Oleh: Abdul Majid
Pendidikan selalu dipercaya untuk membentuk masyarakat agar dapat menjadi pribadi yang dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Tapi, idealitas ini tampaknya akan sangat jauh bila kita melihat apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Cita-cita untuk menciptakan manusia yang lebih baik seakan-akan hanyalah ilusi. Bahkan, kita gagap menghadapi perubahan yang cepat. Dan pendidikan tidak bisa menjawab sama sekali kecenderungan itu. Kebijaksanaan pemerintah dalam pendidikan justru membatasi akses rakyat untuk mendapatkannya.
Selain itu terjadi pula ketimpangan peran antara guru dan orang tua dalam pendidikan. Para orangtua terlalu mempercayakan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada pihak sekolah (dalam hal ini guru). Para orangtua sebagian besar beranggapan bahwa urusan pendidikan anak mereka adalah mutlak tanggungjawab guru dan sekolah, sehingga mereka cenderung ”lepas tangan”. Hanya sebagian kecil saja orangtua yang menyadari betapa pentingnya peran mereka bagi masa depan anak-anak.
Seorang psikolog muda, Inderaswari Dina Astuti, M.Psi., dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Ikatan Isteri Karyawan PT. Gunung Madu Plantations (4 Mei 2013), mengatakan peran orang tua sangat diperlukan dalam pendidikan anak, terutama saat anak ingin menentukan jurusan yang tepat ketika melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Inderaswari Dina Astuti mengatakan bahwa orang tua adalah pendidik utama sekaligus motivator bagi anak. Oleh karena itu, para orang tua selayaknya terlibat secara aktif dalam pendidikan anak-anaknya. Setidaknya para orang tua mengerti minat dan bakat si anak sehingga bisa memberi pengarahan.
Kurang Menyadari
Orangtua banyak yang tidak menyadari bahwa pendidikan di sekolah adalah pendidikan formal. Anak-anak mereka di sekolah hanya mempelajari ilmu akademik, teori-teori. Pelajaran-pelajaran formal di sekolah hanya bisa membuat anak didik menjadi pintar di bidang akademiknya, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Hal itu akan melahirkan para peserta didik yang cerdas tetapi memiliki jiwa yang kering dan hampa, tidak memiliki empati dan simpati terhadap kesusahan orang lain atau lingkungannya. Secara emosi mereka labil, gampang tersulut amarah, cenderung pendek pikir, agresif, dan reaktif.
Melihat dan belajar dari lingkungan terdekat, kita bisa menyaksikan betapa para orangtua sekarang tidak mau tahu urusan pendidikan anaknya. Mereka tidak pernah bertanya pada anaknya tentang pelajaran apa hari ini?, mana PR-nya? Siapa nama gurumu?
Hubungan orangtua dengan anak dalam hal ini (pendidikan) laiknya peternak dengan piaraannya. Orangtua melepas anak-anaknya ke sekolah pada pagi hari, dan menerima mereka kembali saat siang atau sore hari. Mereka menyiapkan sarapan, makan siang, makan malam, dan ongkos sekolah. Tetapi tidak sekalipun mereka bertanya tentang apa yang dialami anak-anaknya di sekolah, apa yang didapat dari pelajaran sekolah, dan berapa nilai PR hari itu.
Hal seperti itu terjadi pula di kalangan masyarakat kelas bawah. Bedanya, jika kalangan menengah keatas para orangtua memenuhi semua kebutuhan anak-anak mereka termasuk berbagai fasilitas. Orangtua merasa sudah terlalu sibuk dengan
pekerjaan mencari uang.
Sementara di kalangan masyarakat bawah biasanya itu terjadi lantaran para orangtua ”minder” terhadap anak lantaran mereka dulu tidak sekolah atau tingkat pendidikan mereka lebih rendah dari anak. Sehingga mereka tidak berani memberi nasihat atau bimbingan kepada anaknya. ”Sekolah anak saya lebih tinggi dari saya, lha saya mau ngasih nasihat apa?” ucap seorang wali murid tentang anaknya. Dia merasa tidak punya cukup ”modal” untuk menasihati anaknya.
Cerdas tapi ”Buta”
Orang tua yang menyerahkan penuh pendidikan anaknya ke sekolah tanpa mau mengambil peran selaku pendidik utama dan motivator bagi anak, akan melahirkan siswa atau anak-anak yang kurang perhatian. Cerdas di bidang akademik, tetapi buta dalam hal budi pekerti, etika dan moral. Pintar di bidang ilmu pengetahuan, tetapi jiwanya kering-kerontang karena tidak pernah mendapat bimbingan spiritual.
Sekolah dianggap sebagai pintu gerbang memasuki kehidupan di masyarakat luas. Makanya pendidikan harus mampu bersama masyarakat untuk menyiapkan warga masyarakat yang aktif, produktif dan dinamis.
Dalam hal ini kurikulum yang dikembangkan adalah memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dengan melibatkan siswa tentang masalah yang hangat untuk dipecakah secara berkelompok dan kooperarif. Guru dan siswa belajar bersama dari berbagai sumber untuk menilai proses dan hasil belajar.
Sementara di rumah para siswa terlibat aktif bersama orang tua dalam pembelajaran tentang kehidupan social, budi pekerti, etika dan moral serta spiritual. Di rumahlah tempatnya belajar segala hal diluar ilmu-ilmu akademik, dan orang tua adalah guru utama serta motivatornya.***