Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Beberapa hari lagi kita akan memperingati hari lahirnya Pancasila yang ditetapkan sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Pada era menjelang tahun 2000,peringatan ini terasa hikmat karena sebelum tahun 1998 perayaannya akan kalah seru dengan Hari Kesaktian Pancasila. Terlepas dari latar belakang politik, kita tidak bicarakan itu dalam tulisan ini. Namun ada satu perhatian yang akan menjadi penekanan yaitu bagaimana sikap dan cara pandang generasi yang lahir tahun 2000 ke atas terhadap Pancasila. Tentu pandangan dan deskripsi ini masih sangat dangkal dan perlu kajian mendalam, karena dasarnya hanya penelitian mini dengan populasi yang terbatas.
Temuan yang menonjol adalah mereka yang lahir tahun 2000-an memandang Pancasila hanya sebagai mata pelajaran wajib di tepatnya belajar. Oleh karena itu, tidak aneh jika akhir-akhir ini muncul perilaku-perilaku yang “nyleneh” di tengah masyarakat. Dengan mengatasnamakan demokrasi dan kebebasan berpendapat, orang bisa seenaknya saja berucap, berkata, dan atau apapun namanya. Tidak perduli apakah itu akan mengganggu kemerdekaan atau hak orang lain. Kondisi ini seperti mendapat lahan subur dengan adanya media sosial yang bisa digunakan dengan cara apa pun dan untuk kepentingan apapun sebagai media berucap. Sehingga, tidak aneh jika ada anak yang masih bau kencur, mengatasnamakan hal di atas lalu berucap menghujat negaranya sendiri.
Bisa diyakini mereka ini tidak akan paham apalagi mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Pemimpinnya pun memosisikan Pancasila hanya sebagai tameng menghalalkan apa yang diperbuat, sekalipun itu perbuatan yang merugikan yang dipimpinnya. Atas nama kesantunan dan atau sekaligus berlindung di balik itu semua, melakukan perbuatan menggerogoti negaranya dengan wajah tanpa dosa dan senyum manis karena triliunan yang ditelan. Semua baru sadar setelah yang bersangkutan tersendak lehernya oleh KPK atau Kejaksaan Tinggi.
Berarti pada tataran implementasi ada yang hilang di tengah jalan. Jika kita mau jujur melihat bagaimana internasiliasi nilai Pancasila saat ini sudah sampai pada kondisi yang menghawatirka. Tentu dua puluh lima tahun yang akan datang jika kita tidak mengambil langkah nyata pada saat ini, tidak akan menjamin apakah bangsa ini masih utuh ke depan manakala meninggalkan nilai-nilai luhur yang selama ini diyakini oleh bangsanya sebagai pengikatnya.
Sementara itu mereka yang ada pada posisi pemimpin saat ini banyak diantaranya mengalami “gegar budaya”, terutama mereka yang berusia di atas enam puluhan dan sedang memangku jabatan. Mereka mengalami semacam “kehilangan kebermaknaan” akan nilai kehidupan, tatakrama, sopan santun; yang selama ini menjadi patron kehidupan. Ketidakmampuan beradaptasi mengakibatkan mereka “gagal paham” terhadap peristiwa social atau iklim social baru yang sedang merebak. Tidak jarang diantara kita menjadi seolah oleng dalam menghadapi gelombang perubahan.
Perubahan-perubahan yang sedang terjadi saat ini di antaranya adalah: Pertama, kebaikan yang semula menjadi tujuan. Sama halnya juga dengan kebenaran yang semula menjadi tolok uku. Saat sekarang sudah berubah keduanya hanya sekadar pilihan. Bisa jadi tidak baik dan tidak benar itu dipilih hanya karena satu alasan yaitu “kesenangan atau kesukaan”. Dengan kata lain, alasan personal menjadi begitu menonjol; terlepas apakah itu sejalan tau tidak dengan tata aturan komunal. Bias ini begitu terasa manakala itu menyangkut kesenangan atau kesukaan pribadi. Hal serupa ini dapat kita perhatikan di sekeliling kita, banyak mereka menggunakan alat pendengar personal, tertawa sendiri atau menangis sendiri; ditengah keramaan, tanpa menghiraukan norma tatakrama yang selama ini hidup ditengah masyarakat.
Kedua, norma dalam keluarga yang selama ini ada, termasuk etika kesopanan, menjadi tercerabut dari akarnya. Bisa jadi konflik generasi di sini akan muncul karena perbedaan norma yang diyakini antara generasi sebelumnya dengan generasi penerus. Mereka menjadi terbiasa ada pada satu tempat yang sama tetapi pada dunia yang berbeda, karena masing-masing memegang alat komunikasi yang menghubungkan mereka dengan orang lain ditempat yang berbeda. Era diskrupsi seperti ini sangat terasa pada keluarga, sehingga keluarga yang semula adalah lembaga pembentuk nilai dan norma; menjadi berubah karena nilai dan normanya sudah lebih dahulu berubah, tanpa kehadiran keluarga.
Ketiga, tumpulnya nurani seiring dengan pergeseran makna kemanusiaan yang selama ini kita yakini bersama. Banyak contoh pergeseran ditengah masyarakat sekarang sedang terjadi, diantaranya sikap hidup hedonis, melakukan penganiayaan yang dengan bangga direkam untuk dipertontonkan, dan masih banyak lagi jika kita telisik dalam kehidupan sehari hari. Semua ini terjadi tidak begitu saja, akan tetapi ada proses berjalan kearah sana yang selama ini luput dari perhatian kita bersama. Bisa jadi dari sistem pendidikan yang kita anut berubah dari tata nilai kolektif sudah bergeser ke aspek yang bias. Tentu ini memerlukan evaluasi bersama, untuk melakukan perbaikan bersama dengan cara tidak mencari kambing hitam siapa yang salah, sebelum semuanya terlambat.
Kajian akademik tentang Pancasila untuk menyelamatkan generasi dengan menemukan metodologi internalisasi nilai kepada generasi milenial, tampaknya sesuatu yang sangat mendesak dan prioritas. Sebab, semakin hari tampaknya semakin deras gempuran ideologi transnasional dari berbagai negara, telah masuk ke Indonesia. Jika ideologi itu sejalan atau sama dan sebangun dengan nilai Lancasila tentu tidak menjadi persoalan; namun jika ideologi itu justru mengancam kepada keberlangsungan ideologi Pancasila terutama dalam bernegara; tentu ini merupakan penanda akan adanya bencana sosial pada generasi masa depan.