Orasi Budaya Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin pada Resepsi HUT AJI

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menjawab pertanyaan para jurnalis, usai menyampaikan orasi pada resepsi HUT AJI, Jumat lalu (26/8/2016). Foto: dok Kemenag
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Dalam suasana adat Melayu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin hadir pada acara resepsi malam puncak Hari Ulang Tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Jumat malam (26/8/2016).

Tampak hadir dalam perayaan HUT ke-22 AJI, Menkominfo Rudiantara, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar, Ketua Dewan Pers Josep Adi Prasetyo (Stanley), Pjs. Kepala Pusat Informasi dan Humas Syafrizal, sejumlah tokoh pers, tokoh masyarakat, budayawan, pemimpin media serta para praktisi komunikasi dan para jurnalis.

Pada kesempatan tersebut Menag didapuk menyampaikan orasi budaya dengan tema tentang keberagaman.

Menurut Menag, seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali, berkewajiban merawat keberagaman. Bukan sekadar karena keberagaman adalah bingkai pemersatu bangsa Indonesia. Lebih dari itu, keberagaman adalah nilai kemanusian yang universal.

Menag mengatakan, pekerjaan Rumah paling berat dari upaya merawat keberagaman adalah memulai dari diri sendiri. Negara (eksekutif-legislatif-yudikatif, dan lembaga negara lain di luar tiga cabang kekuasaan) dan media harus menjadi teladan. Sebab dua komponen itu adalah agen terbesar perubahan sosial.

Berikut orasi lengkap Menag Lukman Hakim Saifudin:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera buat kita semua

Yang terhormat, Para tokoh pers, tokoh masyarakat, dan budayawan

Yang terhormat, Para pemimpin media dan para praktisi komunikasi

Yang kita segani, Para pendiri Aliansi Jurnalis Independen, para pengurus dan aktivis AJI di pusat maupun daerah

Yang saya cintai, Para jurnalis dari berbagai zaman dan dari berbagai kalangan

Marilah kita panjatkan syukur atas segala nikmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, termasuk karunia atas terselenggaranya peringatan ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ke-22.

Saya berterima kasih diberi kesempatan untuk hadir dalam forum yang luar biasa ini untuk menyampaikan sebuah orasi kebudayaan. Tentu ini sebuah penghargaan sekaligus kehormatan, karena sesungguhnya AJI tidak sembarangan dalam menentukan pilihan. Saya mengenal AJI sebagai sekumpulan jurnalis yang teguh dan setia untuk bersikap merdeka. Organisasi jurnalis yang berani terbuka ketika yang lain menutup mata, yang enggan bungkam ketika penguasa mencengkeram, dan yang berani bersuara berbeda ketika yang lain membebek saja. AJI kukuh dengan etika yang ditegakkan, di saat profesi jurnalis rentan dilecehkan. Jurnalis yang tergabung dengan AJI terkenal kritis, karyanya cukup berkualitas, dan tentu saja anti amplop. Identitas profesional yang sangat layak diberi hormat.

Acara ini sekaligus mengingatkan saya agar menyapa kembali saudara-saudari para pejuang perubahan di era menjelang dan ketika Reformasi. Semoga semangat untuk berubah menjadi lebih baik dapat berlanjut dari generasi ke generasi.

Rekan-rekan jurnalis dan penggiat media yang berbahagia,

Sudah 71 tahun Indonesia merdeka. Namun, kita baru merayakan kemerdekaan pers Indonesia dalam angka yang sebaliknya, yaitu ke-17, seiring lahirnya UU Pers No 40 Tahun 1999. Dalam hitungan umur manusia, pers kita sebaya usia ABG—Anak Baru Gede. Lazimnya ABG, ada positif dan negatifnya. ABG itu semangatnya membara tapi kadang tak tentu arah menggelora. Ingin bebas tanpa batas, padahal tatanan masyarakat sedemikian jelas. Berpikir hal-hal besar, tapi mungkin lupa hal mendasar. Mata ABG itu seperti pedang yang lebih senang ingin menebang segala penghalang ketimbang memandang peluang pada ruang yang lapang.

