Pandemi Covid-19: Naik, Lulus, dan Petaka

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Pengumuman dari Pemerintah Kota Bandarlampung menyatakan bahwa kegiatan belajar terbatas dibatalkan karena berjangkitnya kembali Covid-19 dengan varian barunya. Hal itu tentunya sangat memukul dunia pendidikan kita. Bahkan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dengan tegas menyatakan membatalkan seluruh PTM yang sudah direncanakan demi penyelamatan anak bangsa.

Tindakan cepat dan tegas ini tentunya perlu mendapatkan apresiasi dari semua pihak, karena penyelamatan manusia lebih didahulukan dari semua apapun pilihannya. Memang ini pilihan pahit antara memikirkan masa depan bangsa ini dengan menyelamatkan anak manusia saat ini. Persoalannya adalah bagaimana caranya dalam penyelamatan itu meminimalkan korban, agar tidak timbul korban baru. Dengan kata lain: jangan sampai demi penyelamatan, tetapi menenggelamkan orang lain.

Ini ada pada ranah etika, yang pada akhir akhir ini sering diabaikan oleh siapapun di negeri ini, tidak peduli apakah dia pejabat, atau orang rakyat, bergelar atau bertagar; tampaknya mereka sudah abai dengan memanusiakan manusia, sehingga melanggar perikemanusiaan yang menjadi salah satu dasar filsafat hidup berbangsa dan bernegara.

Bagaimana lukanya hati guru, jika pejabat sekelas pimpinan daerah mengatakan di muka publik: ”Semua anak harus naik, dan semua anak harus lulus!” (?) Jelas tampak kesantunan beretika pejabat seperti ini perlu dipertanyakan. Seharusnya mencari diksi lain sehingga guru yang sudah bersusah payah menjaga marwah pendidikan, tidak harus terluka hatinya. Bahasa bahasa santun dan beretika sudah seharusnya dikedepankan, karena pejabat, apalagi itu pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, termasuk guru, pada waktu pemilihan dulu dimohon dan diminta suaranya. Janganlah sampai “habis manis sepah dibuang”. Janganlah pula waktu tanding guru disanding, begitu menang guru ditendang.

Jika kita mau jujur melihat persoalan wabah saat ini, pertama yang sakit adalah korban yang terkena wabah, kedua yang sakit adalah para guru. Karena guru sangat merasakan bagaimana akibat terlalu lama peserta didik tidak mengikuti proses pembelajaran. Mereka mereka adalah orang orang sakit dalam kewarasan. Oleh karena itu, janganlah lagi ditambah sayatan baru untuk hati mereka yang sudah pedih, karena melihat generasi masa depan yang makin tak pasti kualitasnya.

Seharusnya langkah yang diambil adalah memanggil semua pemangkukepentingan untuk membicarakan persoalan, termasuk organisasi profesi guru yang ada, Dewan Pendidikan, dan unsur terkait lainnya, untuk merumuskan kebijakkan yang santun dan tidak melukai. Kebijakan kebijakan strategis harus diambil dengan optional yang tidak tunggal; sehingga dapat digunakan dengan cepat manakala keadaan mendesak atau darurat.

Pemimpin sering lupa bahwa dirinya itu pimpinan yang punya aturan dan beretika dalam semua aspek kehidupannya saat berperan sebagai pemimpin. Keberterusterangan boleh, keterbukaan harus; hanya terusterang yang bagaimana yang layak, dan keterbukaan seperti apa yang seharusnya. Ini ada pada ranah kesopansantunan atau sekarang lebih dikenal dengan kepatutan, itu yang menjadi rambu rambu sebagai pemimpin.

Cara yang paling etis adalah memerintahkan pada pemangku kepentingan untuk merumuskan suatu langkah kebijakan agar tidak ada yang dirugikan, baik guru apalagi siswa. Bisa saja dalam bentuk perumusan menurunkan standard kenaikan atau kelulusan, memfasilitasi remedial bagi siswa, melakukan pembimbingan tersetrutur, dan masih banyak lagi, yang muara akhirnya membantu siswa yang mengalami hambatan belajar, dengan tidak mengorbankan mutu dan proses. Hal seperti ini jauh lebih berwibawa sehingga marwah pendidikan akan terjaga sekalipun pada masa pandemi. Pimpinan pun akan semakin dihormati karena mampu menerjemahkan kebijakkan pemerintah pusat menjadi membumi.

Guru bisa saja diminta meredefinisi kembali kegiatan belajar pada rencana pembelajarannya dengan mengekuivalenkan kegiatan setara dengan proses pembelajaran kelas, jika itu dimungkinkan, dengan tidak harus memaksakan kehendak apalagi mengharuskan. Janganlah kebijakan pendidikan dalam hal ini guru membuat orang tua sudah jatuh tertimpa tangga.

Demikian juga untuk organisasi profesi bidang pendidikan, diharapkan mampu memberikan masukan konstruktif kepada pihak penyelenggara pendidikan, termasuk pimpinan satuan pendidikan; supaya mereka tidak terjebak pada ranah praksis belaka, tanpa disertai kajian akademik. Untuk wilayah kajian akademik inilah menjadi tugas organisasi profesi dalam mengawal semua keputusan pimpinan penyelenggara pendidikan dan atau pimpinan daerah. Organisasi bukan sekadar wasit, akan tetapi juga sebagai pemain yang dapat memberikan umpan agar tujuan pendidikan tercapai dengan mengurangi korban sampingan dari suatu kebijakkan.

Pada akhirnya “naik,lulus” bukan lagi petaka bagi guru; tetapi menjadi berkah pada dunia pendidikan, kalau ini disampaikan dengan mengedepankan adab dan kesantunan, serta tetap melalui proses yang standarisasinya disesuaikan dengan situasi saat ini. Pimpinan daerah tidak perlu mengambil keuntungan politik dari situasi pandemi , tetapi justru menaikkan posisi diri karena kebijakan yang diambil tidak ada yang dilukai.

Kebijaksanaan yang bijak manakala memanusiakan manusia sebagaimana adanya, bukan justru menginjak-injak harkat dan martabat manusia lain. Mengambil sesuatu yang tinggi tidak harus dengan menginjak tengkuk orang lain.

Selamat ngopi pagi…