada kelompok masyarakat miskin. Pendistribusian anggaran pada akhirnya cenderung hanya sebagai alat tawar-menawar antara pemerintah dengan lembaga legistatif untuk mengakomodasi berbagai kepentingannya dan melakukan praktik rent seeking.

Cara bekerja pemerintahan yang hanya bersandar pada asas legal formal sebenarnya hanya menghindari dari jeratan masalah hukum dan bisa bebas dari masalah tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Cara bekerja pemerintahan seperti ini akan memberi ruang bagi para pembuat kebijakan untuk memanfaatkan anggaran sebagai sumberdaya politik dan ekonomi untuk kepentingan personal dan kelompoknya. Dalam perspektif ini, proses penyusunan anggaran dibuat menjadi tidak transparan dan tidak partisipatif karena untuk menghindari adanya kontrol publik.

Dalam proses penyusunan anggaran penerapan asas legal formal hanyalah salah satu asas. Terdapat sejumlah asas-asas lain dalam proses penyusunan anggaran, seperti : asas efisiensi dan efektivitas, asas transparansi, asas anggaran yang bersahaja, asas pemerataan, dst. Setiap penyusunan anggaran, mendagri atau mentri keuangan memberikan pedoman penyusunan anggaran yang di dalamnya memuat sejumlah asas-asas tersebut dan skala prioritas pembangunan.

Namun, dalam praktiknya hanya asas legal formal yang dijadikan rujukan dan cenderung mengabaikan asas-asas lain. Sementara asas transparansi, partisipasi dan asas akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, hanya dipraktekan dalam tataran formalitas. Misalnya, partisipasi publik dalam musrenbang misalnya, sebagai salah satu  tahapan yang harus dilakukan dalam proses penyusunan anggaran publik, cenderung lebih dimaknai sebagai forum untuk mensosialisasikan program – program pemerintah, karena tidak ada debat dan tidak ada proses dialog untuk merumuskan isu kebijakan dan skala prioritas pembangunan dengan benar dan sesuai dengan realitas problema publik yang dirasakan pubik.

Akar Persoalan
 
Akar persoalan anggaran publik terjadi pemborosan, tidak untuk memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat luas,  dan cenderung dimanfaatkan untuk memaksimalisasi keuntungan ekonomis bagi para pejabat publik, antara lain karena dalam proses pembuatan kebijakan tidak bisa dikontrol secara efektif.

Anggota lembaga legistatif  dalam penyusunan anggaran yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan, justru terlibat dalam mengalokasikan anggaran, mengusulkan program dan memprioritaskan kepentingan aspirasi daerah pemilihannya. Relasi Dewan dengan Pemerintah  lebih bersifat kompromistik untuk melindungi dan mengawal kepentingan-kepentingannya. Sementara kekuatan masyarakat sipil terutama pegiat LSM, akademisi dan media masa walaupun getol mengkiritik dan melakukan penolakan terhadap penyusunan anggaran, tetapi tidak berhasil mengubah subtansi kebijakan.

Jadi, praktik pemerintahan yang hanya digerakan oleh aturan-aturan formal semata dan tidak bisa dikontrol secara efektif, pada akhirnya anggaran publik  bisa dimanipulasi oleh para pejabat publik untuk kepentingan mencari keuntungan ekonomis.

* Dr Syarief Makhya adalah dosen Pascasarjana FISIP Universitas Lampung