AJI sudah melewati masa ABG. Di usia yang ke-22, AJI tentu dituntut lebih dewasa sehingga mampu memaknai setiap kemerdekaan dengan lebih proporsional. Artinya, marilah kita menyadari bahwa kemerdekaan –atau tegasnya kebebasan— adalah hak dan metode, bukan tujuan akhir. Merdeka adalah jalan yang harus kita pilih untuk mewujudkan cita-cita bersama. Jika kita bicara kemerdekaan Indonesia, maka acuannya tentu saja konstitusi yang menyebut antara lain: melindungi segenap bangsa Indonesia; memajukan kesejahteran umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kita memperjuangkan kemerdekaan, melepas diri dari belenggu, supaya bangsa kita maju dengan berdiri di atas kaki sendiri tanpa ragu. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kemerdekaan atau kebebasan pers pun seyogianya–jika tak disebut harus—sesuai dengan cita-cita rakyat Indonesia.

Proporsional juga berarti bahwa kita harus menyadari jatidiri bangsa Indonesia. Meskipun telah mengorbankan jiwa dan raga, para pejuang kita tidak jumawa, mereka dengan rendah hati menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Bahkan konstitusi negara yang menjadi acuan bangsa menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini menandakan sejatinya bangsa Indonesia mengakui kehadiran Tuhan dalam setiap aliran darah dan tarikan nafas. Dalam tataran sosial, masyarakat Indonesia dikenal relijius. Ini karena selain nampak dari sikap seperti tadi, juga terlihat dari maraknya ritual religi pada masyarakat kita, apa pun etnis dan sukunya, dimana pun kita tinggal di wilayah Nusantara, dan apa pun agama yang dianutnya.

Keberagamaan adalah jatidiri bangsa Indonesia yang pertama. Jatidiri kedua adalah komitmen akan nilai-nilai kemanusiaan. Karakter bangsa ini adalah menjadi bagian dari kemanusiaan universal, yang menghormati hak-hak kemanusiaan secara adil dan beradab dalam upaya memanusiakan manusia. Jatidiri ketiga adalah bahwa meskipun beragam dalam banyak hal, bangsa Indonesia punya ikatan dan jalinan yang saling mempertemukan satu sama lain membentuk persatuan. Kemajemukan etnis, ras, suku, budaya, bahasa, dan agama yang dipeluk anak bangsa dijaga dan ditata dengan landasan filosofis dan kultural Bhinneka Tunggal Ika. Jatidiri yang keempat, Indonesia memiliki tradisi musyawarah penuh hikmah kebijaksanaan sebagai wujud demokrasi yang alami dan membumi. Musyawarah yang dipandu dengan kearifan adalah ajaran yang menjadi warisan leluhur dalam merawat realitas keindonesiaan kita yang begitu majemuk penuh keragaman. Keempat jatidiri inilah yang oleh para pendiri bangsa dijadikan dasar pijak untuk mencapai jatidiri kelima, yaitu tekad mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi kita semua.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Kata proporsional sengaja saya garisbawahi supaya kita sadar posisi dan paham situasi. Proporsionalitas kita perlukan untuk menjaga keseimbangan antara perilaku dengan tatanan, antara keinginan dengan kenyataan, dan antara kebebasan dengan batasan. Tokoh pers Bill Kovach dan Tom Rosensteil dalam teori Sembilan Elemen Jurnalisme menyandingkan kata “proporsional” dengan “komprehensif” agar produk jurnalistik dapat berperan tepat sebagai peta bagi masyarakat.

Pers sebagai pilar keempat demokrasi adalah navigator gerak langkah bangsa. Opini publik yang tersaji di media sangat menentukan ke mana bangsa ini mengarah. Ketika jurnalis terlalu berat sebelah terhadap ideologi tertentu dan mengamplifikasinya, maka masyarakat akan terbelah ke dalam dua potongan besar; satu bagian mengikuti tren yang dikembangkan media, satu lagi menentang arahan media lalu mengekspresikan sikapnya dengan berbagai cara. Di titik inilah konflik rentan terjadi, seperti yang kita rasakan setiap kali Pilpres dan Pilkada di mana media darling mendapatkan perlawanan keras dari kelompok lain. Yang terjadi kemudian, semakin banyak pihak terlibat konflik dan lupa pada cita-cita bersama yang disepakati dalam konstitusi.

Tentu tidak mudah menyadari di mana posisi kita. Terutama di era sekarang, era digital yang bisa bikin gatal bahkan rentan hilang akal. Kita berada di dunia yang tanpa batas karena semua orang bisa terhubung di mana saja dan kapan saja melalui peranti digital secara bebas. Dalam segi positif keterhubungan itu bisa memudahkan kesalingpahaman antarbudaya. Tetapi ketiadaan batas itu juga berisiko membuka lebar pertarungan hegemonik terkait ideologi, ekonomi, dan politik yang bisa berujung konflik.

