Oleh Juwendra Asdiansyah
SEBUAH pesan masuk lepas zuhur yang mendung siang tadi. Pengirimnya, Ichwan Adji Wibowo. Seorang teman baik, sudah seperti saudara.
“Siang Sahabat…. Di wilayah saya, ada satu komplek RT, yang warganya tinggal di rumah2 geribik atau papan. Mereka mengontrak tanah tempat bermukim. Mayoritas profesi mereka adalah pemulung. Jumlah mereka sekitar 30-40 KK.
Sekadar tahaddus binnikmah, saya mengajak sahabat semua…Ayo hari ini bikin kejutan kecil untuk mereka. Saya berencana membagikan telur, per rumah 1 kg saja…
Siapa yang mau bergabung…Monggo daftar, mau nyumbang berapa kilogram? Per kg dikonversi menjadi Rp 20.000. Tabik.”
*
Adji, adalah pejabat pemerintah. Dia Camat Telukbetung Selatan, Kota Bandarlampung. Dia orang baik. Pejabat yang baik.
Baru hitungan bulan menjadi camat, tapi warganya merasa seperti sudah berbilang tahun dipimpinnya.
Adji bukan tipe pejabat di balik meja. Nyaris setiap hari ia ke lapangan, melebur dengan masyarakat.
Kantornya di gang-gang sempit, kampung yang kebanjiran, rumah warga yang tengah berduka, bantaran sungai yang disesaki sampah, juga pasar yang becek dan amis.
Bekerja sejak pagi, seringkali hingga larut malam, Adji tak mengenal hari libur. Baginya, semua hari adalah kerja dan kerja.
Masa pandemi ini, aktivitasnya semakin ekstra. Sibuknya berlipat-lipat. Mengurus keluarga pasien yang positif Covid-19, mengedukasi warga untuk mematuhi protokol kesehatan, mendata calon penerima bantuan, mengoordinasikan jajarannya, hingga menyalurkan berbagai bantuan kepada yang berhak.
Tapi, demikian deras bantuan, tak lantas semua orang bisa mencecapnya. Ada saja satu-dua yang luput.
Yang beroleh bantuan pun tak serta merta terang benderang kehidupannya. Sejumlah uang, beras, dan logistik lainnya sekadar penyambung napas. Tak membuat penerimanya berkelebihan.
Pada titik ini lah Adji kembali mengambil inisiatif. Ia memikirkan sebentuk “tambahan” untuk masyarakat di lapisan terbawah—pemulung, buruh lepas, pekerja kasar, dan janda-janda tua tanpa penghasilan tetap yang banyak terserak di wilayahnya.
Siang tadi lewat pesan WhatsApp, Adji mengajak beberapa koleganya untuk berderma, memberikan “kejutan kecil” bagi para duafa.
Kejutan itu berupa telur. Satu kilogram telur dibanderol Rp20 ribu. Boleh donasi berapa saja. Semampunya. Seikhlasnya.
Saya membantu meneruskan pesan tersebut ke beberapa grup. Orang-orang baik kemudian tergerak. Dalam hitungan jam donasi terhimpun. Ada yang menyumbang tiga kilo, lima, hingga sepuluh kilo.
Lepas ashar Adji dan dua stafnya bergerak. Menenteng kantong-kantong plastik berisi telur, Pak Camat keluar masuk gang becek, mengetuk pintu-pintu di Kelurahan Sumur Putri, belakang Rumah Sakit Dadi Tjokrodipo.
Menjelang senja 46 bungkus telur tandas dibagi. Masih ada puluhan lagi yang akan disalurkan besok.
Adji mengirim belasan foto sebagai pertanggungjawaban kepada para dermawan. Cukup foto-foto itu yang berkisah, tentang wajah-wajah bersahaja yang berbinar menerima “kejutan kecil” jelang berbuka puasa.
*
Sekilo telur seharga Rp20 ribu mungkin tak seberapa bagi yang berpunya. Tapi, beda halnya bagi si miskin yang menerimanya.
Mari lihat ilustrasinya.
Satu kilo telur berisi 16-17 butir. Satu butir jika dibuat telur dadar, bisa untuk dua orang sekali makan.
Jika satu keluarga terdiri dari, katakanlah, empat orang, maka sekali makan perlu dua butir telur. Karena selama bulan puasa ini setiap keluarga muslim dua kali makan (buka dan sahur), maka dalam sehari habis empat butir telur.
Artinya…
Sekilo telur bisa untuk makan empat hari satu keluarga. Iya, empat hari. Lihatlah, betapa sekilo telur seharga Rp20 ribu mampu menjadi penyambung hidup sebuah keluarga.
Sungguh berarti. Sungguh besar nilai sekilo telur.
Saya tiba-tiba teringat anggaran pakaian dinas anggota DPRD senilai Rp 2 miliar yang heboh sepekan lalu. Uang sebanyak itu setara dengan 100 ton telur!
Kalaulah dibelikan telur, anggaran itu bisa untuk makan empat hari 100 ribu keluarga atau sekira setengah juta orang. Itu hampir setengah jumlah warga Kota Bandar Lampung!
*
Kumandang azan magrib baru saja usai ketika sebuah pesan masuk. Dari Adji.
“Tadi ibu-ibu..pada setengah menjerit…’makasih Pak Camat….’ Saya jawab… bukan dari saya. Ini titipan teman-teman saya..
Eeh…ada yang jawab, siapa pun teman Pak Camat, makasih ya Pak… Pak Camat orang baik, pasti temennya juga orang baik….Saya jawab saja…Aamiin…”
Aaah…senangnya dalam hati. Berbuka puasa petang tadi terasa lebih nikmat.
Sambil menggigit piscok kreasi dua bujang, saya balas pesan Adji.
“Tidak ada kebaikan yang kecil. Kebaikan tetap kebaikan, apa pun bentuk dan ukurannya.
Berkah berkah berkah. Insya Allah pada bulan mulia ini, segala kebaikan berlipat ganda pahalanya.” (*)