Pandemi Perang

Alois Wisnuhardana (dok pribadi/Istimewa)
Alois Wisnuhardana (Foto: Istimewa/dok pribadi)
Bagikan/Suka/Tweet:

Alois Wisnuhardana

Pandemi kali ini adalah suatu medan perang yang aneh. Seluruh dunia tahu musuhnya siapa. Setiap orang, setiap bangsa, berusaha mengalahkannya.
Anehnya, meski musuhnya sudah diketahui bersama, setiap bangsa seperti juga “saling berperang” untuk menjadi terdahulu menyatakan diri pemenang.

Ini sebuah perang yang aneh, karena setiap orang, setiap bangsa, seperti berperang melawan bayang-bayang. Musuh tidak kelihatan. Tidak bisa diendus, tidak bisa dilihat. Tiba-tiba ia datang menyergap, dan siapa saja yang diserang segera tumbang.

Banyak jiwa melayang. Tapi tidak sedikit yang melawan balik –malah lebih banyak yang kemudian menang. Tertolong, ditolong, oleh kekuatan di dalam dirinya. Prajurit-prajurit di dalam tubuhnya melawan musuh yang datang, dan dalam selintasan waktu, musuh lintang pukang. Maka tak heran, banyak orang tak sadar bahwa musuh sudah datang dan menyerang, dan mereka yang seperti ini tetap tenang-tenang.

Manusia mencari cara melawan musuh sebisa-bisanya. Satu musuh ditawan, dilemahkan, dilumpuhkan, lalu diinjeksikan ke dalam tubuh supaya membangkitkan perlawanan dari pasukan-pasukan di dalam tubuh. Itulah satu-satunya cara yang hingga hari ini dikenal dan diketahui orang untuk melumpuhkan musuh tak kelihatan itu.

Dengan disuntikkan ke dalam tubuh, manusia dibekali sel pengingat atau sel memori, yang akan memberi mereka “kode keras” jika ada musuh serupa yang datang menyerang. Kode keras ini membangunkan pasukan-pasukan untuk bertarung melawan virus yang datang lebih kuat, lebih ganas, lebih kejam, daripada yang dulu pernah disuntikkan dalam keadaan lemah atau lumpuh.

Begitulah yang hari ini sedang dilakukan bangsa-bangsa, demi menyelamatkan nyawa anggota-anggotanya. Rakyatnya. Demi membalikkan lagi keadaan seperti sedia kala. Demi menuju masa damai yang terbebas dari suasana perang.

Alam berpikir kita selama ini mengasosiasikan perang dengan desingan peluru dan bunyi mesiu. Senapan serbu atau tank-tank pemburu. Namun perang kali ini adalah perang yang senyap. Senjata manusia hanyalah suntikan jarum, masker penutup mulut dan hidung, serta cairan pencuci tangan yang bisa menghalau musuh.
Tiap manusia, tiap bangsa, berusaha menyelamatkan diri sebaik-baiknya. Perang sudah terlalu lama, dan meluluhlantakkan setiap kenormalan berpikir dan bekerja.

Dulunya, orang bekerja kalau tidak masuk diancam sanksi. Sekarang, kalau masuk justru bisa dikenai sanksi. Dulu, perang adalah memanggul senjata. Sekarang, cukup klesetan di rumah saja. Dulu, setiap mendengar hal positif, kita bersorak bergembira. Kini, sebaliknya. Dulu, semboyannya “Merdeka ataoe Mati”, sekarang, “Maskeran atau Mati”.

Perang kita sepertinya sedang memasuki detik-detik di simpang jalan. Tanda-tanda kemenangan sudah terlihat. Penangkal sudah didapat, meskipun belum tentu seratus persen tepat.

Tanda-tanda kemenangan juga dapat dibaca, ketika manusia yang bisa menang melawan musuh jauh lebih banyak ketimbang yang tumbang. Mereka yang sedang terserang atau merasa diserang, sudah membuat tanggul pertahanan kokoh karena banyak cara dan jurus beredar di mana-mana. Dengan obat ini, dengan minum itu, dengan apa saja yang dirasa masuk akal.

Tanda-tanda musuh datang sudah banyak diketahui. Nafasmu tersengal, atau batuk batuk, atau hilang rasa dan bau, atau meninggi suhu tubuhmu. Yang paling khas, adalah hilangnya rasa dan bau di mulut dan hidungmu.

Tapi rupanya musuh belakangan menggila. Ia makin luas menyerang. Tiap-tiap orang, tak lagi tahu dari mana atau lewat siapa musuh itu menyerang dirinya. Sudah terlalu kacau balau situasinya. Yang bisa dia lakukan hanyalah melawan sebisa-bisanya. Sekuat-kuatnya. Sembari menunggu perang mereda.

Akan tetapi, ketika perang sudah mereda nantinya, medan perang selanjutnya telah menanti. Hidup seperti apa yang harus kita jalani ketika masa damai telah tiba? Akankah tetap sama atau sudah berbeda sama sekali? Bagaimana kita harus beradaptasi?

Bagaimana kita menyesuaikan diri?

Karena begitu musuh tak kelihatan telah teratasi, musuh berikutnya adalah di antara sesama manusia sendiri. Di antara sesama bangsa-bangsa. Kerusakan yang ditimbulkan oleh perang melawan bayang-bayang, sudah terlalu dalam merusak tatanan lama. Setiap bangsa, ingin menjadi pemenang.

Beruntung, manusia memiliki suatu kodrat untuk mencari dan menjadi teman bagi yang lain.

Perkara peliknya, tentu bagaimana membangun kesadaran yang lebih luas, supaya dalam level yang lebih luas, komunitas, kelompok, wilayah, bangsa, ia dan setiap orang di dalamnya, tetap menunaikan kodratnya itu: mencari dan menjadi teman.

Sudah siapkah Anda?

*Indonesia Eximbanker, tulisan ini merupakan pendapat pribadi