JUJUR SAJA, saya tidak mau ikut-ikutan rebut soal pembubaran ormas yang konon anti-Pancasila. Saya juga tidak mau peduli tentang siapa sebenarnya pencetus Pancasilaitu, Muhammad Yamin dan Soepomo, atau Soekarno. Bagi saya itu tidak terlalupenting. Bung Karno sendiri mengakui bahwa dirinya bukan pencipta Pancasila.
Nilai-nilai yang terkandung itu sudah ada dalam dir ibangsa Indonesia sejak lama. Soekarno mengatakan hanya sekadar ‘penggali’ nilai-nilai itu. Tapi Bung Karno sendiri mungkin tidak menyadari bahwa nilai itu terlalu indah untuk dibayangkan, sekaligus sulit dijalankan. Yang
saya pahami sejak masih sekolah rakyat (SR) dulu sampai hari ini, Pancasila adalah dasar negara, titik sentral budi pekerti luhur, seperti yang sekarang tertuang di dalam 45 butiritu, terlepas dari kenyataan pengamalannya apakah sudah sesuai atau belum. Sejak kecil saya sudah berlatih menghafal Pancasila, termasuk hafal butir-butirnya. Masalahnya, kalau nggak hafal resikon yanggak lulus ujian SR atau SMP.
Menginjak dewasa, bersama para pemuda yang lain saya sering menjadi utusan organisasi kemasyarakatan pemuda untuk mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Orde Baru waktu itu. Dari seringnya ikut penataran saya menjadi sedikit sadar bahwa Pak Soekarno sang pencetus Pancasila dan juga Pak Soeharto sebagai penerusnya tidak pernah benar-benar menjalankan ide itu dalam alam nyata.
Pancasila dibiarkan terus menjadi dogma-dogma. Timbul pertanyaan: sebenarnya tindak laku atau cara hidup bagaimana yang seharusnya kita lakukan sebagai warga negara Indonesia yang ber[Panca? Budi pekert iluhur yang seperti apa, atau apa yang harus kita kerjakan agar Pancasila tidak sekadar dogma bagi bangsa ini?
Di masa Orde Baru yang integralistik, Pancasila menjadi dogma yang bias menangkap, memasung bahkan membunuhatas nama Pembangunan Nasional. Pancasila juga mencabut hak hak perdata dan sipil seseorang. Ias ekaligus menentukan hajat hidup orang banyak. Sekian lama rezim Orde Baru menjadikannya symbol dan dogma. Pancasila selalu dihormati dalam acara seremonial yang berjudul Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, sebagai symbol kegagalan PKI.
Pancasila juga sering menjadi stempel pembungkaman hak asasi manusia jaman Orde Baru sampai sekarang ketika Pancasilahanya ‘termenung’ melihat ak si kekerasan yang diperlihatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Padahal, Soekarno sendiri menyebut inti dari Pancasila adalah gotongroyong. Coba cermati cuplikan pidato Soekarno berikut ini:
“Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia,
tetapi Indonesia buat Indonesia, – semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negaragotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong! “
Gotong royong dalam hal apa, main gebuk, main jegal, main gusur? Sedih menyaksikan tayangan dan berita di televisi yang setiap hari hanya mempertontonkan aksi kekerasan. Banyak masyarakat kita yang sudah meninggalkan Pancasila. Gotong royong sudah disalahgunakan untuk menyerang orang-orang tidak berdosa. Ternyata Pancasila tidaksakti, tapi sakit. Maka tidak salah jika ada yang membuat plesetan Pancasila dengan PancaAsusila, pasalnya banyak tokoh dan pejabat di negeri ini yang dengan terang-terangan melakukan tindakan susila.
Memang susah menjadi warganegara Republik ini, dasar negara yang yang sudaha ada dilupakan, bahkan nyaris dibuang ; sementara sistem yang baru belum jadi. Akibat reformasi yang premature dan demokrasi yang kebablasan. Sejak memasuki alam reformasi, untuk hidup berdampingan dengan rukun saja sudah sulit. Cita-cita luhur para pendahulu kita nampaknya nyaris kandas di era sekarang ini. Atau barangkali Pancasila terlalu hebat dan teramat besar untuk ukuran ke-Indonesia-an kita hari ini. Lima Sila itu terlalu hebat untuk dijadikan dasar bagi semua keanekaragaman di Indonesia. Atau orang Indonesia yang terlalu kerdil dalam menatap Pancasila dengan ide-idenya yang luar biasa itu.
Jika hari ini kehidupan masyarakat kita amburadul,s aling sikut dan saling jegal satu sama lain, itu bukansalah Pancasila. Sekali lagi, bukansalah Pancasila, tapi moral kita yang memang perlu untuk dilakukan perbaikan. Maka, ketika Pemerintah berencana untukmembubarkan ormas yang anti Pancasila, jika memang itu terbukti, tentu masyarakat akan banyak yang setuju. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia harus tetap sakti dari rongrongan siapa pun dan pihakmana pun.
.
*Pegiat Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan (PUSKAP) Provinsi Lampung