Seperti konflik yang dipicu karena perilaku intoleransi. Kita sering gagal fokus memahami persoalan intoleransi di berbagai daerah. Intoleransi sering dikaitkan dengan unjuk kekuatan mayoritas terhadap minoritas. Padahal intoleransi hanya bisa terjadi jika kita kehilangan sikap tepa selira dan tenggang rasa – yang maknanya lebih luas dari sekadar kata simpati dan empati. Atau, menuding musabab konflik pendirian rumah ibadah adalah Peraturan Bersama Menteri sehingga memaksa Pemerintah untuk mencabut regulasi itu. Padahal PBM tentang Pendirian Rumah Ibadah adalah produk kesepakatan para perwakilan majelis-majelis agama yang kemudian dilegalkan oleh Pemerintah untuk menjadi aturan bersama guna menghindari konflik. Pada kenyataannya hampir semua kasus sengketa pendirian rumah ibadah justru disebabkan ketidakpatuhan terhadap regulasi bersama tersebut.

Walhasil, keadilan harus kita tegakkan. Adil dalam arti setiap orang dapat menikmati haknya tanpa mencederai orang lain. Setiap orang dapat merasakan hak atas ekspresi kebebasan asalkan paham batasnya. Adil dalam memberikan ruang bagi para pihak yang sedang berupaya mencari titik temu dari perbedaan.

Saudara-saudara sekalian yang berbahagia,

Organisasi jurnalis seperti AJI potensial menjadi agen perubahan yang mempertautkan segala perbedaan agar menjadi harmoni yang indah. Dengan tetap bertumpu pada profesionalitas, AJI dapat menjadi promotor kebudayaan yang dapat memajukan peradaban Indonesia lebih berkualitas. Independensi AJI dapat menjadi teladan dalam menyemai nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari mana pun, dari agama yang luhur dan juga ajaran para leluhur. Toh, diakui atau tidak, dalam kondisi tertentu jurnalis mengemban tugas suci seperti nabi. Yakni, menjadi juru penerang yang menyampaikan fakta kebenaran sekaligus juru damai yang mendorong tercapainya kedamaian.

Namun, sebelum menjadi pemandu arah bagi publik, hal terbaik adalah memulai dari diri sendiri. AJI harus lebih menampilkan diri sebagai laboratorium keberagaman. Sebuah kawah candradimuka yag membentuk jurnalis sebagai perawat indahnya keberagaman. Jurnalis yang pada dasarnya berasal dari masyarakat harus mampu merepresentasikan nilai-nilai yang baik dan mencerahkan bagi masyarakat yang beragam. Tahap berikutnya, AJI harus semakin kencang mendorong terciptanya ruang redaksi yang multikultural sebagai etalase kehidupan masyarakat yang berperadaban tinggi.

Selanjutnya, di era digital ini AJI harus berada di garda terdepan untuk menemukan model bisnis media dan pola kerja jurnalis yang tepat dalam menjaga mutu pers Indonesia. Karena tantangan bagi AJI bukan lagi semata rezim yang suka membungkam media massa, tapi juga kecerewetan dan keruwetan media sosial. Kita sadar, jurnalis dan media massa bukan lagi pilihan utama sumber informasi bagi publik. Ada media sosial yang kadang memerankan fungsi media dan netizen-netizen yang memerankan kerja jurnalis. Alhasil, tantangan jurnalis di zaman serba digital ini bukan lagi semata menjaga “marwah profesi”, tapi sudah pada tahap mempertahankan “nyawa profesi”. Satu lagi, AJI harus lebih membumi supaya dapat menancapkan pengaruhnya lebih pasti. Perlu diperluas interaksi dengan para pemangku kepentingan di berbagai institusi. Idealisme yang membumi tak hanya memerlukan kaki-kaki, tapi juga mensyaratkan strategi bersinergi dengan pemangku kepentingan seantero negeri.

