Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
Pada masa lalu diksi yang dijadikan judul tulisan ini, yang sangat terkenal adalah Pak Mantri, karena orang awam mengggunakan istilah Pak Mantri adalah kata ganti kehormatan, untuk semua profesi yang menurut norma saat itu masuk kelompok priyayi. Oleh sebab itu, Pak Mantri bisa melekat pada Mantri Guru, untuk Kepala Sekolah atau Pengawas Sekolah, Pak Mantri Polisi untuk petugas Polisi Desa, Pak Mantri Suntik untuk petugas kesehatan yang sering menyuntik orang sakit, Pak Mantri Supit untuk mereka yang memiliki keahlian mengkhitan. Masih banyak lagi istilah ini dipakai sebagai penghormatan untuk para Priyayi saat itu.
Sebelum lebih jauh kita membahas, sebaiknya kita beri batasan dahulu konsep priyayi dalam tulisan ini; Kamus Besar Bahasa Indonesia, mentakrifkan priyayi sebagai orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat, misalnya golongan pegawai negeri.
Istilah priyayi pernah dipakai oleh Clifford Geertz pada saat melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri, dan abangan.
Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama, abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Namun, penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi dan bukan priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri-abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang nonmuslim.
Oleh karena itu, tulisan ini lebih mengacu kepada konsep istilah yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dengan kata kunci lapisan masyarakat yang terhormat dan pada umumnya pegawai negeri; itupun dibatasi pada dekade 60 an. Karena istilah Mantri saat itu masih sangat popular digunakan sebagai kata penghormatan kepada seseorang yang memiliki jabatan tertentu pada pemerintahan dan sekaligus menjadi tokoh informal dalam masyarakat.
Pada lintasan sejarah kehidupan penulis pada sekitar tahun 60 an ada dua Mantri yang sangat terkenal di daerah penulis waktu itu, yaitu Pak Mantri Sunandar sebagai petugas kesehatan yang selalu membawa jarum suntik di dalam Tas Sepeda ontelnya. Tas kulit berwarna kecoeklatan itu ada di stang sepeda ontel milik Pak Mantri. Beliau sangat ramah dan disukai masyarakat karena bisa membuat anak yang takut jarum suntik menjadi tidak menangis saat di suntik. Beliau sangat jarang menerima pemberian berupa uang, akan tetapi lebih banyak natura, seperti pisang, ketela, singkong dan terkadang ayam kampung.
Pada sisi kehidupan lain, ada Pak Mantri Polisi bernama Bapak Raden Brotoseno. Pangkatnya Inpektur Polisi saat itu. Ia disegani oleh para maling , perampok, begal dan kecu karena ketegasannya dan kewibawaannya dalam melindungi masyarakat. Sebagai seorang Mantri Polisi, beliau jika berkeliling desa memakai pakaian lengkap polisi dengan pistol yang dibungkus sarung kulit warna kecokelatan, diselempangkan di bawah ketiaknya. Kendaraan yang digunakan sepeda ontel yang selalu bersih bermerek Fongres sebagai kendaraan inventaris kepolisian pada masanya.
Kedua sosok ini sudah lama tiada, bersama juga surutnya istilah mantri untuk keduanya. Yang menarik, sampai beliau mangkat tak satu pun bau korupsi atau apa pun sejenisnya yang melekat pada perilaku luhurnya, serta kehidupan sederhana yang terus diwariskan kepada keturunannya. Yang tinggal sekarang menteri, dengan kekuasaan lebih luas, lebih banyak dan persoalan yang dihadapi konon lebih beragam. Namun sayang, tugas mulia itu sering dikotori dengan syahwat duniawi, sehingga sampai Tower BTS pun diembat, minyak goreng diminum, kartu tanda penduduk di sikat sampai triliunan. Entah apa lagi semua ingin dimiliki, dikejar setengah mati, walau tidak dibawa mati.
Pak Mantri dan Pak Menteri memang beda levelnya, tetapi esensi maqomnya sebenarnya sama. Masih banyak menteri yang bagus, namun sayang jumlah yang tak terbilang bisa rusak oleh sedikit orang. Orang tua bilang “nila setitik merusak susu sebelanga”, akibatnya ada semacam kepenurunan marwah dari jabatan menteri yang sesungguhnya, menjadi jabatan yang tidak beda dengan jabatan rucah (sembarangan saja, bukan pilihan). Bisa dibayangkan satu periodesasi kepemimpinan kabinet, berapa banyak menteri yang tersandung kasus korupsi. Terlepas uangnya itu untuk kepentingan apa dan oleh siapa, atas perintah atau inisiatif sendiri, semua bukan menjadi faktor pendorong apalagi penentu.
Semoga para menteri yang akan datang dapat meneladani perilaku mantri zaman dahulu, yang selalu mengedepankan ahlakul kharimah serta menjadi suri teladan sekelilingnya; menjadi obor bagi yang kegelapan, menjadi tongkat pagi yang ada di jalan licin.
Selamat ngopi pagi.