Bahasa  

Oknum, Rezim, dan Seronok

Upin-Ipin dan kawan-kawana (ilustrasi)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Pejabat atau staf yang mencoreng nama lembaga sering disebut “oknum”. Wartawan yang ditangkap polisi karena memalak kepala desa dan kepala sekolah disebut “oknum wartawan”.

Polisi yang ketahuan memakai sabu-sabu juga disebut “oknum polisi”. Tentara, guru, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, kepala dinas, anggota DPRD, direktur jenderal, bahkan menteri bisa menjadi “oknum”.

Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan W.J.S. Poerwadarminta (cetakan ke-4, tahun 1984) mengartikan “oknum” sebagai: 1. penyebut diri, pribadi (dalam agama Katolik Roma); 2. orang seorang, perseorangan. Pengertian yang “oknum” yang dibuat Poerwadarminta tampak sekali unsur egaliternya. Kata “oknum” seperti bebas dari beban makna yang dikandungnya.

Uniknya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “oknum” seolah mendapatkan beban yang lebih. Ia menjadi tidak bebas nilai. Itu karena selain mengandung dua pengertian yang sama dengan pengertian kamus susunan Poerwadarminta, KBBI juga mengartikan “oknum” sebagai “orang dengan anasir dengan arti yang kurang baik”.

Pengertian ketiga inilah rupanya yang lebih banyak dipakai masyarakat. Tingginya intensitas pemakaian kata “oknum” dalam pengertian ketiga inilah yang menyebabkan kata “oknum” menjadi bernasib “malang”. Ia seolah-olah hanya menjadi kata yang lebih dekat dengan hal-hal bersifat buruk. Padahal, kata oknum awalnya berhubungan dengan soal keagamaan dan bersifat netral.

Kata oknum dalam pengertian ketiga, sebenarnya sudah lama dipakai di Indonesia. Kata itu mulai dipopulerkan pada akhir tahun 1970-an oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) Soedomo. Pejabat negara yang berperilaku tidak benar (korupsi, selingkuh, kawin-cerai, dan terlibat kriminal) disebut sebagai oknum. Maksudnya adalah pejabat negara yang berperilaku buruk itu tidak memalukan lembaga atau korps tertentu.

Dalam pengertian itu, seorang tentara yang menjadi pelindung pencurian kayu adalah oknum. Kepala sekolah yang mencuri dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah oknum. Polisi yang melakukan praktik “prit gocap” adalah oknum. Seorang gubernur yang mengorupsi uang negara juga disebut oknum. Hakim pokrol bambu pun oknum namanya.

Saking banyaknya oknum berjabatan top tetapi bermoral superbejat, jadilah dalam dunia penegakan hukum kita nyaris sulit menemukan penjahat. Yang ditemukan kebanyakan adalah oknum. Mungkin itu karena selama ini kata “oknum” lebih banyak dipakai sebagai upaya pengamanan atau sebagai upaya mencari kambing hitam.

Kata yang mengalami nasib hampir sama adalah “rezim” dan “seronok”. Menurut KBBI, rezim berarti cara pemerintahan negara. Kata rezim sebenarnya bersifat netral. Sekarang, kata rezim lebih banyak dimaknai secara minor sebagai penguasa yang menjalan pemerintahan dengan tidak baik.

Sementara itu, seronok kini sering diartikan sebagai berpenampilan yang tidak sopan. Misalnya penyanyi yang memakai rok mini atau baju dengan belahan dada yang rendah, sehingga mempertontonkan auratnya. Padahal, menurut kamus susunan Poerwadarminto dan KBBI, seronok berarti menyenangkan hati; sedap dilihat atau didengar.

Dalam hal ini, warga Melayu Malaysia yang negaranya konon banyak ‘copy paste’ KBBI-nya Indonesia justru sudah pas mempraktikkan kata ‘seronok’ dalam berbahasa sehari-hari.

“Wah, seronok sekali….” kata Upin, tokoh cerita tv Upin dan Upin, saat mencoba sepeda Tuk Dalang.

Mengacu pada dua kamus itu berarti Upin dan Ipin lebih taat berbahasa Indonesia dibanding pejabat Indonesia yang bahasanya acak adut atau gado-gado.