Rekan-rekan jurnalis dan penggiat media yang berbahagia,

Sebelum reformasi, isu kebhinnekaan, perbedaan, keberagaman dan sejenisnya tidak menonjol karena setidaknya dua hal. Pertama, negara amat dominan menjalankan fungsi kontrolnya. Sedikit saja muncul bibit isu atau masalah keberagaman, langsung dibungkam dengan tindakan represif. Media sangat dikontrol pemerintah sehingga sulit mengembangkan wacana-wacana sosial kemasyarakatan. Kedua, sebagian besar elit pembuat opini publik masih lekat kesinambungan sejarah dengan proses berdirinya NKRI. Masih banyak pelaku sejarah yang memahami betul visi-misi para pendiri bangsa. Mereka melakukan internalisasi nilai dan distribusi makna kebhinnekaan Indonesia lewat jalur politik, pendidikan, sosial, dan media.

Begitu masa reformasi, kran terbuka amat lebar hampir tanpa saringan. Berbagai kelompok dalam masyarakat berebut pengaruh dengan menggunakan sebanyak mungkin saluran. Pada era digital, amplifikasi berjalan luar biasa. Terjadi air bah informasi di semua proses: akses, produksi, dan distribusi. Kelompok liberal, sekuler, pluralis di satu sisi dan kelompok fundamentalis, konservatif di sisi lain “bertarung” secara terbuka memperebutkan ruang di ranah online maupun offline.

Reformasi mengakibatkan terjadinya perubahan kontrol sosial. Pemerintah bukan lagi pemegang utama tuas kontrol. Dinamika politik dan sosial berubah dari dikendalikan pemerintah menjadi dikuasai kelompok masyarakat dan korporasi bisnis. Kelompok mayoritas sekuat mungkin mempertahankan dominasi dengan enggan berbagi alias menegasikan kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas berusaha mempertegas eksistensinya di ranah publik. Kemudian, korporasi bisnis menarik kedua kelompok itu ke dalam ruang kapitalisasi. Persinggungan tiga kepentingan tersebut membuka peluang terjadinya konflik.

Ini juga mengubah peta perang informasi dan opini. Tak jarang opini dimunculkan bukan untuk memperjuangkan ideologi, tapi untuk mendulang keuntungan bisnis belaka. Muncullah kecenderungan unik, yaitu sebuah web Islami yang dikelola nonmuslim dan diterbitkan oleh kelompok media yang identik dengan hiburan. Sementara ada media yang rutin menayangkan figur agamawan yang berupaya meraih simpati publik lewat format hiburan, sehingga “tuntunan jadi tontonan”, sehingga masyarakat bukan tercerahkan agamanya, tapi mengikuti tren fesyen figur tersebut. Sementara di sisi lain, aktualisasi identitas kelompok minoritas dikapitalisasi dalam bentuk sensasi ketimbang pemuliaan hak asasi.

Pada kondisi demikian, ada generasi baru yang sangat berbeda cara dan kecenderungannya dalam mengakses informasi. Di Indonesia yang masyarakatnya religius, setiap orang punya latar belakang isu agama yang sangat kuat, mulai dari lahir hingga dewasa. Persoalannya, bekal mereka terkait pemahaman agama umumnya masih minim. Sementara banyak kelompok yang menyebarkan virus tafsir keagamaan yang menurut mereka paling benar. Ada “brigade digital” yang amat militan melakukan “jihad informasi”. Sementara publik yang bergairah dengan limpahan informasi dan kemudahan teknologi tak lagi mengandalkan media mainstream. Kredibilitas sumber dan kebenaran informasi tak lagi jadi perhatian. Di mana pun ada pasokan link, gampang di-klik, maka akan diakses lalu dibagi. Ada gejala “kedermawanan” berbagi info yang tak dibarengi “kesadaran” akan kualitas konten maupun dampak penyebarannya.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Kasus Tolikara adalah ujian bagi kita semua. Bagaimana masyarakat di zaman digital ini menyikapi konflik umat beragama. Peristiwa yang mengagetkan itu dengan cepat menjadi topik utama perbincangan publik. Media mainstream dan media sosial saling bertumpang tindih menggilingnya. Banyak distorsi, kesimpangsiuran, dan bumbu-bumbu karena semua orang berkesempatan bicara.

