Feaby Handana
Baru-baru ini, publik Lampung Utara disuguhkan kabar tentang adanya menara telekomunikasi liar alias tak berizin di depan rumah dinas Wakil Bupati Lampung Utara. Kabar ini tentu sangat tidak bisa diterima nalar.
Kesimpulan bahwa itu merupakan menara liar bersumber dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu/DPMPTSP Lampung Utara. Menurut pejabat DPMPTSP Lampung Utara yang selama ini menjadi pihak yang paling berwenang untuk mengeluarkan izin, sampai saat ini belum pernah menerbitkan izin untuk menara di sana. Sebab, syarat utama untuk menerbitkan izin belum terpenuhi.
Secara prosedural, pembangunan setiap menara telekomunikasi di Lampung Utara wajib mengantongi surat rekomendasi dari Dinas Komunikasi dan Informatika terlebih dulu. Surat itu berisikan persetujuan tentang titik lokasi pembangunan menara. Rekomendasi ini menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum mengurus perizinan lainnya. Tanpa itu, pembangunan harusnya belum dapat dimulai.
Penentuan titik lokasi setiap pembangunan menara telekomunikasi tersebut juga tidak boleh sembarang. Sebab, hal itu diatur dalam Peraturan Daerah Lampung Utara nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana diubah dalam Peraturan Daerah Lampung Utara nomor 1 Tahun 2020 Tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Lokasinya harus sesuai dengan tabel peta arahan zona baru menara yang ditetapkan. Zona pembangunan menara ini sendiri merupakan bagian dari rencana induk menara telekomunikasi. Zona ini dibuat agar tidak terjadi hutan menara.
Berdasarkan tabel peta arahan zona baru menara, terdapat dua titik baru di Kecamatan Kotabumi untuk pembangunan menara baru. Namun, ternyata lokasi pembangunan menara di tersebut melenceng jauh dari zonanya. Dengan titik terdekat saja, lokasi menara baru itu melenceng sekitar 5 KM jauhnya. Apalagi dengan titik lainnya yang berjarak sekitar 7 KM.
Belum lagi, jarak menara tersebut dengan menara terdekat. Jaraknya hanya sekitar 300-an meter saja. Padahal, pejabat Dinas Komunikasi dan Informatika pernah menyebutkan jarak antarmenara itu tidak boleh kurang dari 2 KM. Yang terpenting, sampai saat ini Dinas Komunikasi dan Informatika masih belum menerbitkan surat rekomendasi titik tersebut. Dengan pelbagai uraian di atas, sulit rasanya tidak mengiyakan jika menara di sana memang liar adanya.
Imbasnya, spekulasi liar pun mulai bermunculan. Jangan-jangan mulusnya pembangunan menara di sana karena ada ‘orang kuat’ di belakangnya. Atau bisa jadi karena kualitas sumber daya manusia instansi terkait yang terbatas kemampuannya. Yakni, kemampuan untuk mengawasi maupun memahami aturan yang berlaku berikut larangannya.
Meskipun hanya spekulasi, namun jika dipikir-pikir, rasanya cukup masuk akal juga. Sangat mustahil rasanya bangunan komersial itu dapat berdiri gagah sebelum mengantongi izin jika bukan karena ada apa-apanya. Sebab, meminjam istilah anak-anak sekarang, lokasinya itu pun bukan kaleng-kaleng.
Ia terletak di pusat kota. Hanya berjarak sekitar satu kilometer saja dari Kantor Pemkab Lampung Utara. Tiap hari para pejabat daerah pasti melihat menara tersebut jika melintas di Jalan Jenderal Sudirman yang menjadi lokasi pembangunan menara itu.
Sejatinya, persoalan pembangunan menara yang tidak sesuai zona bukan kali ini saja terjadi. Tahun-tahun sebelumnya pernah juga seperti itu. Kenapa bisa seperti itu? Karena Dinas Komunikasi dan Informatika tak ubahnya hanya tukang stempel. Setiap pengajuan mengenai rekomendasi titik menara baru yang masuk dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau DPMPTSP selalu mereka setujui. Mereka jarang memeriksa apakah lokasi yang diajukan telah sesuai aturan zona atau tidak. Padahal, aturan mengenai zona itu ada di meja mereka.
Kembali ke urusan menara liar tersebut, semestinya Pemkab Lampung Utara tidak memiliki pilihan lain. Mereka bisa menginstrusikan untuk mengambil tindakan. Jika tidak, marwah pemkab yang jadi pertaruhannya.
Langkah tegas ini bukan berarti sikap antipati terhadap investor. Investor memang penting, tetapi lebih penting lagi menegakkan aturan tanpa terkecuali. Atau bisa juga pemkab merubah rencana induk menara tersebut di masa mendatang. Tak ada lagi zona-zona terlarang. Paling-paling risikonya wilayah kota maupun pedesaan akan dipenuhi menara-menara telekomunikasi sehingga seperti menjadi hutan menara di masa mendatang.