Opini  

OCCRP, Bashar El-Asaad, dan Jokowi

Juru Bicara Rektor Unila, Dr.Nanang Trenggono
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Nanang Trenggono

Labeling OCCRP kepada Jokowi dimasukkan dalam nominasi figur pemilik sifat kepemimpinan yang korup dan melakukan praktik kejahatan terorganisir di tahun 2024 di antara 6 (enam) presiden, perdana menteri, dan pengusaha pada level dunia adalah penilaian internasional terhadap sepak terjang figur-figur pada level pemimpin atau individu di seluruh dunia.

Tradisi projek riset tentang indeks persepsi skala global tentang praktik korup dan kejahatan sistematis ini adalah kegiatan utama OCCRP yang sudah berjalan 13 tahun melalui metode penilaian juri dalam jaringan OCCRP di 6 benua, telah diakui kebenarannya.

Banyak personal, sosok pemimpin pada level global yang disebut paling korup dan telah melakukan kejahatan terorganisir yang membawa konsekuensi kerusakan serius negaranya dalam jangka panjang, terbukti adanya meskipun muncul polemik di berbagai negara yang masuk nominasi.

Apakah studi OCCRP bermanfaat bagi sebuah bangsa dalam meniti perjalanan panjang mencapai kebahagiaan dan kesejahteraannya? Hal ini mendorong diskursus produktif. Di satu sisi, bagi sebagian khalayak yang sudah terlanjur mengagumi tokoh yg dinominasi atau telah menerima benefit, tentu menyikapi penuh defensif, bahkan emosional. Di sisi lain, bagi publik yang berada pada lajur berbeda akan menghakimi figur yang masuk nominasi paling jahat dan korup, bahkan nyinyir dan ungkapan kebencian. Di sisi yang lain lagi, ada yang berlandaskan simbol nasionalisme atau kesamaan simbol2 lainnya, sulit menerima realitas empiris ini. Namun, bila dicoba dipahami, hasil studi persepsi ini terselip novelti atau makna baru yang menjadi ilmu pengetahuan.

Tidak berlebihan, salah satu makna tersebut, dapat ditinjau dari filsafat politik; praktik politik selama ini dipahami “bermula” dari konsep negara kota, berkembang negara bangsa, kini telah berkembang menjadi negara global. Kontrol, pengawasan, dan kritik tajam dengan konstruksi bahasa yang beragam ada yang halus, moderat, dan vulgar (jelas, terus terang) telah mengisi kehidupan politik di mana pun negara-negara dunia berada. Komunikasi internasional, tidak lagi terperangkap pandangan Barat dan Timur atau Utara Selatan yang berlaku pasca Perang Dunia II atau menjelang akhir abad 20, dan sudah kurang relevan lagi. Kini abad 21 fenomena kehidupan umat manusia bukan lagi globalisasi, namun kehidupan global dengan segala isinya adalah pengetahuan umat manusia di dunia. Semua isi ilmu pengetahuan sudah tersedia, mudah diperoleh.

Indonesia di bawah pemerintahan sekarang mengubah makna “politik luar negeri yang bebas dan aktif” dalam policy sekaligus, menjadi anggota organisasi ekonomi OECD terdiri dari negara2 Eropa Barat dan AS dan telah resmi menjadi anggota BRICS organisasi ekonomi yang diinisiasi Rusia, China, India, Afrika Selatan, dan Brazil.

Tentang Jokowi, majalah Times pernah menobatkan Jokowi sebagai new hope di awal pemerintahannya. Tahun 2019 menjelang pilpres terbit buku “Jokowi Menuju Cahaya” karya Alberthiene Endah. Namun, selama satu tahun penghujung kekuasaannya berakhir terjadi metamorfosis, dan akhirnya Jokowi dinobatkan OCCRP sebagai pemimpin korup dan pelaku kejahatan terorganisir di level dunia di bawah Bachar al-Asaad yang terusir dari negaranya Suriah tgl. 8 Desember 2024 lalu.

Satu saja, kemiripan Suriah dan Indonesia era Jokowi tahun 2024. Pada tahun 2000 Bashar al-Asaad berusia 34 tahun. Ayahnya Havez al-Asaad mengubah konstitusi syarat usia calon presiden Suriah dari semula 40 tahun menjadi 34 tahun sama dengan umur sang putra Bachar al-Asaad. Juli 2000 ia dilantik menjadi presiden. Pada tahun 2010 terjadi revolusi Arab Spring yang dimulai dari Tunisia atas kematian seorang PKL dengan membakar diri bernama Achmad Boazizi karena sumber daya kehidupannya dirampas negara. Video bakar diri Boazizi membakar gerakan sosial di Mesir, Libya, sekitarnya dan Suriah. Sejak itu Bashar al-Asaad mengalami metamorfose menjadi tiran, diktator dan pembunuh rakyatnya sendiri.

Di Indonesia belum lama telah terjadi fenomena sama mengubah UU dan nilai konstitusi, syarat usia calon presiden dan wakil presiden diubah sehingga loloslah putra Jokowi menjadi cawapres dan kini wapres Indonesia.

Jadi, makna Nusantara atau negara bangsa harus diletakkan dalam konteks kehidupan global. Seorang pemimpin nasional suatu negara atau bahkan kepala daerah sekalipun tidak bisa lagi berdiri dalam cakupan kewilayahannya sendiri, lalu berbuat semau-mau sendiri mengabaikan suara dan aspirasi tidak hanya rakyatnya, tapi juga penilaian global. Perencanaan pembangunan, kebijakan publik harus menghitung dimensi internasional terutama untuk membangun kolaborasi global untuk kesejahteraan. Muncul konsep paradiplomasi yaitu sensitifitas kepala daerah membangun daerah dengan kerjasama internasional, atau diplomasi kota, dan konsep-konssp baru lainnya yang merupakan kolaborasi antarnegara sudah berjalan di berbagai tempat dan negara-negara di dunia. Komunikasi internasional sudah hadir di kehidupan nyata kita sekarang ***

Dr. Nanang Trenggono adalah dosen FISIP Unila