Di tengah kesemrawutan itu, kita patut bersyukur masih diberi kewarasan dalam bersikap dan bertindak. Saya sebagai Menteri Agama langsung menginstruksikan jajaran Kementerian Agama agar cepat dan tepat melakukan tindakan yang perlu. Kabinet pun segera merumuskan penuntasan masalah. Di sini kami, pemerintah, amat terbantu dengan kedewasaan sebagian besar media berpengaruh yang mampu menerapkan konsep jurnalisme damai. Di luar itu, tentu saja ada peran penting para tokoh agama, tokoh masyarakat, tetua adat, ormas, dan warga yang cepat menemukan jalan damai. Alhasil, kita merasakan ada kesadaran kolektif untuk meredam konflik. Dan itu makin terasa ketika media tidak terpancing untuk membesarkan isu pembakaran pintu gereja di Purwokerto dan isu penutupan gereja GDI di Solo, beberapa hari setelah kasus Tolikara.

Kita ingat kasus Tanjungbalai, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Bersebab dari kesalahpahaman antarpemeluk agama berbeda, kekerasan muncul karena adanya provokasi di sosmed. Untunglah, masyarakat di luar lokasi itu tidak terpancing untuk memperbesarnya sebagai konflik agama maupun konflik rasial. Situasi berangsur kondusif itu sedikit banyak dipengaruhi peran media yang mampu melokalisir peristiwa dan memperjelas duduk masalah. Dan karenanya, saya sangat berterima kasih kepada para jurnalis semua.

Kondisi ini mencerminkan adanya kemajuan dibandingkan kasus Ambon pada 1999 silam. Konflik Ambon begitu menguras energi dan emosi, serta tak cepat mereda karena media memainkan peran buruk. Euforia kebebasan pers saat itu mengalahkan akal sehat untuk merawat persatuan-kesatuan bangsa. Paling memilukan, dan tentu juga memalukan, ada media yang mengail di air keruh. Sebuah grup media besar saat itu menerbitkan dua media berseberangan, pro Islam dan pro Kristen. Isinya mengadu domba kedua kelompok sehingga makin tinggi tensi konfliknya. Tentu kita miris, apakah tidak terpikir bahwa keuntungan finansial yang didapat tak seberapa dibandingkan kerusakan peradaban yang terjadi akibat konflik tersebut?

Secara umum, nampaknya kita memang makin dewasa. Tetapi bukan berarti masalah sudah beres. Masih banyak PR yang mesti kita benahi. Misalnya, bagaimana kemajuan teknologi informasi dapat diantisipasi oleh regulasi. Saat ini kita masih sekadar jadi konsumen teknologi informasi, belum secara masif turut aktif menata peradaban digital. UU Pers kita juga sedang menghadapi paradoks: sudah saatnya direvisi guna merespons perkembangan zaman. Tapi apakah situasi politik kondusif untuk upaya revisi tersebut?

Saudara-saudari sekalian yang saya hormati,

Kita semua berkewajiban merawat keberagaman. Bukan sekadar karena keberagaman adalah bingkai pemersatu bangsa Indonesia. Lebih dari itu, keberagaman adalah nilai kemanusian yang universal.

Pekerjaan Rumah paling berat dari upaya merawat keberagaman adalah memulai dari diri sendiri. Negara (eksekutif-legislatif-yudikatif, dan lembaga negara lain di luar tiga cabang kekuasaan) dan media harus menjadi teladan. Sebab dua komponen itu adalah agen terbesar perubahan sosial. Mampukah kita menjadi teladan?

Pertama yang harus kita lakukan adalah menumbuhkan keikhlasan untuk mewujudkan keberagaman di lingkungan sendiri. Ini bukan hal mudah. Sekedar memberi contoh, ada banyak pertentangan dan tudingan ketika saya memproklamirkan diri sebagai Menteri Semua Agama. Begitu pula ketika merapikan internal Kementerian Agama, menata pengelolaan haji, dan seterusnya yang bisa dimaknai pengebirian domain umat Islam. Saya dianggap orang Islam (plus santri, putra tokoh NU sekaligus Menteri Agama, politisi parpol Islam) yang tidak memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Sikap tulus ikhlas akan mengantar kita pada kelegaan untuk membuka ruang dialog. Dan, ternyata dialog terbukti bisa menjadi pintu masuk untuk menemukan sumber konflik, memetakan masalah sekaligus mencari solusinya. Dari situ akan muncul kesadaran untuk melihat konflik secara objektif dan komprehensif sehingga bisa menghasilkan solusi yang tepat. Pada tahap inilah media bisa membantu publik menemukan konteks sebuah konflik keberagaman dan keberagamaan lewat produk jurnalistik yang berkualitas. Dengan demikian, publik akan bersikap lebih bijak.

