Alois Wisnuhardana
Gara-gara tontonan komedi situasi di sebuah stasiun TV, kita punya istilah baru untuk mengolok-olok seseorang yang kelihatan bloon, kurang paham tentang nyaris apa saja, lugu cenderung bodoh, suka diculasi orang dekat, tapi tetap setia, tetap jujur, tetap lugu. Sebutannya ONENG.
Gara-gara media sosial, kita juga punya istilah baru untuk menyebut seseorang yang tampak pintar, punya ilmu tinggi, punya gelar mentereng, punya keahlian hebat, tapi terkurung pada kebencian akut pada sesuatu atau seseorang, memproduksinya terus-menerus tak kenal lelah, menambahinya dengan info-info sesat, membumbuinya dengan kosakata jorok atau cabul. Sebutannya ONGEN.
Dalam jagat informasi kontemporer, ketika kita begitu mudahnya menemukan informasi atau fakta apapun untuk dapat dianalisa dari sudut pandang mana pun sesuai kepentingan, gambar apapun bisa dilabeli dan diolah sesuai hasrat pembuatnya, kita ini sebenarnya sedang menuju suatu jurang tanpa kita menyadarinya.
Kemudahan-kemudahan mendapatkan informasi yang isinya berbeda dengan fakta yang sesungguhnya, telah membuat kita menderita penyakit kejiwaan akut. Bangun tidur inginnya mengetahui kabar terbaru tentang suatu fakta, tapi hanya dari sudut pandang yang kita mau. Di tengah perjalanan, pikiran kita masih tercekat untuk mengikuti kelanjutannya, mengorek-ngorek ke sana-kemari. Saat buang air di kamar mandi pun, kita masih mencari-cari apa saja yang bisa memuaskan “keinginan psikologis” tersebut. Itu terjadi sampai menjelang kita tidur. Ketika bangun, terjadilah siklus yang berulang.
Maka, alam berpikir dan perasaan kita kemudian secara naluriah terus-menerus dibombardir oleh informasi/analisis, lelucon, opini, atas satu fakta yang sama, tapi hanya dari satu sisi yang memuaskan kita.
Lihatlah situs-situs berita yang Anda baca. Buatlah barang 5-10 daftar situs bacaan wajib Anda setiap hari. Anda akan menemukan kesamaan karakter dari situs-situs itu. Isinya boleh jadi cenderung ekstrem di satu sisi. Akibatnya, Anda tak lagi percaya kepada situs-situs lain yang berbeda dengan isi kepala dan gagal memuaskan emosi Anda. Situs-situs itu hanya akan mengaduk-aduk perasaan Anda menjadi tak keruan. Anda telah menjadi nyaman menikmati bacaan pilihan sendiri, meskipun faktanya bisa jungkir balik.
Tengoklah kembali teman-teman pergaulan Anda. Periksalah kembali teman-teman yang Anda punya di media sosial. Lalu, lacaklah apa respons kita terhadap setiap interaksi itu. Kita melakukan konformitas atas apa yang kita suka. Kita memberi dukungan atas apa yang memuaskan kita. Sebaliknya, kita melawan apa yang tidak sesuai dengan isi kepala kita. Kita menyerang apa yang tidak sesuai dengan hati kita. Kita menumpahkannya dengan cara yang begitu mudah. Tinggal klik, kasih jempol, kasih gambar emosi, tuntaslah pelampiasan kita. Tinggal ketak-ketik, paripurnalah pelepasannya.
Ketika ongenisme sudah menjadi penyakit akut dalam diri kita, bersiap-siaplah dengan setiap risiko yang bakal mengiringinya. Apa saja risikonya? Bisa saja seharian suasana hati dan pikiran Anda dihantui oleh analisa-analisa “hebat” yang Anda baca atau lihat di pagi hari. Bisa saja seharian Anda bakal kehilangan produktivitas karena terus-menerus diseret untuk mengikuti perkembangan terbaru atau analisa lain yang lebih hebat, lebih lucu, lebih baru, tentang suatu fakta atau peristiwa yang sama. Bisa saja seharian pikiran dan batin Anda gelisah karena tak kunjung menemukan sesuatu analisis, opini, gambar, yang bisa memuaskan gejolak kebutuhan psikologis Anda.
Bisa saja seharian, bahkan sepanjang waktu, Anda menjadi sangat produktif untuk ikut terseret memproduksi apa saja yang bisa memuaskan Anda memandang suatu fenomena atau fakta. Faktanya sendiri boleh jadi sudah terjadi di masa silam. Sudah terkubur oleh fakta yang lebih baru. Tapi kreativitas dan dorongan psikologis dalam diri Anda telah terpantik, sehingga fakta sebagai fakta menjadi kabur oleh analisis Anda sendiri. Fakta-fakta yang memiliki konteks dan situasi telah berubah menjadi senjata yang bisa menumpahkan kebutuhan psikologis ini. Lalu kita menemukan pelontar senjata paling mutakhir dalam sejarah umat manusia: media sosial.
Begitu mudahnya ongenisme dipraktikkan. Begitu gampangnya ongenisme dikerjakan. Semuanya demi pemenuhan hasrat kejiwaan kita yang telah berubah pelan-pelan dan membuat kita tersesat terlalu dalam.
Kita adalah ongen-ongen yang terjerumus dalam kubangan informasi yang makin tajam perbedaannya secara ekstrem. Yang barangkali bisa membantu untuk menemukan diri kita kembali atau mengembalikan kita ke rel yang tepat, barangkali ya cuma oneng. Oneng yang lugu, oneng yang jujur, oneng yang tak tahu apa-apa, oneng yang tak bisa apa-apa.
Keonengan, membebaskan kita dari keongenan.
*Wisnuhardana adalah seorang jurnalis. Tinggal di Jakarta