Sebagai obyek karya jurnalistik, konflik tentu sangat menarik. Konflik mengandung nilai berita yang menggelitik. Tapi bukan berarti konflik pantas dijadikan sebagai komoditi untuk menaikkan rating dan oplah supaya dapat keuntungan berlimpah. Profesionalisme jurnalis di tengah konflik teruji ketika mampu mendudukkan teks pada konteks. Dalam arti, memaparkan akar masalah, memberikan “warning” agar konflik tak meluas, mendorong solusi penyelesaian konflik, serta menggugah pihak berwenang agar bertindak tepat dan bijak.

Saya rasa teman-teman media lebih fasih soal teori atau konsep dasar jurnalisme sadar konflik, jurnalisme sadar keberagaman, jurnalisme damai, dan sejenisnya. Persoalannya, bisakah jurnalis dan redaksi konsisten menerapkan konsep tersebut? Terlebih jika dihadapkan kendala operasional, situasi lapangan, juga kepentingan bisnis pemodal/pemilik media. Lebih repot lagi, di negeri ini, saat ini, pengusaha media umumnya merangkap politisi, yang boleh jadi punya pandangan tentang keberagaman yang berbeda dengan redaksi.

Bicara praktik jurnalistik, hal yang tak kalah pentingnya adalah kita tak boleh abai terhadap keluhan kelompok yang dirugikan oleh pemberitaan seputar keberagaman. Misalnya, seringkali media terlalu bersemangat menyuarakan kelompok marjinal (voice of voiceless) atau menggaungkan teriakan (menjadi amplifier) kelompok minoritas, tapi tidak menenggang rasa kelompok mayoritas. Keluhan lain, terkesan ada ketidakadilan dalam meliput konflik. Bila korbannya kelompok X, media cenderung adem ayem. Tapi bila korbannya kelompok Y, pemberitaannya amat santer. Di sini diperlukan kearifan untuk bersikap adil dan menjaga harmonisasi.

Namun, sebelum lebih jauh bicara pada praktik jurnalistik, mungkin para praktisi media perlu berefleksi berkaca diri. Sudahkah merawat keberagaman di ruang redaksi (newsroom) atau kantornya sendiri? Media massa dituntut untuk tidak hanya memahami pentingnya jurnalisme damai dan menghormati keberagaman dalam peliputan, tapi juga menerapkan prinsip keberagaman dalam rekrutmen redaksinya. Apakah saat ini kelompok minoritas sudah terakomodasi di tim redaksi?

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Di alam demokrasi, pemerintah tentu tidak bisa mengontrol media. Hal paling memungkinkan, pemerintah memberi akses dan respons yang cukup bagi media untuk menjalankan perannya bagi publik. Pemerintah tentu tak boleh alergi terhadap kritik media. Kemudian, pemerintah menyediakan sarana pendidikan agar terjadi regenerasi yang lebih baik pada SDM industri media.

Untuk mengatasi konflik terkait keberagaman dalam konteks agama, Kementerian Agama sedang menggodok RUU Perlindungan Umat Beragama. Dalam proses yang belum final saat ini, tentu dibutuhkan masukan yang konstruktif dari media untuk menyempurnakan RUU tersebut. Sebab, sebagian kontennya tentu akan berkaitan dengan media. Misalnya, tentang penistaan agama di ranah publik, ujaran kebencian dalam dakwah, dan seterusnya. Lewat diskusi seperti ini kita bisa saling menyamakan persepsi dan membuka pandangan lebih luas demi terciptanya masyarakat yang lebih beradab.

Saudara-saudari yang saya hormati,

Pada akhirnya, saya mohon maaf bila terlalu banyak berharap kepada AJI. Inilah wujud rasa percaya dan cinta. Saya pun mohon maaf bila ada pokok pikiran yang berbeda dengan kerangka berpikir AJI. Saya yakin AJI punya kearifan untuk menerima perbedaan sebagaimana keberaniannya untuk menyuarakan sesuatu yang berbeda seperti yang ditunjukkannya selama ini.

Marilah sama-sama melapangkan dada untuk saling mengerti dan memahami.

Marilah sama-sama mengulurkan tangan untuk saling mengisi dan melengkapi.

Sebab dari situlah bersemai bibit-bibit toleransi.

Selamat ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen yang ke-22. Semoga tetap merdeka dan makin berjaya!

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 26 Agustus 2016

Lukman Hakim Saifuddin

Menteri Agama RI